Menyeka Sedih di Wajah Zinedine Zidane




PENGUMUMAN itu datang tiba-tiba. Di tengah pekik hore dan kegembiraan yang membuncah di jantung kota Madrid, di saat lonceng kemenangan masih berdentang di Gereja Catedral de la Almudena, sang pelatih Zinedine Zidane mengundurkan diri dari kursi pelatih. Ada apakah gerangan?

Kolumnis Nando Villa menyebut kabar terbaru Zidane itu lebih mengejutkan dari berita jatuhnya Perdana Menteri Spanyol. Seorang pelatih yang baru saja mencatatkan sejarah dengan memenangkan Piala Champion selama tiga tahun berturut-turut, tiba-tiba menyatakan mundur di tengah sorak-sorai dan hadiah berlimpah karena kemenangan? Apakah ini bukan satu kegilaan?

Dia memenangkan trophy lebih banyak dari pelatih Real Madrid mana pun. Kata Nando Villa, Zidane adalah seorang gentleman sejati yang berani menghadapi apa pun. Dia tidak membuat drama terlebih dahulu, misalnya melalui pernyataan pers. Dia menyimpan semua persoalan seorang diri, hingga tiba-tiba saja mengajukan pengunduran diri.

Orang-orang sibuk berspekulasi. Memimpin klub sebesar Real Madrid adalah memimpin barisan pemain hebat di galaksi yang sukar ditundukkan. Semua ingin mewarnai permainan dengan caranya sendiri sebagai bintang. Zidane harus berhadapan dengan seorang presiden klub yang juga megalomaniak yakni Florentino Perez. Banyak media dan kolumnis berspekulasi, pengunduran diri itu sudah lama disiapkan Zidane setelah dirinya terus tertekan di bawah tekanan Perez.

Memang, Perez dikenal suka mengintervensi semua pelatih Madrid. Dia punya banyak “mainan” atau “anak emas” yang wajib untuk bermain. Perez bisa menekan pelatih jika pemain itu tak masuk dalam starting eleven. 

BACA: Lelaki Dekil yang Lebih Hebat dari Cristiano Ronaldo

Sebelum Zidane, pelatih sebelumnya Rafa Benitez memimpin tim yang serba timpang. Ketika Madrid berhadapan dengan Barcelona dalam el classico tahun 2015, Benitez ingin memasang gelandang bertahan Casemiro di lapangan. Namun Perez memaksa Benitez untuk memasang pemain favoritnya James Rodrigez di posisi Casemiro. Real Madrid kemudian dihancurkan Barcelona dengan skor 4-0. Takdir Rafa Benitez di Madrid berakhir.

Zidane dipilih menggantikan Benitez. Berbeda dengan pelatih sebelumnya, Zidane ngotot dengan pilihannya untuk mencadangkan James dan Gareth Bale, dua pemain paling mahal Madrid seharga 70 juta dan 100 juta euro. Zidane menyeimbangkan tim dengan memasang Isco dan Casemiro. Taktik itu berhasil. Madrid memboyong Piala Champion. 

Jika dilihat pada masa itu, keputusan Zidane terlampau berani dan mengundang risiko. Dia tidak mencadangkan satu andalan Perez, tapi dua sekaligus. Jika kalah, nasibnya akan berakhir. Namun, demikianlah risiko yang harus dibayar seorang pelatih. Jika menang, dia akan dicatat sejarah. Jika kalah, dia akan tenggelam di lipatan sejarah.

Sebagai pelatih yang sebelumnya adalah pemain legendaris, dia tidak ada beban melakukan keputusan apa pun sebab percaya bahwa lapangan bola bukan ajang untuk menunjukkan ego, tetapi harus menjadi panggung untuk segala kreativitas dan keberanian.

***

Sejak kecil, Zidane sudah menunjukkan keberanian dan kepercayaan diri yang tinggi. Kehidupan masa kecil yang keras telah menempa dirinya menjadi seorang pribadi tangguh yang siap menghadapi semua risiko apa pun dalam kehidupannya. Dia anak imigran miskin yang hijrah dari Afrika Utara. Setiba di Perancis, Zidane kecil ikut orang tuanya yang tinggal di La Castellane, sebuah tempat kumuh yang menyedihkan di tepian Marseille. Di situ, Zidane bermain bola di jalanan yang gawangnya ditandai batu. 

Pada masa itu, Zidane kecil bukan yang terbaik. Tapi dia tak pernah menyerah menghadapi apa pun. “Ketika teman-teman pulang, saya masih bermain dan mempelajari trik bermain bola,” katanya. Semua keahliannya sekarang adalah sesuatu yang didapatnya secara alamiah, melalui proses belajar di lapangan bermain masa kecilnya.

