Mudik Seru ala Mahasiswa dengan Kapal Pelni




SEBAGAI tradisi yang dilakukan setiap tahun, mudik adalah sesuatu yang membahagiakan semua orang. Hampir semua orang Indonesia punya pengalaman beda-beda dengan mudik. Nah, sebagai orang yang tinggal di pulau kecil, kemudian merantau ke kota besar demi meningkat harkat dan derajat melalui pendidikan, saya pun mengalami mudik sebagai peristiwa yang seru dan amat berkesan.

Saya tinggal dan besar di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Ketika masa perkuliahan dimulai, nasib mengarahkan saya untuk tinggal dan menetap di Makassar. Jauh sebelum tiba Lebaran, saya sudah menandai tanggal untuk mudik. Pada masa itu, kami tak punya alternatif untuk mudik. Pesawat belum singgah di kampung kami. 

Kapal Pelni adalah satu-satunya moda transportasi yang membawa kami menuju kampung halaman. Bagi yang tinggal di Kendari dan Kolaka, maka mereka akan mudik dengan menumpang mobil yang lalu menyeberang dengan kapal fery di Bajoe menuju Kolaka. Sementara kami warga pulau, hanya punya satu pilihan yakni kapal Pelni.

Di setiap momen mudik, kapal Pelni itu menjadi arena pertemuan dari mahasiswa asal Buton-Muna-Wakatobi yang tersebar di banyak kota. Sebab rute kapal itu adalah dari Jakarta, Surabaya, lalu Makassar, hingga Baubau. Di setiap pelabuhan, pasti akan ada mahasiswa asal kampung kami yang naik kapal. Saya masih terkenang saat-saat di kapal Pelni, saat bertemu teman-teman kecil yang kuliah di berbagai kota, saat menunggu keberangkatan dari kafetaria kapal Pelni di dek paling atas, sebelah belakang.

Demi mudik, saya menyiapkannya sejak jauh hari. Bermula dari memanjangkan rambut dan dibiarkan keriting, biar kelihatan urakan dan macho saat di kapal. Celana jeans belel yang saya pakai sengaja disobek di bagian lutut biar kesannya sedikit liar dan nakal. Tak lupa, ada rokok di saku jaket yang kelak akan dinyalakan saat sedang menunggu di dek tujuh kapal, dekat kafetaria. 

Demi kesan gagah, jauh-jauh hari saya menabung untuk membeli tas kerel ala pencinta alam, yang ada matras di atasnya. Fashion paling keren untuk mahasiswa di masa itu adalah fashion ala pencinta alam. Rasanya keren sekali kalau dianggap suka berpetualang dan naik gunung. Di akhir masa kuliah, fashion yang lagi happening adalah penampilan ala fotografer. Rasanya bangga kalau naik kapal sambil menenteng kamera. Padahal kemampuan motret masih amatiran. Masih sebatas motret acara ulang tahun.

Tak hanya itu, saya juga sengaja membeli baju kaos dengan lambang kampus biar dikira anak kuliahan. Saya juga beli buku-buku tebal, yang nyaris tak pernah dibaca. Saya bayangkan gadis-gadis akan terkesima dan kagum melihat penampilan ala pendaki gunung.

Pada masa itu, saya tinggal di pondokan, istilah anak Makassar untuk rumah kos berupa rumah panggung terbuat dari kayu. Teman-teman saya punya cara sendiri untuk mempersiapkan mudik, khususnya saat di kapal. 

Seorang kawan bernama La Udi akan latihan vokal selama seminggu demi bisa tampil sempurna saat karaoke dengan lagu-lagu dangdut di kafetaria kapal. Sebab di kafetaria kapal, sering kali ada karaoke. Banyak mahasiswa menunggu di sana, memesan segelas kopi, lalu menyaksikan para biduan saling pamer kemampuan bernyanyi. La Udi membayangkan dirinya akan jadi bintang, mendapat tepuk tangan meriah, setelah itu dapat hadiah berupa tiket nonton film yang agak porno di dek dua.

Selain bernyanyi, kemampuan joged juga diperlukan untuk membuat orang-orang kagum. Kalau soal joged, La Udi tak perlu diajari. Dia sudah pengalaman menghadiri pesta panen kande-kandea di banyak desa di kampung kami. Di setiap acara adat itu, selalu ada acara joged untuk anak-anak muda. Setiap kali joged, pasti dia akan mendapat pacar baru. Duh! Bikin cemburu saja.

