Perlukah Kita Setiap Saat Update Berita?
Perlukah kita mengikuti informasi yang bergulir di media sosial? Perlukah kita setiap saat membuka aplikasi WA lalu mengikuti semua debat kusir di situ?
Jika pertanyaan itu diajukan kepada Rolf Dobelli, dia akan mengatakan tidak perlu. Bahkan dia menganjurkan untuk tidak rutin membaca berita di media, sesuatu yang pasti bikin para jurnalis tidak nyaman.
Dalam buku The Art of Thinking Clearly, Rolf Dobelli menjelaskan pandangannya tentang itu di bab paling akhir dari 99 bab mengenai sesat pikir dalam investasi, bisnis, dan masalah pribadi. Saya beruntung karena bisa membaca buku bagus ini selama mengarantina diri di rumah.
Katanya, setiap hari kita diterpa dengan ribuan informasi. Mulai dari bencana alam, pandemi, perceraian artis, dan banyak hal. Sejak dua abad lalu, kita menciptakan pengetahuan beracun yang disebutnya berita.
Baginya, berita itu seperti gula bagi tubuh. Terasa sedap, mudah dicerna, dan dalam jangka panjang bisa merusak.
Sejak tiga tahun lalu, dia memutuskan untuk berhenti mengonsumsi berita. Dia hentikan langganan koran, serta berhenti menonton televisi. Bahkan aplikasi berita di HP ikut dihilangkannya. Dia melakukan diet informasi.
Minggu pertama terasa berat. Dia selalu tergoda untuk tahu perkembangan informasi. Tapi setelah itu, dia memiliki pandangan baru. Pikirannya lebih jernih, pandangan lebih berharga, keputusan-keputusannya lebih baik. Dia pun punya banyak waktu luang. Agar tidak ketinggalan informasi, dia hanya sesekali membuka medsos. Dia membatasinya, misalnya hanya sejam per hari.
Ada tiga alasan utama mengapa perlu menjaga jarak dengan berita:
Pertama, otak kita bereaksi secara tidak seimbang kepada tipe informasi yang berbeda. Kita mudah bereaksi dengan informasi yang memalukan, mengejutkan, berisik, dan cepat berubah.
Pihak produsen berita sangat pandai mengambil sisi yang mengejutkan otak kita. Pengelola media tahu persis bagaimana membuat makan malam kita terganggu. Kita gampang tersentak menghadapi fakta yang sensasional.
Di sisi lain, otak kita tidak bereaksi jika melihat hal yang abstrak, kompleks, dan mendalam. Padahal, hal seperti ini sangat relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Kita bisa menemukan kebijaksanaan dan kedalaman hanya dengan memahami bagaimana sesuatu bekerja.
Akibat mengonsumsi berita, kita berjalan dengan peta kejiwaan yang terganggu mengenai risiko dan ancaman yang sebenarnya kita hadapi.
Kedua, berita tidak selalu relevan. Hitung saja, dalam dua belas bulan terakhir, seseorang bisa mengonsumsi 10.000 potongan berita. Dalam sehari bisa lebih dari 30 berita atau informasi.
Rolf Dobeli lalu bertanya, coba sebutkan satu saja berita yang bisa membantu Anda untuk mengambil keputusan yang lebih baik untuk hidup, karier, atau bisnis, dibandingkan dengan tidak mengetahui berita tersebut.
Dia bertanya ke banyak orang, dan tidak seorang pun yang mampu menjawab lebih dari dua berita berharga. Kantor berita menegaskan informasinya bisa membuat anda mengalami keuntungan kompetitif, tapi yang terjadi adalah kerugian kompetitif. Buktinya, perusahaan media selalu megap-megap dan para jurnalisnya tidak kaya-kaya amat.
Ketiga, berita membuang-buang waktu. Setengah populasi manusia menghabiskan waktu untuk membaca kejadian-kejadian. Secara global, itu adalah kehilangan produktivitas.
Misalnya, seorang teroris beraksi. Media menyajikan peristiwa itu tiap hari dengan mengutip analisis para pakar. Kemudian satu miliar manusia menyaksikannya dalam sejam. Nah satu miliar orang dikalikan satu jam perhatian teralih karena tidak bekerja. Jika dihitung, betapa banyaknya waktu yang tidak produktif.
Terakhir, Rolf Dobelli menganjurkan untuk abaikan berita. Bacalah buku-buku yang berkualitas. Ikuti artikel mendalam dengan argumentasi yang kuat. Sebab tidak ada yang mengalahkan buku dalam membantu kita untuk membuat keputusan besar dalam hidup kita.
Tentu saja, saya tak selalu sepakat dengan Rolf Dobelli. Namun dalam situasi dunia yang sedang mengalami pandemi, pendapatnya patut direnungkan. Semakin banyak mengonsumsi informasi, tingkat stres bisa bertambah, dan imunitas kita juga berkurang.
Saya ingat Walikota Bogor, Bima Arya. Saat dia dikarantina karena positif Covid, dia memutuskan untuk berhenti mengikuti semua berita. Dia tidak ingin kepo dengan semua informasi yang hanya bikin dirinya ketakutan. Dia memilih diet berita demi pikiran yang lebih tenang dan jiwa yang lebih kuat dalam menghadapi sakitnya.
Dia berhasil. Kini, dia merasa lebih kuat.
2 komentar:
Yayaya... Lebih baik membaca buku yg bermutu. Saya suka itu.
Saya juga suka karya dobeli, saat ini saya sedang membaca karyanya yg berjudul "Filosofi Hidup Abad 21" pandangannya kadang membawa kita kearah yg lebih realistis dlm menjalani hidup.
Posting Komentar