Jackie Chan yang Membangun Diferensiasi dan Positioning




Di ajang Big Bad Wolf (BBW) yang berlangsung singkat gara-gara Corona, saya membeli banyak buku murah. Di antaranya adalah Selling Yourself: Menang Bersaing di Era MEA. Saya tertarik melihat ada nama Hermawan Kertajaya di sampul buku. Biasanya, saya hanya butuh waktu singkat menghabiskan buku sejenis.

Sejak dulu saya suka membaca buku-buku marketing yang ditulis Hermawan. Yang saya lihat, orang marketing selalu mendahulukan studi kasus. Artinya mereka selalu menjelaskan dengan contoh yang mudah kita amati, setiap hari kita saksikan. Setelah contoh dibahas, barulah mereka masuk ke teori. Itu pun teori yang sifatnya praktis. Mudah diterapkan.

Selain itu, mereka selalu menulis sesuatu sesederhana mungkin. Mungkin mereka ingin agar semua pelaku usaha memahami mereka, mulai dari pemilik mal hingga warung kaki lima.

Pada buku yang membahas tentang brand ini, saya tertarik dengan kisah Jackie Chan. Semua orang tahu kalau dia bintang film yang sukses. Semua filmnya selalu laris. Dia bisa mengemas kungfu menjadi sesuatu yang menghibur.

Nama aslinya Chan Kong Sang. Nama Jackie didapatnya saat bermigrasi ke Australia di tahun 1976. Dia belajar di Dickson College dan bekerja sebagai pekerja bangunan. Pengawasnya adalah seseorang bernama Jack. Makanya, dia sering disapa Little Jack, yang dipendekkan menjadi Jackie.

Sepulang ke Hong Kong, dia ingin menjadi aktor film laga. Dia sering diminta untuk meniru aksi legenda kungfu Bruce Lee. Sebab gaya Bruce Lee sangat disukai orang barat. Namun semakin dia berusaha meniru Bruce Lee, dia semakin tidak nyaman. Dia paham tidak mudah menggeser positioning Bruce Lee di pentas film.

Dia pun mempelajari semua film Bruce Lee. Dia menemuan beberapa hal yang selalu menjadi ciri atau identitas. (1), Bruce Lee selalu bersikap serius dalam semua filmnya. (2), Bruce Lee selalu dalam posisi yang tidak terkalahkan. Dia selalu menang. (3) Bruce Lee tidak pernah menunjukkan rasa kesakitan, (4) Bruce Lee selalu membawa senjata yang khas dalam setiap adegan laga.

Jackie Chan lalu memikirkan sesuatu yang beda. Dia sudah menerapkan konsep dalam marketing yakni diferensiasi. Kalau dia sama dengan Bruce Lee, maka selamanya dia akan jadi pengikut. Dia akan berada di bawah bayang-bayang kebesaran aktor itu.

Dia ingin menjadi anti-tesis dari Bruce Lee. Dia merancang film di mana kungfu dikemas menarik, penuh adegan laga yang kocak, serta dirinya sering menjadi bulan-bulanan atau pihak kalah yang bersakit-sakit, sebelum kemudian menang. Dia juga tidak perlu senjata, sebab apa yang ada di sekitarnya bisa menjadi senjata.

Dalam buku ini, saya temukan cerita tentang betapa pentingnya menemukan sisi pembeda dari orang lain. Ketika kita berkarier, maka kita perlu diferensiasi atau pembeda. Kita pun perlu menemukan satu positioning yang kuat tentang diri kita. Dari situlah konsep tentang branding dirumuskan.

Saya tertarik dengan kisah ini karena selama ini saya beranggapan sebagaimana masyarakat Indonesia kalau hidup ini mengalir seperti air. Ternyata penting juga untuk sejak awal merumuskan apa yang menjadi pembeda kita dengan pihak lain, sehingga positioning kita terbentuk.

Saya teringat pada bacaan mengenai orang Jepang yang sejak usia belia sudah merumuskan konsep dirinya. Orang Jepang punya konsep Ikigai, atau semacam passion yang menjadi arah dan memandu langkah mereka. Ikigai adalah semacam tujuan hidup yang dikejar, serta ada semacam keyakinan kalau Ikigai itu bisa menjual sehingga bisa menjadi sandaran hidup di masa depan.

Tentunya, setelah menemukan differensiasi, persoalan tidak lantas selesai. Berikutnya kerja keras dan konsistensi seseorang yang akan menjadi pembeda. Jackie Chan adalah figur yang total dalam bekerja. Dia merencanakan sesuatu sampai detail, lalu mengeksekusi semua rencana itu dengan matang.

Setiap bangun pagi, dia segera membuat daftar apa yang akan dia lakukan setiap hari. Dia akan memastikan semua rencana bisa dilaksanakan. Dia akan bertanya pada dirinya, apa hal positif yang sudah dilakukannya setiap hari.

Saya langsung merenungi diri saya. Bangun pagi, yang pertama saya cari adalah HP. Setelah itu tenggelam membaca percakapan, gosip, serta berbagai link. Di WA, orang lebih suka membagikan link demi link, kecemasan demi kecemasan, serta hasutan sana sini.

Kadang-kadang, kita memulai pagi dengan rasa geram dan benci. Kita menganggap semua pihak begitu bodoh, dan hanya kita yang benar. Kita memulai hari dengan rasa kesal, kemudian mood kita seharian hanya diisi dengan rasa tidak nyaman. Kita lupa memikirkan apa hal penting yang harus dilakukan.

Saya pikir sudah waktunya mengisi hari dengan hal positif. Tapi, ketika mengintip WA, saya kembali larut dalam keasyikan debat kusir mengenai sesuatu.

Kok tengkar2, lihat2 debat, dan pantau gosip malah asyik yaaa..



1 komentar:

Layworu mengatakan...

Tidak sia2 waktu saya untuk berkunjung ke blog Anda.

Posting Komentar