Nusantara, Atlantis, dan Petualangan Dua Remaja




REMAJA bernama Rani dan Bimo itu tanpa sengaja memasuki portal ke negeri yang peradabannya jauh lebih tinggi. Rumah-rumahnya setinggi menara dan disepuh emas. Teknologinya canggih. Namun Rani tak merasa asing di situ. Dia mendengar orang-orang berbicara dalam bahasa yang akrab di telinganya. 

Ternyata, mereka memasuki portal yang menghubungkannya dengan kediaman nenek moyang Nusantara. Para leluhur yang dahulu membangun candi-candi terbesar di dunia itu ternyata masih eksis. Mereka menyembunyikan peradabannya saat konflik mulai merekah di Nusantara. Mereka sengaja tidak menampakkan diri, dan hanya menampilkan beberapa artefak candi sebagai jejak arkeologis.

Kisah tentang Rani yang memasuki era kejayaan Majapahit itu saya temukan dalam novel berjudul Candi Nuswantara. Novel ini adalah kelanjutan dari novel Gerbang Nuswantara yang terbit dua tahun silam. Novel ini menyajikan petualangan seorang remaja, disertai beberapa pertanyaan penting tentang sejarah kita. 

Pada masa silam, leluhur telah memiliki jejak peradaban yang hebat. Itu bisa dilihat pada megahnya candi-candi yang kemudian jadi warisan dunia. Sejarah mencatat bahwa peradaban itu selanjutnya runtuh, tenggelam, dan jejak-jejaknya dikais oleh para arkeolog dan sejarawan. Informasi yang diterima sangat minim, hingga akhirnya tafsir dimonopoli oleh para sarjana asing yang datang dan menyusun masa silam kita dalam sejarah.

Dalam novel yang ditulis Victoria Tunggono ini, masa silam itu tak lantas hilang begitu saja. Yang terjadi, masa silam tetap terus berjalan, melanjutkan peradabannya, hanya saja sengaja menyembunyikan diri sehingga tidak tampak. Peradaban Majapahit dan Mataram kuno tidak lenyap begitu saja. Mereka masih eksis sebab sengaja menghilangkan diri agar terhindar dari kepunahan.

Dari sisi cara bercerita (storytelling), novel ini saya anggap biasa-biasa saja. Novelnya serupa chick lit  dan teen lit yang tengah digandrungi para remaja. Tapi saya sangat tertarik ketika penulis novel ini menyebut-nyebut komunitas Turonggo Seto yang banyak membantunya dalam mengembangkan ide untuk novel ini. 

Lebih tersentak lagi saat penulis novel membahas kehebatan Nusantara, yang pernah disebut sebagai peradaban Atlantis, dan kemudian lenyap begitu saja. Novel ini menjadi sekeping dari puzzle teka-teki yang dipercayai banyak orang tentang leluhur hebat Nusantara yang pernah menguasai dua per tiga bumi.

Saya ingat, pada saat reformasi, terjadi perdebatan ulang tentang seperti apa identitas Indonesia. Ada yang kembali menggemakan gagasan tentang Indonesia sebagai negara agama yang berkiblat ke Timur Tengah. Namun, ada juga sejumlah orang yang menganggap bahwa identitas asli Indonesia bukan tercermin pada budaya yang dipengaruhi agama dari Timur Tengah, sebab sebelum era itu, bahkan beberapa abad sebelumnya, Nusantara sudah pernah berdiri dan punya jejak peradaban yang hebat.

Di antara sejumlah orang yang menawarkan gerak kembali ke tradisi asli itu adalah sejumlah anak muda yang tergabung dalam yayasan bernama Turonggo Seto, yang disebut penulis novel ini dalam pengantarnya. Anak muda di Turonggo Seto ini menghangatkan diskusi tentang kehebatan Nusantara itu dalam satu grup media sosial bernama Greget Nuswantara. Tak sekadar diskusi, mereka melakukan jelajah candi, menafsir ulang relief candi, dan mengemukakan teori bahwa ada banyak candi-candi lain yang jauh lebih hebat, namun masih terkubur. 

Pada masa itu, terdapat buku mengenai teka-teki Atlantis yang ditulis profesor berkebangsaan Brazil. Yang menarik, buku itu memaparkan fakta bahwa kemungkinan besar peradaban hebat yang digambarkan dalam banyak naskah orang Eropa sebagai rumahnya orang-orang yang jenius dan punya teknologi tinggi itu ada di Nusantara. Atlantis itu diyakini  tenggelam saat terjadi letusan besar sehingga es di kutub mencair.

Buku lain yang juga mempengaruhi adalah Eden in the East yang ditulis ilmuwan biologi molekuler Stephen Oppenheimer. Buku ini membantah versi sejarah tentang nenek moyang kita yang disebutkan dari Cina, sebab DNA orang Indonesia lebih tua dari Cina. Artinya, orang Indonesia sekarang dibentuk oleh satu peradaban tua yang telah lama menghuni wilayah ini, kemudian memencar karena adanya banjir besar. Buku-buku ini mempengaruhi padangan bahwa Nusantara memang hebat, dan kita generasi yang hanya bisa menelusur kehebatan itu.