Tak cuma karaoke, La Udi juga mengasah kemampuan bermain domino. Lama tempuh kapal Pelni selama 12 jam dari Makassar ke Baubau akan terasa singkat jika dilalui dengan bermain domino. Bagi kami, amat rugi membeli tiket kelas 1 hingga kelas 4. Sebab, waktu akan lebih banyak dihabiskan di kafetaria, tangga kapal, atau lorong-lorong kamar. Apa yang dilakukan di situ? Kalau bukan main domino, kami akan isi dengan berceloteh berbagai topik.

Saking seringnya naik kapal, saya mengenali semua tempat di kapal itu. Sepanjang kuliah, saya selalu menaiki kelas ekonomi. Saya terbiasa tidur di berbagai tempat. Pernah tidur di tangga, dekat dapur, lorong-lorong kamar kelas, hingga pernah pula menyewa kamar anak buah kapal (ABK). Malah, pernah saya tidur di sekoci. Tempat favorit saya adalah sedikit ruang di atas tangga dek kapal sebelah dalam. Sebab saat duduk di tangga, saya bisa menyaksikan orang yang lalu lalang, dan sedikit menepi karena kami menguasai tangga kapal.

Saat berada di kapal, saya merasakan banyak hal yang berubah. Beberapa teman yang dahulu minder, tiba-tiba jadi lebih percaya diri. Beberapa kawan mulai berambut gondrong, padahal dulu tampak rapi sebab jadi anak mami di masa SMA. Kadang kami bahas teman yang dahulu juara kelas, tiba-tiba kehilangan kharismanya saat kuliah.

Seorang teman tidak percaya kalau saya bisa lancar kuliah. Padahal, semasa di SMA, saya terbilang siswa paling sering bolos dan pernah terancam tidak naik kelas. Lebih terkejut lagi teman itu saat mendengar saya cukup dikenal di kampus. Dipikirnya saya akan keluar atau minimal drop out saat semester tiga. Maklumlah, dia memandang saya dengan cara pandang lama. Dia tidak tahu kalau pergaulan dan interaksi bisa membuat seseorang berubah.

Saat bertemu teman-teman sekampung, topik paling disukai adalah tentang kiprah teman-teman cewek yang dahulu pernah menjadi idola dan agak angkuh di sekolah. Kuliah di kota-kota, membuat kawan sekampung bertemu dengan pergaulan yang lebih luas, sehingga menganggap kalau ada banyak cewek yang melebihi idola sekolah kami, namun justru jauh dari kesan angkuh. 

Tak habis-habisnya, kami mengenang masa kecil di kampung halaman. Kami juga membahas perkembangan teman-teman kami yang lama tak bertemu. Mulai dari La Albert yang berhenti kuliah karena menekuni aktivitas paranormal dan perdukunan, La Dora yang dicari preman karena menghamili keluarga preman itu, hingga La Komar yang di masa SMA dikenal malas, tiba-tiba menjadi aktivis yang muncul di banyak demonstrasi.

Pada beberapa kawan, momen mudik menjadi ajang uji nyali dan petualangan. Modusnya ditempuh dengan tidak membeli tiket untuk menaiki kapal laut. Saya tahu persis kalau kawan itu punya uang, tapi dia sengaja tidak membeli tiket. Mungkin dia merasa keren saat menumpang kapal tanpa tiket, lalu menghindari kejaran satpam dan petugas tiket. 

Pernah pula dia tertangkap satpam. Bukannya malu, dia justru merasa bangga karena tertangkap. Dia pun membayar tiket. Setelah itu dia akan petantang-petenteng ke mana-mana lalu lempar senyum sana sini saat berita tentang dirinya tertangkap telah menyebar. Dia justru bangga karena tertangkap. Dasar!

Seorang kawan aktivis, punya kiat cerdik. Dia akan membuat negosiasi dengan pihak kapal Pelni. “Jumlah kami 10. Apakah kami bisa diberi 10 tiket dengan hanya membayar 6 tiket?” Kalau pihak Pelni setuju, maka dia akan merasa bangga setinggi langit. Misi untuk lobi telah sukses.

