Siasat JOKOWI Menggenggam JAWA


Presiden Joko Widodo

BARU saja usai pengumuman quick count, Khofifah Indar Parawansa sudah membuat pernyataan yang membuat gerah Partai Demokrat sebagai partai pendukung di pilkada Jawa Timur. Demikian pula dengan Ridwan Kamil yang begitu dinyatakan menang telah membuat geram Partai Gerindra. Padahal, kedua figur pemenang pilkada ini hanya menyampaikan pernyataan politik.

Baik Khofifah maupun Ridwan sama-sama menyatakan siap mendukung Jokowi pada pilpres tahun mendatang. Pernyataan keduanya diliput semua media-media besar, lalu menimbulkan reaksi partai-partai, khususnya di luar pemerintah. Namun, pernyataan keduanya telah membuka satu tabir yang selama ini tidak tampak dalam perhelatan politik di banyak daerah itu.

Bahwa pemenang sesungguhnya dari semua pilkada besar, khususnya di Jawa adalah Presiden Joko Widodo sendiri. Kok bisa?

***

SORAK-sorai masih gemuruh di jalan-jalan. Semua orang masih sibuk memberikan ucapan selamat. Beberapa lembaga besar telah mengumumkan hasil hitung cepat (quick count) pemilihan kepala daerah (pikada) Jawa Timur. Pemenangnya adalah Khofifah Indar Parawansa.

Perempuan yang dikenal sebagai aktivis Muslimat NU itu diwawancarai oleh Rosiana Silalahi dari Kompas TV. Khofifah ditanya mengenai pendapatnya atas kemenangan itu, serta beberapa agenda ke depan. Dalam wawancara itu, Khofifah memuji kerja-kerja Presiden Jokowi. Sebagai mantan Menteri Sosial, dia melihat bagaimana Jokowi bekerja. "Kerja kerasnya beliau tentu berharap bisa menuntaskan PR-PR," ucapnya. 

Rosi kemudian bertanya, apakah bersedia kembali menjadi Jubir Jokowi seperti Pilpres 2014. Khofifah menjawab, "Kalau ditunjuk. He..He." Rosi terus mengejar. "Jadi, Anda hanya akan mendukung Pak Jokowi dan bukan capres lain?" tanya Rosi. "Iya, insya Allah begitu," jawab Khofifah. (Selengkapnya bisa dibaca di Kompas.com DI SINI)

Pernyataan Khofifah ditanggapi Ketua DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean. Dia menilai sikap Khofifah akan terus berkembang seiring dinamika. Ia yakin Khofifah akan mendukung pasangan calon yang diusung Demokrat sebab partai itu adalah salah satu pengusung. Namun Demokrat tak sendirian. Partai lain yang juga mengusung Khofifah yakni Golkar, Nasdem, PPP, dan Hanura, semuanya sudah menyatakan sikap mendukung Jokowi.

Kata Ferdinand, kalaupun Khofifah langsung menyatakan dukung Jokowi, maka pernyataan itu sebagai kesantunan sebagai orang yang bekerja di bawah Jokowi. “Tidak mungkin Khofifah langsung menyatakan tidak dukung Jokowi di pilpres,” katanya.

Sejauh ini, Partai Demokrat belum menyatakan hendak mendukung siapa. Isu yang berkembang, partai yang dipimpin mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu akan mengusung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Hanya saja, semuanya masih bisa berkembang.

Tak hanya Khofifah. Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat terpilih versi quick count juga menyatakan sikap. Dalam wawancara dengan Aiman Witjaksono dari Kompas TV, ia juga ditanya tentang seputar dukungan kepada Jokowi. Ia menjawab:

"Ya saya kira logika sederhana ya, partai-partai pendukung sudah menyatakan deklarasi untuk pilpres. Partai-partai pendukung saya semua sudah, Nasdem, Hanura, PPP, dan seterusnya. Tentulah arah dukungan dari kami, calon berdua ini tidak akan jauh berbeda fatsun kepada etika politik, kan begitu ya, etika politik seperti itu," ujar Ridwan Kamil. (pernyataannya bisa dibaca DI SINI)

Pernyataan itu memicu reaksi Partai Gerindra. "Tadi Kang Emil menyatakan secara resmi mendukung Pak Jokowi pada Pilpres 2019. Padahal, sebelum pemilihan, setiap ditanya media, beliau menyatakan tidak benar mendukung Pak Jokowi dan belum memutuskan mendukung siapa," ujar anggota Badan Komunikasi DPP Gerindra Andre Rosiade kepada wartawan, Rabu, 27 Juni 2018.

