Pengakuan Seorang Bupati Terduga Korupsi




IBARAT panggung pertunjukan, Jawa Timur tengah menjadi sorotan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejumlah bupati dan wali kota tertangkap tangan saat sedang melakukan transaksi dan gratifikasi terkait proyek. Mereka dituduh melakukan permufakatan jahat yang menyebabkan negara rugi hingga miliaran rupiah.

Tuduhan korupsi ibarat tinja yang dilemparkan ke wajah dan disaksikan orang banyak. Mereka yang dituduh sontak kehilangan sebagian hak-hak manusianya untuk dianggap benar. Sekali label itu disematkan, publik langsung menganggap seseorang bersalah. Publik tidak peduli adanya asas presumption of innocence atau praduga tak bersalah. Sekali Anda korupsi, maka Anda siap dinista.

Bagaimanakah halnya jika Anda menjadi kepala daerah yang diduga korupsi? Apakah dirinya memang korup ataukah hanya korban dari sistem yang begitu permisif pada korupsi?

***

Di satu kafe di ibukota, tanpa sengaja saya bertemu seorang bupati di kawasan timur yang sedang resah. Dia bersama beberapa orang seolah sedang mengulur waktu di kafe itu. Saya menyapanya, yang kemudian dibalas dengan dingin. Saya merasakan adanya atmosfer rasa sedih di situ.

Bupati itu tetap berusaha ramah. Rupanya mereka baru saja menyaksikan berita di layar televisi tentang tertangkapnya seorang kepala daerah di Jawa Timur. Sang bupati lebih banyak diam. Sejurus kemudian, bupati itu mulai bersuara. “Beginilah nasib kepala daerah. Setiap saat harus waspada pada jebakan betmen. Siapa pun bisa kena. Ini soal waktu.”

Istilah “jebakan betmen” mengacu pada komedi si stasiun televisi tentang perangkap yang disiapkan kepada seseorang sehingga kemudian terjerat. Bupati di hadapan saya ingin mengatakan bahwa setiap kepala daerah selalu berhadapan dengan “jebakan betmen.” Semuanya bisa terjerat ketika tidak hati-hati meniti di panggung kuasa, atau tidak pandai menjaga keseimbangan dan relasi dengan semua kelompok.

Bupati di hadapan saya menguraikan betapa banyaknya sistem tak benar yang dibiarkan itu. Dia mengurai perjalanannya untuk menjadi bupati. Demi mendapat rekomendasi partai, dia harus menyiapkan “setoran” pada petinggi partai. Jika satu kursi dihargai sampai 500 juta rupiah, dia harus siapkan miliaran rupiah untuk satu tiket.

Saya lantas teringat La Nyalla Mattalitti, seorang cagub yang gagal memasuki arena di Jawa Timur. Dia meradang dan membuka semua permainan itu di media massa. Dia mengungkap berapa besaran angka yang harus disiapkannya demi mendapatkan suara partai. Dalam banyak hal, saya tahu dia benar sebab saya sering mendengar kisah yang sama.. Padahal, dirinya belum berhasil memasuki arena.
Ketika masuk panggung pilkada, seseorang kembali harus menyiapkan amunisi besar untuk memenangkan perang itu. Biarpun segala mekanisme pengawasan disusun, itu hanya berlaku di atas kertas. Faktanya, semua calon bergerilya menyiasati aturan, hingga siap-siap mengeluarkan semua senjata demi melakukan serangan fajar. Mayoritas kepala daerah akan menyebut angka yang sangat besar demi memenangkan proses pemilihan itu.

Jika sang calon kaya raya, maka dia bisa dengan mudah menyiapkan amunisi. Jika tidak, maka dia mesti pitar otak demi menemukan dana segar. Jalan pintas yang sering dipilih adalah melobi sejumlah kontraktor agar bersedia untuk menalangi banyak pembiayaan. Para kontraktor itu diberi harapan untuk mendapatkan banyak paket kegiatan, jika sang kandidat terpilih. Namun, semuanya tidak gratis.

Pijar api permasalahan bermula di sini. Seorang kepala daerah yang terpilih dari satu sistem berbiaya tinggi, hal pertama yang dia lakukan agar segera membayar janji-janjinya saat hendak kampanye. Dia berhadapan dengan tuntutan dari delapan penjuru mata angin. Mulai dari tuntutan rakyat yang berharap agar janji perubahan bisa terealisasi. Dirinya juga berhadapan dengan para kontraktor yang mulai menagih pekerjaan.

Hubungan antara kepala daerah dan kontraktor serupa hubungan petani dan tengkulak. Petani menanam sesuatu dan merawatnya. Sebelum tanaman itu berbuah, tengkulak datang lalu meng-ijon atau membayar tanaman itu sebelum dipanen dengan biaya murah. Ketika tanaman itu telah dipanen, petani kehilangan hak atasnya, sebab kontraktor sudah membayarnya jauh-jauh hari. 

Maka seorang kontraktor sering bertindak serupa debt collector yang akan menagih janji kepala daerah. Mekanisme pengadaan barang dan jasa serta tender proyek disiasati demi menenangkan seseorang. Setelah menang kontraktor juga harus tahu diri. Dia juga harus menyiapkan setoran kepada kepala daerah jika ingin dirinya bisa mendapatkan paket program yang lain.

“Saya harus pandai melobi Jakarta jika ingin ada pembangunan di daerah. Dana APBD sudah habis untuk gaji pegawai dan kaplingan kontraktor,” kata bupati itu dengan suara pelan.

Perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan konsekuensi dari desentralisasi penyerahan urusan pusat dan daerah. Prinsip money follow function yang bermakna pendanaan harus mengikuti pembagian urusan dan tanggung jawab dari masing-masing tingkat Pemerintahan.  Yang terjadi, tak semua daerah bisa mengelola dana alokasi umum (DAU) dengan bijak. Banyak daerah yang menghabiskan lebih 50 persen anggarannya untuk belanja pegawai. Malah ada yang sampai 75 persen.

Biasanya, daerah-daerah ini akan sesegera mungkin mencari lobi demi mendapatkan dana pemerintah pusat. Apalagi, sejak lama menjadi pertanyaan besar, apakah kebijakan perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah Daerah terkini, sudah dilakukan secara proporsional, adil, demokratis dan sesuai dengan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah?.

Riset FITRA menunjukkan betapa banyaknya dana yang dipegang pemerintah pusat serta membuka peluang untuk lahirnya praktik mafia anggaran. Salah satu kasus yang masih hangat adalah dana penyesuaian infrastruktur, yang sarat dengan kepentingan politik dan membuka ruang praktek mafia anggaran.

Banyak daerah yang kemudian berjibaku untuk mendapatkan dana perbaikan infrastruktur ini. Mereka mengoptimalkan berbagai kanal untuk mendapatkannya. Teman-teman di daerah sering bercerita tentang betapa banyaknya pintu yang harus dilewati agar bisa bertemu orang pusat. “Mulai dari pos satpam, saya sudah harus siapkan uang pelicin. Semakin ke atas semakin besar pelicin yang disiapkan,” kata seorang kawan dari daerah.

Tak hanya itu, saat melobi dan membawa proposal di kementerian, orang daerah diarahkan untuk melobi para key person yang dianggap bisa membuka kunci anggaran. Boleh jadi mereka adalah pejabat, atau barangkali sejumlah keluarga pejabat yang dengan lihainya bisa mengatur urusan APBN negara dan memasukkan proposal itu sebagai prioritas negara. Jika besar dana yang disiapkan, maka besar pula kemungkinan menang persaingan dengan demikian banyak daerah lain yang juga mengincar dana yang sama.

*** 

Bupati di hadapan saya masih terpekur saat bercerita bagaimana upayanya melakukan lobi. Di meja pemerintah pusat, antrian proposal daerah berderet rapi. Jika seseorang hendak mendapat proyek yang bermakna kemajuan bagi daerah, perbaikan infrastruktur dan lapangan kerja baru, maka sejumlah pelicin harus disiapkan.

Bupati itu tak berdaya berhadapan dengan sistem yang sudah berjalan kronis dan menahun. Bung Hatta benar saat mengatakan bahwa korupsi di tanah air ibarat kanker sudah masuk stadium tiga, stadium di mana sel kanker bisa saling memangsa agar tetap survive di tubuh yang sakit.

“Jebakan betmen ada di mana-mana. Mulai dari saat pilkada, saat mulai meyakinkan konstituen dan harus siapkan biaya. Setelah menjabat pun banyak lobi yang butuh cost politik. Sekali protes, maka jaringan akan tertutup. Sementara menerima sistem itu bisa membawa risik kapan saja terjerat,” katanya.

Orang pusat dan orang daerah sama-sama mendapatkan “dana bagi hasil.” Semua pihak-pihak yang mengurus proyek-proyek ini akan kebagian jatah pula. Logikanya, tak mungkin ada air mengalir melalui keran, tanpa membuat pipa itu basah. Praktik ini menjadi lingkaran yang terus direproduksi, menguntungkan banyak pihak. Yang dirugikan adalah negara yang tiba-tiba saja mengeluarkan biaya politik dari praktik percaloan ini.

BACA: Saling Sikut Demi Rekomendasi Partai

Dalam banyak hal, kita pantas memaki kepala daerah itu sebab sengaja melakukan praktik korupsi dan percaloan. Tapi kita juga tak bisa memungkiri fakta bahwa seseorang yang hendak membuat sejarah baru dan prestasi di daerahnya mesti pandai-pandai memaksimalkan lobi. Dia harus siap kehilangan 50 demi mendapatkan angka 5 juta. Sayangnya, angka 50 itu bisa menjadi jerat yang setiap saat mengikat lehernya lalu menyeret ke penjara.

Saya hanya bisa mendengarkan. Saya pikir tak bijak juga memaki seorang kepala daerah terduga korupsi setinggi langit. Bahkan terhadap seseorang yang sudah divonis sebagai koruptor pun tak etis untuk memakinya sebagai pencuri. Meskipun mereka melakukan itu secara sadar, penting kiranya memahami bagaimana situasi yang dihadapi, apa saja permainan yang harus diikuti, serta bagaimana seseorang akhirnya melakukan tindakan jahat itu.

Biarpun lebih sering tak setuju dengan Fahri Hamzah, ada kalimatnya yang cukup mengena hati. Selama ini penegakan korupsi hanya menonjolkan aspek penindakan. Sementara pencegahan tak banyak tersentuh. Kita mengabaikan satu sistem atau mekanisme yang bisa menjaga seseorang agar tidak korupsi. Kita seolah membiarkan sistem yang serupa perangkap itu bekerja, dan tak lama kemudian kita sibuk bertepuk tangan saat seorang kepala daerah ditangkap karena korupsi. 

“Mereka yang tertangkap adalah mereka yang sial. Berarti mereka tak pandai bermain. Tak pandai menjaga harmoni semua kekuatan, entah itu pusat maupun daerah, entah itu calo kecil maupun calo besar. Semua bisa setiap saat tertangkap. Ini soal waktu,” katanya menutup pembicaraan.

Di luar sana, lembayung senja perlahan memayungi Jakarta.




0 komentar:

Posting Komentar