Makna Ibu Bagi SYARKAWI RAUF




DI layar televisi, kita sering menyaksikan bagaimana Syarkawi Rauf, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjelaskan soal ekonomi, khususnya kartel dan persaingan usaha. Dia selalu tampak dingin, serius, dengan kalimat yang bernuansa akademik. 

Namun saat dirinya membahas perjalanan hidupnya, kalimatnya berujung pada pentingnya seorang ibu. Dia kehilangan kata. Sesaat dia berhenti, kemudian meninggalkan podium. Dia tak kuasa melanjutkan kalimat-kalimatnya.

Saya menyaksikan pidato Syarkawi saat Seminar Motivasi Spirit of Indonesia yang diadakan Kami Indonesia di Baruga AP Pettarani Unhas, pekan silam. Syarkawi dipanel dengan Gubernur Syahrul Yasin Limpo, mantan Ketua KPK Abraham Samad, komedian dan Mi’ing Bagito. Semua pemateri diminta membahas perjalanan kariernya, serta apa saja motivasi dan perjalanan hidup yang bisa dibagikan kepada mahasiswa.

Bagi saya, permulaan presentasi yang disampaikan Syarkawi tak begitu menarik. Dia menjelaskan tentang reformasi yang kemudian melahirkan banyak lembaga termasuk KPPU. Dia juga membahas kartel serta bagaimana kapitalisme kroni bekerja. 

Saya melihat mahasiswa malah ngantuk saat dirinya menjelaskan konsep-konsep di hadapan ribuan orang yang hadir di situ untuk mendapatkan motivasi, atau mungkin mendapatkan hiburan. Sepertinya, Syarkawi bisa membaca suasana forum. Dia lalu mengubah gaya presentasinya. Mulailah dia membahas tentang perjalanan kariernya yang dimulai sejak lahir dan kecil di Polewali Mandar.

Dia bercerita bagaimana dirinya dahulu adalah seorang aktivis mahasiswa, yang getol berdemonstrasi di periode jelang kejatuhan Soeharto tahun 1998. Saya menjadi saksi atas dirinya yang dulu suka berdemonstrasi. Dahulu, saya adalah bagian dari massa yang sering menyaksikan bagaimana orasi Syarkawi yang menghentak. 

Dia lulus kuliah dalam waktu enam tahun, kemudian berangkat ke Jakarta. Perjalanannya tidak mudah sebab pada masa itu dia hidup dengan ekonomi pas-pasan. Pernah, saya diajak ke kos-kosannya yang tampak biasa di Depok. Beruntung, dia telah membangun jaringan selama di Makassar. Dia diajak seorang senior bergabung di satu lembaga kajian. Dia tak menyebut nama. Tapi dalam obrolan beberapa tahun lalu, dia pernah bilang kalau yang mengajaknya adalah Andi Alifian Mallarengeng.

Selama kuliah, Syarkawi bekerja sebagai dosen, kemudian jadi ekonom di Bank BNI. Setelah itu, dirinya terpilih jadi komisioner KPPU yang termuda. Jalan takdir membawanya ke posisi pimpinan KPPU, lembaga negara yang lokasinya tak jauh dari Istana Negara.

Saat merefleksikan tapak demi tapak perjalanan kariernya, dia memberikan tips kepada mahasiswa. “Dari begitu banyak hal yang saya gapai, semuanya tak bisa dilepaskan dari peran luar biasa seorang ibu. Kalau bukan karena ibu, saya tak mungkin berdiri di sini. Seorang ibu yang menjadi matahari bagi setiap pijakan langkah saya. Berkat ibu, saya bisa melakukan banyak hal. Pesanku pada kalian, sayangi dan cintai ibumu.”

Saat menyebut ibu, penuturannya terhenti. Semua orang menyaksikan dirinya yang tiba-tiba sesenggukan. Harusnya dia lanjut menjelaskan apa saja kiat lain, misalnya bekerja dan membangun jejaring. Rupanya, pembahasan tentang ibu itu membuat semuanya buyar. Dia menutup presentasinya. 

Dia masih sempat berkata, “Kalau bahas ibu, saya selalu seperti ini. Saya tidak bisa lagi berkata-kata.” Semua orang bertepuk. Syarkawi kembali duduk di kursi para pemateri, bersama Gubernur Syahrul. Saya masih berharap dia akan banyak bercerita tentang ibunya. 

*** 

KISAH Syarkawi menarik untuk direnungkan. Hampir semua orang sukses selalu memiliki keluarga yang mendukung mereka hingga menggapai impiannya. Mereka tak berjuang sendirian, tapi ada tetes keringat orang tua serta keluarga yang mengikhlaskan diri mereka sebagai lahan gembur bagi seorang anak untuk tumbuh dan membesar.

Dalam buku Outliers, yang pertama kali terbit tahun 1988, Malcolm Gladwell mengatakan bahwa kesuksesan tidak berasal dari angka nol. Semua orang berutang pada orang tua dan dukungan orang lain. Kesuksesan adalah apa yang sering disebut oleh para sosiolog sebagai “keuntungan yang terakumulasi”. Tempat dan kapan seseorang tumbuh besar memiliki pengaruh yang cukup besar.

Gladwell menolak anggapan tentang keberhasilan yang semata-mata dipicu oleh kecerdasan. Menurutnya, keberhasilan seseorang menggapai satu kesuksesan tidak bisa dilihat hanya dari satu aspek saja, melainkan terdapat hal yang lebih rumit, kompleks, dan hanya bisa dipahami dengan menelusuri kehidupan orang tersebut.