Andre mengatakan, andai sikap politik itu disampaikan lebih awal, dia yakin Emil tak akan mendapat suara seperti hasil quick count. Andre menduga sikap politik Emil yang terkesan abu-abu tentang Jokowi sebelum pencoblosan adalah salah satu strategi meraup suara masyarakat yang diklaim Andre ingin mengganti presiden.

"Menurut kami, seandainya Kang Emil menyatakan dari awal sebelum pencoblosan bahwa beliau mendukung Pak Jokowi, kami meyakini bahwa suara Kang Emil akan lebih kecil dari sekarang," ucapnya. 

"Perbedaan sikap dari sebelum dan sesudah pencoblosan ini menunjukkan Kang Emil memang masih mengincar suara pemilih Jabar yang ingin #2019GantiPresiden. Kami menyayangkan ketidakjujuran Kang Emil dari awal ke masyarakat Jabar," katanya.

*** 

BAGI elite politik di Jakarta, pilkada ibarat palagan pertempuran. Dikarenakan pilkada dilaksanakan pada tahun politik, apa pun hasilnya akan mempengaruhi konstelasi politik pada tingkat nasional. Apalagi, pilkada ini akan dilaksanakan di daerah-daerah yang basis massanya banyak, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Bukankah Djawa adalah koentji?

Seorang kawan yang dekat dengan lingkar istana menuturkan, kali ini, Jokowi lebih taktis dan hati-hati. Ia seakan menerapkan pepatah Inggris: “Don’t put your eggs in one basket” yang secara harfiah bermakna jangan menyimpan telur dalam satu keranjang. Artinya, jangan mengonsentrasikan semua upaya hanya di satu pihak. Lakukanlah semua upaya di beberapa pihak sehingga siapa pun yang menang pasti akan membawa kemenangan bagimu.

Pilkada Jakarta dan Banten adalah pelajaran berharga. Di dua pilkada ini, partai pendukung pemerintah hanya berada di satu kubu. Ketika kubu lawan menguat, serta ditopang strategi yang bagus, maka kemenangan berada di tangan mereka. Jakarta lepas dari genggaman. Belajar dari pengalaman itu, pada pilkada ini partai-partai pendukung pemerintah sengaja menyebar, sehingga bisa ditemukan di mana-mana.

Jokowi fokus mengamati pilkada hanya di daerah yang padat penduduknya. Pilkada provinsi, yang masuk radar istana adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Jumlah penduduk di lima daerah ini melewati angka 50 persen wajib pilih di pilpres mendatang. Kemenangan adalah harga mati yang tak bisa ditawar.

Strateginya cukup jitu sebab basisnya bukan hanya satu partai yakni PDIP, melainkan beberapa partai pendukung pemerintah. Kita bisa melihat mobilitas partai-partai ini yang berpencar dan tidak mendukung satu calon, sehingga skenario apa pun yang terjadi, pemenangnya adalah Jokowi juga.

Di Jawa Timur, koalisi pemerintah menyebar di pasangan Khofifah – Emil Dardak dan pasangan Gus Ipul – Puti. Tadinya, Gerindra ingin buat poros sendiri melalui La Nyalla. Belakangan memilih bergabung dengan Gus Ipul pada last minute sebelum pendaftaran ke KPU. Bisa dilihat, siapa pun pemenang pilkada Jatim, maka di dalamnya ada partai pemerintah.



Kita juga bisa melihat fenomena di Jawa Barat. Pada mulanya, terbentuk koalisi antara Dedy Mizwar dan Ahmad Syaikhu. Mereka adalah representasi dari Demokrat dan PKS. Di tengah jalan, koalisi ini bubar dikarenakan Gerindra tidak sudi bergabung. Gerindra merasa koalisi ini ibarat kereta yang sudah berlari kencang, dan mereka diminta mengikuti banyak kesepakatan. Gerindra lalu memutuskan untuk membentuk koalisi baru bersama PKS dan PAN. Alasan lain juga muncul yakni koalisi sebelumnya dikendalikan Cikeas sehingga mendukung koalisi itu sama dengan mendukung Agus Yudhoyono sebagai calon presiden.

Gerindra membentuk poros sendiri bersama PKS dan PAN yang sama mendukung Sudradjat – Ahmad Syaikhu. Pasangan  ini berhadapan dengan pasangan Ridwan Kamil – U’u Ruzhanul Ulum yang didukung Nasdem, PPP, Hanura, dan PKB, kemudian pasangan Dedy Mizwar – Dedi Mulyadi yang diusung Demokrat dan Golkar. Sementara itu, PDIP mendukung TB Hasanuddin dan Anton Charliyan.