Di umur 13 tahun, dia ditemukan Jean Varraud seorang pemandu bakat dari AS Cannes. Ia menangis saat berpisah dengan orang tuanya yang miskin. Namun kehidupan terus berlanjut, Pada usia 16 tahun, dia sudah menjadi pemain profesional di Bordeaux, sebelum akhirnya pindah ke Juventus, Italia. Di mana pun dia pergi, dia akan terus mengenang Jean Varraud yang menemukan potensi hebatnya. “Saya bisa seperti ini karena Varraud.”

BACA: Rahasia Terbesar Jose Mourinho

Hingga akhirnya dia menjadi pemain yang melebihi ekspektasinya sendiri. Di piala dunia 1998, saat Perancis mengalahkan Brazil, dia menjadi pahlawan yang dielu-elukan semua orang. Dia membawa keajaiban bagi Perancis yang tak pernah menggenggam piala dunia. “Ia bukan pemain bola, ia adalah keberuntungan,” kata Laurent Blanc, mantan pemain Perancis, sebagai dicatat seroang jurnalis. “Ia seperti tidak datang dari dunia ini,” kata Aimé Jaquet, mantan Pelatih Perancis. “Ia seperti dewa, ia bermain bola dengan kemolekan seorang balerina,” puji David Beckham.



Kini, dewa bola yang bermain seperti balerina itu mengukir karier sebagai pelatih cemerlang.  Dia menggapai banyak rekor sebagai pelatih hebat dengan sederet prestasi mentereng. Sebagai pelatih Real Madrid, dia sudah memiliki warisan yang akan selalu dikenang dari generasi ke generasi. Dia meninggalkan panggung Madrid dengan dua warisan utama. 

Pertama, dia memenangkan tiga piala Champion berturut-turut yang belum pernah dilakukan pelatih Madrid mana pun. Di sisi lain, dia tidak pernah memaksakan satu style bermain kepada pemainnya. Dia membentuk tim seperti amuba yang bisa cepat membelah diri dalam banyak situasi. Timnya paling adaptif dan seimbang. Tak ada satu rumusan baku dalam pakem Zidane. 

Memang, Zidane tidak sejenius Pep Guardiola dan Jurgen Klopp yang punya filosofi bermain yang jelas. Jika ketiganya didudukkan dalam satu seminar, Zidane akan lebih banyak diam dan membiarkan Guardiola dan Klopp berceramah tentang bagaimana membangun tim dengan karakter menyerang. Zidane tak akan berkutik sebab dirinya bukan tipe pelatih penuh visi melangit, tapi dia punya pragmatisme dan rasa lapar kemenangan yang paling tinggi. 

Zidane lebih pasif, membiarkan pemainnya berekspresi dengan mengikuti hasrat bermain yang paling disukai. Dalam situasi tertentu, dia dengan cepat bisa mengubah skema bermainnya. Lihat saja para pertandingan kedua babak semifinal saat melawan PSG. Zidane mengubah skema permainan menjadi 4-4-2 dan menempatkan Marco Asensio dan Lucas Vazquez di posisi sayap. Posisi tak terduga ini berjalan sangat efektif, yang menempatkan posisi Cristiano Ronaldo sebagai pencetak gol.

BACA: Maradona, Seks, dan Tuhan

Zidane dikenal sebagai pelatih yang paling memahami pemainnya, Dia meyakinkan pemainnya bahwa cara terbaik untuk mendapatkan hasil terbaik adalah kesediaan untuk hidup dan mati bersama-sama hingga babak akhir. Itu terlihat ketika awal musim, klub telah menyetujui transfer kiper muda Atletico yakni Kepa Arrizabalaga. Zidane menunda transfer itu hingga akhir musim. 

Dia tidak ingin mengirim pesan kepada kiper sekarang kalau ada keraguan pada permainannya. Zidane berdiri melawan Perez. Keputusan itu dijawab kiper Keylor Navas dengan penyelamatan-penyelamatan brilian dalam pertandingan selanjutnya.

Di babak akhir, semua keputusan yang dibuatnya sebagai pelatih Real Madrid telah menempatkannya sebagai legenda yang akan selalu dikenang di klub bersejarah itu. Publik akan mengenang kepercayaan dirinya, kekuatan hatinya ketika memotivasi semua pemainnya di ruang ganti, hingga bagaimana ketenangannya saat menghadapi pertandingan.

Namun, apakah Zidane tidak malah bersedih meninggalkan panggung hijau yang selalu disorot kamera? Bagaimanakah perasaannya ketika pergi dari panggung di mana suporter Madrid tak henti bernyanyi untuknya: Como not e voy a querer yang bermakna bagaimana mungkin kami tak mencintaimu?

Dalam jumpa pers ketika mengumumkan pengunduran diri, Zidane lebih banyak diam. Sesekali dia menatap piala “si kuping lebar”, julukan untuk Piala Champion, di hadapannya.(*)


BACA: Filsafat Kearifan, Filsafat Alex Ferguson






0 komentar:

Posting Komentar