EKOSISTEM DIGITAL




Lebih setengah jam Bapak itu berceramah di hadapan saya. Dia seorang kepala daerah petahana yang terpilih kembali di pilkada barusan. Dia datang mengawal timnya untuk menghadapi gugatan lawan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Saya bertemu dengannya bersama investor asal Korea. Dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, Bapak itu begitu bersemangat membahas upayanya membangun ekosistem digital. Dia menyebut fakta-fakta. Misalnya sudah memasang jaringan hotspot. Juga sudah buat website.

Namun pengusaha Korea yang menemani kami meminta bukti. Minimal informasi apa saja potensi yang bisa dikembangkan. Dia sejenak kelabakan. Dia menunjukkan web pemerintah daerah. Akan tetapi, tak ada informasi penting di situ. Wajahnya bersemu kemerahan.

Saya pikir semua pemerintah daerah punya problem yang sama. Mereka tidak punya etalase digital yang bagus. Jangankan digital, etalase fisik pun tak punya. Memang, banyak pemda yang punya kantor perwakilan di Jakarta. Namun aktivitasnya adalah hotel kelas melati yang kini jarang ditinggali orang daerah. Kalah bersaing dengan hotel2 budget yang bertebaran di Jakarta.

Seharusnya, semua mess dan kantor perwakilan dikelola sebagai etalase daerah. Di situ ada berbagai informasi tentang apa saja yang bisa dikembangkan, serta aktif menjalin relasi dengan berbagai stakeholder di pusat. Harusnya berfungsi sebagai Clearing House atau Information Center yang mengelola semua informasi daerah.

Saat Bapak itu terdiam, saya mengambil alih kendali pembicaraan. Saya lalu menunjukkan website daerahnya. Di situ ada fotonya dengan baju kepala daerah bersama pasangan. Ada visi-misi. Ada juga berita-berita mengenai dirinya.

Website itu didesain hanya satu arah. Padahal, di era informasi, website seharusnya menyediakan informasi bagi pihak luar yang ingin tahu segala hal tentang daerah. Di situ sebaiknya ada informasi komoditas, potensi daerah, keunggulan wilayah, juga simulasi bagaimana menuju daerah itu.

Di situ seharusnya ada banyak infografik yang easy reading, juga kisah-kisah dan narasi tentang daerah itu. Saya ceritakan bagaimana sungai yang tampak biasa di Vietnam, namun justru tiap tahun didatangi ribuan turis hanya karena ada informasi di situ pasukan Amerika bertempur dan kalah oleh gerilyawan Vietcong.

Saya ceritakan satu desa di Thailand yang dahulunya penghasil ganja lalu menggantinya dengan bunga-bunga, kini jadi destinasi wisata terkenal.

Pengusaha Korea yang menemani kami langsung bersemangat. Dia menunjukkan bagaimana kiat-kiat pemerintah kabupaten di luar negeri yang menjadikan website sebagai satu ekosistem yang mempertemukan banyak orang, termasuk investor dan pemerintah. “Harusnya kalian bangun ekosistem digital,” katanya.

Saya menyimak semua diskusi. Saya ingat pembicaraan sepekan silam dengan pejabat di kantor BKPM tentang lebih 50 perusahaan besar di luar yang begitu bersemangat masuk pasar Indonesia.
Semuanya butuh guidance atau panduan bagaimana memulai bisnis dan investasi. Semua butuh satu pusat informasi yang dikelola dengan profesional, serta menjalin relasi dengan banyak pihak.

Regulasi memang mensyaratkan semua urusan dilakukan di pusat. Tapi bukan berarti Bapak itu harus pasif. Dia harus seoptimis beberapa teman pebisnis yang mulai menyiapkan banyak skema bisnis.
Satu pabrik pasti butuh ekosistem bisnis lain. Mulai dari penyedia bahan baku, penginapan, jasa catering, jasa hiburan, wisata, transportasi, logistik, dan banyak hal lainnya. Semua butuh mitra.

Saya menatap Bapak itu. Orang sering salah kaprah saat diajak berbicara mengenai Digital Marketing dan Digital Ecosystem. Dikiranya cukup mengadakan wifi dan hotspot. Padahal, ada mindset yang harus berubah, juga perlunya membangun kolaborasi, networking, sharing, juga menyiapkan satu panggung bagi ide-ide.

Saya menyarankan untuk menjadikan website pemerintah sebagai portal komunitas, menguatkan internet of things, juga mengelola jejaring dengan komunitas. Gerakkan komunitas dengan pendekatan mobilisasi dan orkestrasi. Penting pula untuk memperkenalkan digitasi, inkubasi, serta hadirkan angel investor.

Saya lihat dia makin pusing. Dia tak sabar dan langsung bertanya:

“Kapan saya bisa undang kamu ke daerah? Kita bahas ide ini dengan banyak orang” tanyanya.
“Maaf Pak. Saya bukan orang yang tepat. Saya hanya seorang pelatih kucing.”
“Hah?”


0 komentar:

Posting Komentar