Penting untuk melihat bagaimana koalisi pemerintah mengepung pasangan usungan Gerindra dan PKS ini. Siapa pun yang menang antara Ridwan Kamil ataupun Dedy Mizwar, bahkan TB Hasanuddin, maka posisi pemerintah ada di situ. Jokowi diuntungkan oleh posisi kedua kubu ini.

Kita juga bisa melihat bahwa pemerintah memainkan tiga kartu sekaligus. Satu di kubu Ridwan Kamil sebab diusung Nasdem dan PPP, satunya lagi di kubu Dedy Mizwar dan Dedi Mulyadi yang didukung Demokrat dan Golkar. Serta TB Hasanuddin – Anton yang didukung PDIP. Jika satu kubu ini menang, maka lagi-lagi ini adalah kemenangan Jokowi yang menyimpan kartu di tiga kubu.

Lihat pula pertarungan di Sumatera Utara (Sumut). Saat Edy Rahmayadi, yang didukung Gerindra perlahan mengumpulkan basis dukungan, beberapa partai pendukung pemerintah juga merapat. Partai itu adalah Nasdem dan Golkar demi menggenapi dukungan Gerindra, PKS, dan PAN. Maka saat Edy Rahmayadi menang, maka kemenangan itu tidak bisa diklaim sebagai milik Gerindra. Ada partai koalisi Jokowi di situ, meskipun kandidat yang diusung PDIP yakni Djarot kalah.

Kita juga bisa menggunakan cara berpikir yang sama dalam melihat pilkada di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan. Jawa Tengah lebih sederhana pemetaannya sebab wilayah itu adalah kandang banteng sejak lama. Yang dilakukan adalah menjaga keseimbangan antara kubu nasionalis dan kubu Islam sehingga isu SARA tidak akan efektif. 

Seorang kawan pengurus DPP Golkar bercerita bahwa Jokowi diuntungkan oleh banyaknya koalisi pemerintah sehingga pemetaan kekuatan bisa dikonsolidasi. Di banyak daerah, Golkar sering diposisikan sebagai lawan dari PDIP. Keduanya memang partai besar, sehingga bisa mempengaruhi konfigurasi kekuatan. Keduanya diposisikan untuk “menjepit” koalisi anti pemerintah, khususnya Gerindra dan PKS sehingga tak leluasa bergerak.

Sementara partai pemerintah justru menang banyak. Jokowi bisa mengatur ritme sehingga partai pemerintah berbagi teritori yang menjadi kekuasaan mereka. Nasdem dan PPP menguasai Jabar melalui Ridwan Kamil. PDIP tetap di Jateng dan Bali. Golkar bersama PPP dan Hanura berjaya di Jatim. 

Makanya, bisa dipahami kegeraman Fahri Hamzah melihat daerah-daerah yang dahulu menjadi basisnya tiba-tiba porak-poranda karena dikepung koalisi pemerintah. Strategi oposisi terlampau mudah dibaca sebab masih terkena euforia kemenangan di pilkada Jakarta. 

Fahri kesal karena daerah-daerah yang dahulu dipimpin PKS, kini hilang semua. "Jadi hampir semua posisi yang selama ini dipegang PKS, Sumut hilang, Jabar  hilang, mudah-mudahan Sumbar ini nggak hilang. Maluku Utara hilang, hampir semuanya itu hilang," katanya. Sementara Jakarta, kata Fahri, tidak bisa diklaim sebagai PKS.

Dalam pilkada serentak ini, Gerindra dan PKS tidak mendapat satu pun kemenangan di provinsi besar di Jawa. Tapi mereka bisa menghibur diri sebab perolehan suara pasangan yang didukung Gerindra dan PKS di Jabar lebih banyak dari hasil survei. Pasangan itu bisa bekerja maksimal untuk mengamankan basis suara. Tapi, tetap saja harus dianggap sebagai kekalahan, mengingat Jabar adalah wilayah yang dahulu dipimpin PKS, serta menjadi basis kemenangan Prabowo.

Pantas saja jika Fahri Hamzah terus menyampaikan kekesalan di twitter-nya. Dia men-tweet: “Pilkada Jawa Barat itu paling tragis...sewaktu kader2 PKS deklarasikan Demiz-Syaikhu saya langsung bilang “menang telak..!”. Tapi manuver elite PKS mengalahkan akal sehat. Demiz yg telah dampingi aher 5 tahun malah ditinggal. Suara pecah dan kalah! Tragis!”