Mudik di kapal Pelni juga menjadi ajang untuk bertemu dengan teman cewek semasa di kampung. Kadang kaget juga mengetahui Si A tiba-tiba menjadi lebih cantik dan memesona saat kuliah. Mungkin dia sudah mengenal mode dan salon. Padahal, semasa di kampung, dia tidak masuk nominasi dan klasemen cewek yang akan diincar. 

Di satu perjalanan dengan kapal, Si A singgah ke kafetaria bersama teman-teman cewek lainnya. Tiba-tiba saja, geladak kafetaria itu ramai dengan para mahasiswa. Banyak mahasiswa yang duduk di pagar kapal, sengaja mengibaskan rambut gondrongnya, lalu menghembuskan asap rokok. Saya tahu ada beberapa teman yang tidak merokok. Tapi di kapal itu, mereka akan merokok. Tahu alasannya? Biar keren dan nampak macho. Siapa tahu Si A akan tertarik.

Ada juga mahasiswa yang datang menyapa Si A lalu mengeluarkan istilah-istilah sulit, seperti paradigma, aksioma, atau revolusi sains. Disebutlah nama para filsuf dan pemikir, mulai dari Plato, Aristoteles, hingga Nietzsche dan Michel Foucault. Dibahaslah topik mengenai pemerintah yang bobrok, tidak becus, lalu dikeluarkannya teori-teori ekonomi makro. Dia lalu menyebut kiprahnya di dunia aktivis dan intelektualitas. Tahu alasan mengeluarkan istilah rumit? Biar Si A kagum dan bersedia dipacari. Yah, namanya juga usaha.

Demi keinginan agar tampak macho itu, beberapa orang sengaja menenggak alkohol. Maklumlah, bagi kami orang kampung, menenggak alkohol adalah bagian dari ritus menjadi orang dewasa. Di masa saya kuliah, ada beberapa kawan sekampung yang bekerja sebagai anak buah kapal (ABK). Para ABK inilah yang lalu mengajak rekan-rekannya ke ruang-ruang tersembunyi di kapal, biasanya ruang rapat. Di situ, beberapa bir dan konau (tuak khas Buton) dikeluarkan. Mereka lalu party dan hepi-hepi.

Saking seringnya naik kapal, saya menghafal persis semua pengumuman di kapal itu. Misalnya, “ABK dek muka belakang.” Atau pengumuman tentang “Kapal serong kiri”. Ada tiga pengumuman yang paling saya sukai. Pertama, pengumuman makan malam. Saya tak sabar untuk antre demi makanan yang diletakkan di atas kaleng dengan petak-petak ala narapidana. Kedua, pengumuman kalau diskotek sudah dibuka dan pengunjung diminta datang dengan memakai sepatu. Anda bisa bayangkan, di atas kapal, ada diskotek. Kembali saya akan bertemu La Udi si raja joged di situ. Ketiga, pengumuman kalau sejam lagi kapal akan tiba di Pelabuhan Baubau.

Nah, pengumuman terakhir ini yang paling menyenangkan. Saya akan segera menuju anjungan atau geladak kapal. Saya menyaksikan kampung halaman yang terlihat di kejauhan. Yang pertama saya kenali adalah rumahnya La Ony yang tampak dari kejauhan, jembatan batu yang dipenuhi kapal layar, hingga akhirnya kerumunan penjemput yang menanti kedatangan kami, anak mahasiswa yang dahulu bengal, kini melanjutkan pendidikan demi masa depan.

Di antara penjemput itu, selalu ada para ayah dan ibu yang membanjiri pelabuhan dengan rasa rindu.  Orang tua selalu jadi pihak paling sibuk dan paling deg-degan demi menyambut anaknya. Bagi mereka, seorang anak yang merantau demi pendidikan ibarat merpati yang terbang tinggi dan kelak akan kembali ke sarang. Rumah terasa lengkap jika semua hadir. Kelak, saya pun akan bahagia saat menjemput anak yang belajar di kampung-kampung jauh demi masa depan yang lebih baik.


NB

Dalam versi berbeda, tulisan ini pernah tayang di blog ini. Saya telah memodifikasinya dengan beberapa tambahan informasi baru.



0 komentar:

Posting Komentar