MANUSIA BATU yang Menghilang di KOTA TUA


bersama Idris, Manusa Batoe, beberapa bulan lalu

JAKARTA telah menutup banyak tempat wisata. Kawasan Kota Tua yang dahulu ramai kini kosong-melompong. Di depan Museum Fatahillah yang dahulu dibangun Gubernur Jenderal Joan Van Horn, seorang lelaki menatap nanar karena kehilangan sumber rezeki satu-satunya. Dia disapa Idris.

Dia mengenang masa-masa sebelum virus Corona menyerang. Setiap hari dia akan menjadi manusia batu atau manusia patung di satu titik. Dia memilih kostum pejuang yang bersepeda. Sepintas, dia mirip Bung Tomo, seorang penyiar radio asal Surabaya yang kalimatnya menggeledek.

Saya mengenal Idris sejak tahun 2014. Sependek ingatan saya, hanya ada dua atau tiga orang yang menjadi manusia batu saat itu. Idris berdiri di dekat meriam. Saat mengambil gambarnya, saya menyempatkan waktu untuk berbincang. Sejak itu, kami saling kenal dan kerap berbalas pesan di media sosial.

Idris dahulu adalah korban penggusuran di Jakarta, tahun 2012. Tadinya dia datang ke Kota Tua untuk membuka warung. Dilihatnya banyak orang berfoto di dekat Meriam Si Jagur. Idris berpikir kalau dirinya bisa memakai kostum unik, pasti orang-orang akan antre untuk foto dengannya.

Petualangan Idris sebagai manusia batu dimulai. Dia menginspirasi banyak orang untuk mengambil profesi yang sama. Dalam sehari dia bisa mendapatkan uang sebanyak 150 ribu hingga 200 ribu rupiah. Sering, dia ikut rombongan Pemda DKI Jakarta yang pameran di kota lain. Pernah dia mewakili Indonesia di ajang festival manusia patung yang diadakan di Spanyol.

BACA: Kisah Manusia Batu di Tepi Jakarta

Beberapa kali saya datang ke Kota Tua untuk sekadar menyapa Idris. Kadang dia tidak berada di sana. Kata rekannya, dia kerap menerima orderan untuk tampil di berbagai acara. Baru-baru ini dia tampil di acara ulang tahun TVOne. Dia mewarnai seluruh tubuhnya dengan warna silver, setelah itu memegang microphone seolah jurnalis tivi itu.

Dulu dia sendirian. Kini, jumlah orang yang seperti Idris ada ratusan orang. Tidak semua menjadi manusia batu atau manusia patung. Ada yang berpakaian seperti putri-putri, noni Belanda, juga karakter dalam kartun. Semuanya mengais rezeki di lanskap yang sama yakni Kota Tua.

Saat kawasan wisata itu ditutup pada 14 Maret 2020 lalu, apa yang kini mereka lakukan?

“Saya kehilangan pekerjaan Bang. Saya sama sekali tidak pegang uang,” kata Idris saat saya hubungi via telepon.

Suaranya agak pelan. Dia tidak menyangka saya masih menyimpan nomornya. Sejak Kota Tua ditutup, dia telah menjual banyak barang di rumahnya. Mulai dari televisi hingga HP semua telah dilelang untuk menutupi biaya hidupnya.

Dia tak punya pilihan sebab tinggal bersama satu anak, satu adik, dan istri yang sedang hamil tua. Dia harus menghidupi empat kepala. Tanpa menjadi manusia batu, Idris kehilangan penghasilan. Mulanya dia dibantu sama adiknya. Namun Idris tak ingin menjadi beban. Dia mesti mendapatkan uang. Mulailah dia menjual semua barang di rumahnya.

“Terakhir saya jual televisi 21 inch layar cembung. Harganya 400 ribu. Sebelumnya saya jual HP. Makanya saya heran karena Abang tahu nomor saya di HP yang ini. Padahal saya jarang bagikan,” katanya. Mungkin Idris lupa kalau dia pernah memberikan nomor ini dalam satu percakapan kami.

Beruntung, dia mendapatkan bantuan dari kafe dan restoran yang ada di sekitar Kota Tua. “Saya beruntung karena dapat bantuan dari Forum Tata Kelola Pariwisata Wisata Kita Tua. Anggotanya pemilik gedung tua. Saya dan teman-teman dapat bantuan ala kadarnya. Sudah dua kali dapat,” katanya.

Idris juga bercerita, 70 persen dari para pekerja di Kota Tua sudah pulang kampung. Yang tersisa hanya sedikit, utamanya yang memiliki KTP Jakarta, sebagaimana dirinya. Tapi, dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tak bisa bekerja. Dia tak bisa menerima order dari luar.

Dari kamar sepetak yang dikontraknya, dia hanya bisa pasrah pada nasib. Beberapa media telah mewawancarainya, termasuk Kompas. Akan tetapi, hingga kini dia belum tersentuh bantuan.

Dia tahu kalau di banyak media, pemerintah pusat dan daerah menjanjikan banyak bantuan. Bahkan banyak pengusaha dan masyarakat saling bahu-membahu untuk membantu sesama. Namun Idrus seakan hilang dari radar.

Jangan-jangan dia adalah representasi dari banyak orang miskin yang selama ini hanya disebut-sebut dalam statistik lalu dilupakan dengan mudah seiring dengan selesainya jumpa pers yang menyebut alokasi anggaran hingga miliaran? Dia luput dari perbincangan para netizen yang sibuk membandingkan besarnya bantuan pemerintah daerahnya.

BACA: Perempuan Vietnam di Sudut Mangga Besar

Saya tercenung mendengar kisahnya. Ada jutaan orang yang mengandalkan upah harian di kota-kota sebesar Jakarta. Mereka dalam posisi rentan sebab tak bisa menghasilkan apa pun. Di antara mereka, ada banyak ayah, tumpuan nafkah, serta anak-anak muda yang setiap saat bisa menerima dampak besar dari gejolak ekonomi.

Saya ingat buku yang ditulis Guy Standing mengenai The Precariat: The New Dangerous Class. Mereka adalah kelas pekerja prekariat yang jam kerjanya tidak pasti, tidak punya jaminan pekerjaan, tidak punya kontrak kerja. Mereka kerja dengan waktu yang tidak menentu, jangka pendek, serta rentan terputus rezekinya. Mereka adalah lapis kerja terbanyak di kota-kota kita.

Saat virus Corona menyerang, Idrus jelas tak berdaya. Dia ingin mengikuti arahan pemerintah untuk tetap di rumah dan menjaga jarak (social distancing). Tapi apa daya dia harus bekerja dan mendapatkan penghasilan. “Semoga Idris segera menemukan kabar baik dalam waktu dekat.” Saya membisikkan harapan.

Dari rumah petak yang jaraknya hanya satu kilometer dari Kota Tua, Idris menatap sayu lapangan depan Museum Fatahillah yang kini kosong. Entah kapan dibuka kembali.



2 komentar:

setajampena mengatakan...

https://setajampena20.blogspot.com/2020/04/kisah-seorang-pemuda-yang-bangun-dari.html?m=1

Anonim mengatakan...

Negara dengan tingkat kesenjangan sosial yang tinggi rentan terhadap kerusuhan

Posting Komentar