Fahri juga membuat kuis, apakah pilih hampir menang atau hampir kalah. Sebanyak 70 persen follower-nya memilih hampir kalah. 

*** 

JIKA pilkada ini adalah barometer politik sebelum pileg dan pilpres, maka kita sudah bisa membuat beberapa kalkulasi dan prediksi.

Pertama, dengan hilangnya basis di daerah berpenduduk padat di Jawa, maka Gerindra dan PKS dalam posisi yang serba terjepit. Kubu oposisi akan sulit terkonsolidasi sebab tidak didukung hulubalang lapangan yang tangguh yakni para kepala daerah yang punya banyak pendukung. Tanpa kepala daerah yang lebih menguasai teritori, maka arena politik akan menjadi lebih terjal dan berat.

Kedua, partai-partai seperti PAN dan PKS akan kembali menghitung ulang kekuatan. Seperti kata Fahri Hamzah, hilangnya basis-basis wilayah yang dahulu milik PKS akan menjadi bahan evaluasi bagi partai-partai itu. Kehilangan basis wilayah bisa bermakna ruang gerak yang tidak leluasa sehingga bisa berdampak pada turunnya aspek elektoral. Hilangnya basis juga bisa bermakna hilangnya sumber daya politik dan modal kuasa untuk melebarkan sayap dalam memenangkan pileg dan pilpres.
Ketiga, pengalaman di pilkada ini menunjukkan bahwa Prabowo belum bisa menjadi kapal besar yang akan membawa semua partai kecil ke arah pulau impian. Prabowo belum bisa menjadi vote getter yang memberikan kemenangan dan keuntungan bagi partai lain ketika dirinya pun gagal mendistribusi kekuatan di berbagai daerah demi koalisinya. Oposisi bisa tercerai-berai, dan bisa saja merapat ke pemerintah secara diam-diam.

Keempat, langkah-langkah Jokowi yang mendistribusi semua kekuatan menjadi langkah strategis yang mengkonsolidasi semua basis kemenangan. Ketika teritori dan lapangan dibagi dengan adil semua partai, maka itu sama dengan mengikat partai agar tidak ke mana-mana. Jokowi bisa leluasa menentukan hendak berpasangan dengan siapa sebab partai merasa telah mendapatkan manfaat dengan kedekatan bersama dirinya. Basis elektoral partai akan naik, dan bisa berdampak pada jumlah kursi parlemen.

Kelima, jika kubu Prabowo akan melemah, maka kubu lain yang perlu diwaspadai Jokowi adalah kubu Cikeas, dalam hal ini Partai Demokrat. Ketika Gerindra tidak bisa menarik dan merawat kekuatan partai-partai lainnya sehingga sama-sama besar, maka Partai Demokrat bisa mengambil peran-peran strategis itu. Sejauh ini, Demokrat cukup fleksibel dalam mengambil sikap. Kadang bersama oposisi, tapi lebih banyak berakrab-akrab dengan pemerintah. Di sinilah kelihaian SBY dalam memainkan irama serta sesekali mengetuk pemerintah agar mengikuti alur yang disiapkannya. Demokrat lebih siap menjadi pengendali kekuatan oposisi yang lebih taktis langkah-langkahnya dan sukar ditebak.

***

SEPERTI kata Harold Lasswell, politik adalah siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana (who gets what, when, and how). Pemenang di arena politik adalah sosok yang bisa memahami siapa dirinya, mengenali kekuatan lalu mengeluarkan strategi paling jitu untuk memenangkan pertarungan. Politik, sebagaimana pernah dicatat Machiavelli, adalah kegiatan yang bermuara pada bagaimana memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Dalam rumusannya, “siapa yang mempunyai senjata akan mengalahkan siapa yang tidak mempunyai senjata”.

Di era Jokowi, senjata yang dimaksud tak selalu berupa senjata dalam pengertian alat-alat kuasa. Tapi bisa pula modal, dukungan partai politik, pengusaha, pengaruh, media massa, hingga strategi mengemas seorang kandidat dan menjaga ritme kemenangan. Di era Jokowi, pemenang di arena politik adalah sosok yang bisa mengombinasikan soft power dan bisa menentukan kapan harus bermain, kapan harus menunggu, dan kapan harus melangkahkan bidak.

Selamat bergembira buat Jokowi.



0 komentar:

Posting Komentar