Saatnya Membela JONRU




JON Ria Ukur (Jonru) telah divonis majelis hakim. Pengadilan menyatakan dirinya bersalah. Banyak orang kembali menyalahkan apa yang dilakukannya. Padahal, Jonru tidak salah apa-apa. Dia hanya mengungkapkan apa yang diyakini dan dipercayainya kepada publik melalui media sosial. Dia hanya lebih jujur dari siapa pun dan memilih bercerita melalui sentuhan jemarinya. 

Apakah dia pantas disalahkan untuk opini yang dia anggap benar?

Dalam diri Jonru tak ada niat untuk berbohong. Dia mendapat pesan-pesan yang terkirim dari jaringannya. Sebagaimana netizen lainnya, dia tak punya waktu untuk melakukan verifikasi atas fakta demi fakta. Lagian, tugas melakukan verifikasi harusnya di tangan para ilmuwan dan sejarawan yang berdiam di menara ilmu. Mereka yang harusnya produktif menulis demi mencerahkan publik atas setiap fakta dan kepingan informasi.

Tugas verifikasi juga harusnya diemban oleh para jurnalis yang setiap hari melahirkan aksara. Namun para jurnalis sudah lelah untuk melakukan intisari dunia jurnalisme. Mereka terjebak dan tiba-tiba harus berpacu dalam sirkuit persaingan media, yang dimenangkan oleh siapa yang paling cepat, dan paling kuat berlari.

Jonru adalah subyek yang kesadarannya ditentukan oleh membanjirnya beragam informasi yang tak terverifikasi. Di era sebelumnya, informasi hanya ditemukan dalam celoteh para pedagang koran di lampu merah, atau di tuturan para penyalur media, atau dalam setiap menit sajian berita televisi. Di era Jonru, informasi masuk secara gratis dan memberondong di smartphone begitu kita bangun pagi. Informasi berseliweran di sekitar kita, yang kurang sabar untuk mencerna satu demi satu.

Kita malas berpikir. Kita malas untuk mengecek ulang. Sehingga ketika kian banyak informasi berjejalan, kita mudah percaya. Kita melihat bungkus ketimbang isi. Di era Jonru, profesi guru dan dosen, bahkan profesor, tak malu-malu saat menyebar satu informasi. Profesi yang seharusnya mengajarkan penalaran itu seakan kehilangan greget saat berhadapan dengan limpahan informasi yang diklaim sebagai informasi di balik layar.

Kita tak punya waktu untuk melakukan verifikasi dengan cara mengecek pada media-media kredibel. Dengan mudahnya kita percaya dengan sesuatu yang seolah-olah informasi A1. Kita mudah saja percaya saat informasi bohong dibagikan banyak orang sekaligus. Kita gampang tersentuh saat informasi itu diberi latar kalimat-kalimat yang dikutip dari kitab suci. Asal diberi label agama, emosi kita mudah tersulut, lalu percaya dengan informasi yang tujuannya justru untuk membenci yang lain.

Jonru adalah produk dari sistem sosial kita yang lumpuh penalarannya. Sistem pendidikan kita tak mengajarkan bagaimana membedakan kebenaran dan kesesatan. Kita telah mundur di era kegelapan ketika otoritas mengalahkan pencarian kebenaran. Kita tak menghargai diskusi dan penalaran. Kita tak fokus pada informasi, melainkan siapa yang memberi informasi. Saat informasi disampaikan seseorang yang memakai jubah keagamaan, kita mudah saja larut.

Jonru adalah potret dari kian mundurnya ilmu pengetahuan. Tak ada lagi debat data dan fakta, sesuatu yang merupakan jantung pencarian pengetahuan. Kita terburu-buru ingin mengambil kesimpulan dari satu proses ilmiah yang sedang berjalan. Di benak kita, hanya ada sesuatu yang final, tanpa harus mencari-cari dan mendebat semua sumber. 

Sekolah-sekolah dan universitas telah lama menjadi pabrik yang menghasilkan gelar kebangsawanan baru. Bahkan gelar-gelar diobral murah di berbagai ruko yang menyebut dirinya kampus. Para profesor kita telah lama berhenti meneliti dan menulis publikasi. Semuanya berebut jabatan penting di pemerintahan agar bisa mengumpulkan pundi-pundi. Mahasiswa kita lebih suka selfie dan memamerkan makanan di instagram. 

Toko-toko buku telah lama sepi, dan keberadaannya kian terkucil karena ekspansi dari berbagai barang mewah. Buku-buku di perpustakaan kian berdebu karena punahnya tradisi baca dan tulis serta diskusi secara mendalam. Buku-buku menjadi artefak yang kian terpinggirkan dikarenakan orang-orang lebih suka mencari informasi di situs abal-abal penyedia daftar konspirasi jahat yang akan menghancurkan bangsa ini.

Saat bangsa-bangsa lain sibuk mengembangkan kecambah ilmu pengetahuan hingga tumbuh lalu dahan dan rantingnya menjangkau mega-mega, kita hanya berjalan di tempat. Bangsa lain telah mampu mengembangkan riset medis dan mengobati banyak penyakit ganas, kita masih saja hidup dalam keyakinan bahwa hanya dengan berbekal mantra, semua penyakit akan sembuh.

Jonru adalah potret dari malasnya kita menyediakan kanal-kanal yang bisa menjadi portal bagi publik untuk menemukan jawaban. Pemerintah kita membangun tembok-tembok yang terlampau tinggi bagi rakyat untuk menggapainya. Di depan mata kita, seorang pedagang kaki lima bisa dihardik, ditendang dan diterjang, sementara para kontraktor korup justru dipuji setinggi langit dan dijadikan kepala daerah.

Kita lebih menghargai otoritas tanpa isi, simbol akademik tanpa isi, tanda pangkat tanpa pelayanan, juga gelar keulamaan tanpa kearifan. Yang hilang dari kita adalah sikap kritis untuk selalu menalar setiap kepingan fakta. Kita tak lagi mencari pertautannya dengan fakta lain demi memahami konstruksi gagasan itu, kemudian menentukan benar dan salah.

Sekali lagi, Jonru adalah produk dari gagalnya sistem sosial kita yang seharusnya mengajarkan kita untuk lebih menalar, ketimbang memvonis. Ketika semua hal dilihat sebagai konspirasi dan ada niat jahat, maka segala yang baik pun akan tampak berbeda. Kebenaran kehilangan penanda. Kebaikan kehilangan ruh. Tanpa sadar benih prasangka dan kebencian tumbuh dalam diri kita, memenuhi semua pembuluh darah, lalu menjadi identitas yang mendefinisikan siapa diri kita.

Ketika segala sesuatu di sekitar kita menjadi penuh keburukan, ketika hal baik menjadi tidak baik, bahkan ketika hal yang buruk justru menjadi baik di mata kita, saatnya mengucapkan selamat tinggal kepada nalar dan akal sehat. Ucapkan selamat datang abad penuh nyinyir. Bersiaplah untuk menjadi Jonru selanjutnya.

Namun, dengan menimbang berbagai fakta mengenai sistem dan dinamika sosial, kita akan tiba pada satu muara pertanyaan, apakah pantas kita menyalahkan Jonru?




0 komentar:

Posting Komentar