Seusai MESSI Dihempas Kroasia


Messi berpose dengan GOAT, singkatan dari Greatest of All Time

ADA yang aneh dengan selebrasi Ronaldo seusai mencetak gol di Piala Dunia. Dia tiba-tiba saja mengusap dagunya, seolah sedang menyentuh janggut. Saat membaca The Sun, saya jadi tahu maknanya. Ronaldo sedang mengirim pesan sindiran kepada Lionel Messi, rivalnya di jajaran pemain yang akan jadi legenda.

Dalam iklan Adidas, Messi berpose dengan kambing (goat). Pesan yang mau disampaikan Adidas adalah Messi layak menyandang gelar sebagai GOAT, yang merupakan kepanjangan dari Greatest of All Time. Rupanya, Ronaldo ingin berkata, saya lebih layak menjadi GOAT atau the greatest. Bukan dia.

Ronaldo memang tengah di puncak permainan. Kata Gabriel Batistuta, senior Messi di Argentina, Ronaldo tidak butuh 10 pemain hebat seperti rekannya di Madrid. Dengan siapa pun dia bermain, maka tim itu akan menjadi tim super. Pemain senior Argentina lainnya, Hernan Crespo mengiyakan pendapat itu.

Di Argentina, hanya satu orang yang sehebat itu. Dia adalah Diego Maradona. Ketika bermain di Barcelona, Maradona jadi bintang. Ketika terhempas dan berada di klub papan bawah Italia yakni Napoli, dia bisa mengubah klub medioker itu menjadi klub juara, sesuatu yang kemudian tidak pernah digapai lagi sepeninggalnya. 

Bahkan Maradona bisa melunturkan nasionalisme satu negara. Saat perempat final Piala Dunia 1990, Italia berhadapan dengan Argentina di Napoli. Para pendukung Italia di Napoli justru tidak mendukung negaranya sendiri. Mereka mendukung Argentina sebab di situ ada Maradona, yang berhasil mengangkat derajat klub serendah Napoli ke langit sepakbola Italia.

Tapi Messi bukanlah Maradona. Messi masih butuh dukungan anggota tim lainnya. Di Barcelona, dia dimanjakan oleh banyak pemain. Dia adalah seorang adik kesayangan Ronaldinho yang selalu memotivasi dan mengusap kepalanya saat dirinya membuat keajaiban. Dia punya rekan-rekan yang rajin memberi suplai bola, yakni Iniesta, Busquets, Xavi, Neymar, Rakitic, ataupun Suarez. Tanpa mereka, Messi bukan apa-apa. Dia memang seorang anak manja yang terlahir dengan bakat istimewa dan sentuhan magis yang bisa mengubah permainan.
Namun, waktu tak pernah mau diam di tempat. Waktu terus bergerak. Messi yang belia itu kini memasuki usia dewasa. Dia tak bisa lagi menunggu sanjungan Ronaldinho agar motivasinya menyala. Ada masa di mana dirinya harus tampil ke depan, memimpin satu kesebelasan, lalu bermain kolektif untuk menggapai mimpi bersama.

Di titik ini, Messi terlambat matang. Fisiknya memang menua. Janggutnya memenuhi dagu dan pipi. Tapi dia tetap Messi yang manja. Lihatlah, dalam pertandingan melawan Kroasia, Messi amat sering tertangkap kamera sedang menundukkan wajah. Dia seperti zombie yang kehabisan darah, namun dipaksa untuk terus berlari. Pertandingan itu menjadi milik Kroasia yang menang dengan skor 3-0.

selebrasi Ronaldo yang menyentuh jenggot, sindiran kepada Messi

Memang, ada banyak alasan bisa dikemukakan. Mulai dari pelatih yang taktiknya hanya satu yakni bagaimana bola bisa tiba di kaki Messi demi bekerjanya keajaiban, tak adanya gelandang serang sehebat Xavi dan Iniesta yang menopang kerja Messi, tak ada winger lincah yang bisa menaik pemain lain dan membuat Messi bisa berkreasi, juga kesulitan Argentina menemukan kiper hebat sejak era Sergio Goycochea. Harus diakui, para pemain tidak punya rasa lapar kemenangan. 

Sejak era Maradona, Argentina tak pernah kehabisan striker hebat, tapi tak melahirkan banyak stopper tangguh dan kiper-kiper hebat. Para pemain berlomba-lomba menjadi pencetak gol dan tak mau jadi penyeimbang tim. Semua ingin seperti Maradona dan Messi, tanpa ada gelandang kreatif yang bisa memanjakan pemain depan.