Gambaran yang paling sederhana namun gamblang dipaparkan Gladwell dalam cerita singkat mengenai pohon. Pohon ek menjadi yang tertinggi di hutan bukan semata-mata karena dia paling gigih. Dia menjadi yang tertinggi karena “kebetulan” tidak ada pohon lain yang menghalangi sinar matahari kepadanya, tanah di sekelilingnya dalam dan subur, tidak ada kelinci yang mengunyah kulit kayunya sewaktu masih kecil, dan tidak ada tukang kayu yang menebangnya sebelum dia tumbuh dewasa.

Dukungan lingkungan adalah hal yang sangat ditekankan oleh Gladwell. Dia memberikan banyak contoh mengenai orang jenius yang gagal. Salah satunya adalah kisah tentang Chris Langan, seorang pria dengan IQ 195 (lebih tinggi daripada IQ Einstein yang sebesar 150). Orang dengan IQ setinggi namun tidak tercatat sebagai manusia berprestasi di dunia, bahkan akhirnya berprofesi sebagai tukang pukul serta penjaga sebuah peternakan kuda.

Langan bukan tidak mencoba untuk sukses. Tetapi dia gagal mendapatkan kesempatan dan gagal mendapatkan dukungan yang diperlukan. Dia berasal dari keluarga broken home yang miskin. Suatu ketika, Langan yang jago kalkulus itu mencoba menyampaikan kritik kepada dosen kalkulusnya yang dia anggap tidak bisa mengajar dengan benar. Alih-alih mendapatkan teman diskusi, yang diperolehnya justru kesalahpahaman.

Ketika kuliah tingkat kedua, beasiswanya dihentikan karena ibunya lupa mengisi formulir yang diperlukan untuk memperpanjang beasiswa. Langan mencoba bernegosiasi dengan pihak kampus tapi ditolak.  Tahun berikutnya dia mencoba kuliah di kampus lain sambil bekerja. Dia mencoba memindahkan jam kuliahnya ke waktu lain agar bisa mendapatkan angkutan ke kampus dengan mudah karena dia memiliki kendala dengan kendaraan. Langan kembali gagal. Begitulah, yang dia peroleh adalah akumulasi “kegagalan” atau “kesialan”.

Menurut Gladwell, Langan tidak cukup memiliki kecerdasan praktis. Dia tidak berhasil mengatasi masalah-masalah praktis yang lazimnya dapat dipecahkan bahkan oleh orang-orang yang kecerdasan analitisnya di bawah dia. Sebenarnya dia membutuhkan dukungan sebagaimana yang diperlukan orang-orang cerdas lain untuk sukses. Dia tidak sanggup menghadapi keruwetan hidupnya itu sendirian.

Lebih jauh Gladwell mengaitkan kasus Langan ini dengan dukungan yang diberikan orang tua terhadap anak-anaknya. Dia melihat orang tua yang hebat umumnya sering berdiskusi dengan anaknya, mengajak anaknya berunding, sementara orang tua yang biasa-biasa saja hanya memberikan perintah.

*** 

SAYANGNYA, di acara yang saya hadiri pekan silam, Syarkawi tidak banyak bercerita bagaimana ibunya membesarkannya, bagaimana ibunya mengarahkan semua pilihan-pilihannya. Andaikan dia membahas itu, maka presentasinya akan jauh lebih menarik dari pembahasan tentang kartel dan persaingan tidak sehat.

Dari bahasa tubuhnya di acara itu, saya bisa merasakan ada gemuruh kuat yang bergerak dalam dirinya kala menyebut nama ibu. Kalimat ibu menjadi kalimat paling indah yang ada di hati seorang anak. Semua kesuksesan dan kebahagiaan seorang anak selalu berawal dari impian seorang ibu. 

Pada akhirnya, topik tentang ibu membuat Syarkawi berhenti membahas banyak hal. Dia memilih untuk meredakan gemuruh hatinya, duduk diam, lalu mengingat ibunya. Entah, apakah ibunya masih ada ataukah sudah berpulang. Yang pasti, kehadirannya teramat penting sebab telah menggoreskan banyak hal di kanvas hidup Syarkawi Rauf.

Sayup-sayup, saya terkenang, puisi Kahlil Gibran:

Ibu adalah segalanya,
dialah penghibur di dalam kesedihan.
Pemberi harapan di dalam penderitaan,
dan pemberi kekuatan di dalam kelemahan.
Dialah sumber cinta, belas kasihan, simpati dan pengampunan.
Manusia yang kehilangan ibunya
berarti kehilangan jiwa sejati
yang memberi berkat dan menjaganya tanpa henti.
Segala sesuatu di alam ini melukiskan tentang sosok ibu.
Matahari adalah ibu dari planet bumi
yang memberikan makanannya dengan pancaran panasnya.
Matahari tak pernah meninggalkan alam semesta pada malam hari
sampai matahari meminta bumi untuk tidur sejenak
di dalam nyanyian lautan dan siulan burung-burung dan anak-anak sungai.
Dan Bumi ini adalah ibu dari pepohonan dan bunga-bunga
menjadi ibu yang baik bagi buah-buahan dan biji-bijian.
Ibu sebagai pembentuk dasar dari seluruh kewujudan
dan adalah roh kekal, penuh dengan keindahan dan cinta.




0 komentar:

Posting Komentar