Pada tahun 2006, sahabat saya di antropologi UI, Diah Laksmi, sering bercerita tentang anak-anak muda ini. Kata Diah, mereka adalah keluaran kampus-kampus besar seperti ITB dan UI. Basic mereka pertambangan dan geologi, namun sangat meminati kajian masa silam. Pendekatan mereka adalah gabungan dari metode saintifik, yakni metode ilmiah dan teknologi untuk mengenali batuan, dan pendekatan klenik.

Mungkin kita akan merasa geli saat mendengar kata klenik. Dalam angan kita, klenik adalah metode bagi para dukun berusia sepuh dan masih kolot. Makanya agak aneh saat mendengar anak muda lulusan kampus-kampus hebat di tanah air malah menjadikan klenik itu sebagai metode yang melengkapi pendekatan saintifik.

Biasanya, metode ilmiah justru akan menyingkirkan klenik. Bagi anak-anak muda Turonggo Seto, klenik itu berupa mantra-mantra dan berdialog dengan para  leluhur, yang kemudian akan diikuti metode ilmiah, termasuk penggunaan peta-peta yang disiapkan Google. Anak-anak muda itu sering berseloroh kalau mereka dari MIT, yang merupakan kepanjangan dari Menyan Institute of Technology. 

Saya belum pernah menyaksikan cara kerja mereka. Namun akan sangat menarik menyaksikan bagaimana mereka membakar dupa lalu merapal mantra, kemudian berdialog dengan leluhur. Kata mereka, sebagaimana disampaikan Diah, mantra dan menyan itu adalah password bagi bekerjanya satu algoritma teknologi. Prinsip kerjanya sama dengan teknologi siri yang dikembangkan Apple, ataupun perangkat Google Assistant yang dikembangkan Google. Prinsip kerjanya adalah lafal tertentu dari bibir manusia akan dikenali sebagai pembuka dari bekerjanya satu sistem. 

Anak-anak muda itu tidak mau mengikuti trajectory dari peneliti asing. Anak-anak muda itu membangun konstruksi teori sendiri. Menurut mereka, sejarah Nusantara dahulu amatlah hebat, namun proses kolonialisasi membuat kehebatan itu sengaja dihilangkan. Sarjana kolonial malah membangun teori tentang Nusantara yang terpengaruh jejak India sebagaimana terlihat pada candi-candi.

Anak-anak muda itu meyakini bahwa candi-candi adalah bukti nyata tentang kehebatan di masa silam. Malah mereka mengajukan pertanyaan mengapa teknologi unggul dan kemampuan di masa silam itu justru nyaris punah ketika Indonesia sebagai negara bangsa berdiri? Mengapa kita harus jauh-jauh berguru di negeri orang tentang teknologi, padahal nenek moyang kita telah meletakkan satu landasan hebat yang memungkinkan lahirnya banyak jejak peradaban?

Mungkin, kita akan mempertanyakan sejauh mana bukti-bukti yang dimiliki anak muda itu. Tapi satu hal penting, mereka telah membangun satu hipotesa menarik, serta merumuskan sendiri bagaimana kerja epistemologi dalam menemukan kebenaran. Di mata mereka, epistemologi bukanlah setumpuk perangkat yang kaku dalam menemukan kebenaran, melainkan sesuatu yang bergerak dan selalu dimaknai oleh masyarakat.

Sayangnya, diskusi di grup Greget Nuswantara itu menjadi tidak seru disebabkan serangan banyak kelompok yang menganggap mereka anti-agama sebab hendak melestarikan tradisi kuno. Tapi setidaknya, diskusi itu telah membuka mata bahwa Nusantara punya jejak emas yang harusnya dirawat dan dilestarikan.

Saya juga merasakan penyesalan karena tak sempat bertemu dan mengenal akrab mereka. Saya hanya membaca kisah mereka dalam tesis yang dibuat Diah di UI dengan judul Sejarah Nuswantara menurut Turangga Seta: Kajian Antropologi terhadap Proses Produksi Pengetahuan. Dalam tesis itu, Diah menjelaskan bagaimana pengetahuan dipengaruhi oleh proses kultural dan sosial dari komunitas yang mereproduksi pengetahuan itu. Pemahaman itu dibentuk oleh nalar dan realisme sendiri yang dicapai pengalaman sesama warga komunitas.

Pesan kuat yang muncul dalam novel ini adalah kebanggaan pada masa silam, serta jejak nenek moyang harus membara dalam diri setiap anak bangsa. Kebanggaan itu harusnya menjadi ikhtiar untuk menyelamatkan semua hasil produksi pengetahuan di masa silam untuk memperkaya peradaban masa kini. 

Demi membangun peradaban yang kuat itu, maka bangsa ini tak harus berkiblat pada bangsa lain, melainkan menemukan unsur dinamik yang ada di tubuh bangsa, termasuk capaian hebat yang banyak di temukan di sekujur peradaban kita di masa silam.



1 komentar:

Unknown mengatakan...

GW udah liat YouTube TUrangga seta, tp yg edisi terakhir blm ada kelanjutannya tuh, masuk gua, diujung gua, ada cahaya putih nya, nah pas keluar gua, ketemu apa ya ?, dilanjut dong YouTube nya. Analisa2 tim turangga seta , menurut gW, masuk akal, kalo kebetulan yg mencermati nya punya “back ground” yg mumpuni dan sering bepergian ke daerah2 di nusantara , terutama dataran tinggi atau gunung2, pasti lah bukan sesuatu yg aneh, salut untuk tin turangga seta. MANTAP

Posting Komentar