Tapi mereka yang menyaksikan pertandingan itu dan berkicau di media sosial menyatakan rasa kecewa untuk sesuatu yang lain. Ada rasa sedih karena pertandingan itu menghadirkan fakta miris bahwa Messi tidak punya leadership. Messi tidak punya karakter kuat yang bisa memberikan aura positif bagi rekan-rekannya. Dia bukan singa yang bisa mengubah semua domba bawahannya untuk bermental singa.

Jika Messi dewasa dan matang, dia tidak akan menundukkan kepala di sepanjang pertandingan. Dia mestinya menegakkan kepala, membangkitkan motivasi semua rekannya, serta berteriak, “Kita boleh kalah. Tapi kita akan kalah dengan sehormat-hormatnya.”

Sebagai leader, dia seharusnya bisa membangkitkan motivasi dan kekuatan timnya. Sebagai leader, dia harus bermental baja dan berada di tengah timnya dalam segala situasi. Dia tak boleh tampak putus asa dan menunduk. Sebab performa timnya akan selalu bergantung pada bagaimana dirinya

Di pertandingan itu, Kroasia menjadi kesebelasan yang tak kenal ampun. Kata Luka Modric, strategi timnya berhasil. Mereka memutus semua aliran bola ke Messi. “Kami mematikan Messi. Kami menghentikan semua aliran bola ke dia. Dia pemain paling berbahaya,” katanya di akhir pertandingan, sebagaimana dimuat laman resmi Fifa. 
Tiga gol tanpa balas ibarat tikaman belati yang menghempaskan Messi hingga titik paling memilukan. Messi makin tertunduk. Hampir mustahil dirinya memenangkan piala Ballon D’or. Dirinya pun tak akan menyandang gelar sebagai the greatest of all time (GOAT). Bukan soal gagal di Piala Dunia. Dirinya gagal menjadi nyawa dan kekuatan tim.

Sah-sah saja jika dia dicaci begitu rupa. Dalam keadaan tim terseok-seok, dia tak boleh menghindar dengan kepala tunduk. Dia harusnya meniru Cristiano Ronaldo yang selalu mendampingi rekan-rekannya, bahkan ketika dirinya tak bermain. Lihat saja babak final Piala Eropa tahun 2016 lalu, Ronaldo cedera dan tak bisa bermain. Tapi dia tetap berdiri di tepi lapangan sembari membangkitkan motivasi semua rekannya. Dia adalah inspirator sekaligus pemimpin bagi rekannya.

Ketika wasit meniup peluit tanda pertandingan melawan Kroasia berakhir, Messi ke tepi lapangan dengan kepala tertunduk. Dia tidak menyemangati atau membangkitkan semangat rekan-rekannya. Di pertandingan itu, Messi harusnya sematang Ronaldinho. Harusnya dia setangguh Charles Puyol, stopper Barcelona yang selalu bertepuk tangan untuk timnya, baik menang ataupun kalah. Sayang, Messi hanya menunduk dan memasuki ruang ganti. Dia hanya kanak-kanak dalam tubuh orang dewasa yang berharap dapat pelukan hangat dari kakak-kakaknya.

Sepertinya, Argentina tak akan melaju ke babak selanjutnya. Kepergian Messi dan Argentina telah menyisakan satu ruang kosong di Piala Dunia ini. Tak ada lagi harapan untuk menyaksikan sentuhan magis dari dewa bola yang telah ditahbiskan sebagai legenda hidup. Tak ada lagi lari cepat ala kijang sembari memainkan gerak tipu yang melalui tiga hingga empat pemain, lalu secara ajaib menceploskan bola ke dalam net gawang. Tak ada lagi lari menyamping dan tendangan geledek yang merobek gawang.

Ronaldinho dan Messi, senior dan junior di Barcelona

Pelajaran dari kegagalan ini adalah lakukan segala sesuatu dengan riang, tanpa ada beban. Messi yang sekarang bermain tidak selepas dahulu. Dia sudah menyandang nama besar dan beban dari negaranya dan seluruh pencinta bola. Harusnya dia tetap bermain dengan segembira-gembiranya, sebagaimana dahulu dilakukannya di jalan-jalan Rosario, Argentina. Harusnya dia tetap riang seperti anak kecil yang asyik berlari, tanpa harus mengejar trophy. Harusnya dia tak terbebani dengan gelar dewa yang disematkan di dadanya.

Sewaktu Messi masih junior di Barcelona, dia beberapa kali merasakan pahitnya kekalahan bersama tim itu. Di saat-saat seperti itu, kerap kali kapten Ronaldinho mendatangi semua rekan-rekannya dengan cengengesan sembari berkata, “Ayolah kawan. Ini cuma permainan. Harusnya kita gembira, apa pun hasilnya.”

Sayang, kali ini tak ada Ronaldinho.



0 komentar:

Posting Komentar