Saat Jusuf Kalla Gertak Laskar Jihad




WAKIL Presiden Jusuf Kalla (JK) menerima gelar doktor honoris causa di bidang perdamaian dari Universitas Hiroshima di Jepang. Beliau adalah satu-satunya orang Indonesia yang pernah menerima tiga gelar doktor kehormatan di bidang perdamaian, yang melengkapi 11 gelar doktor kehormatan di bidang lainnya. Pemberian gelar itu adalah penghormatan sekaligus upaya untuk merawat legacy (warisan) dan menebar benih perdamaian ke seluruh dunia. Jusuf Kalla bukan hanya milik Indonesia. Dia milik dunia.

Jejak emas Jusuf Kalla ditorehkan saat mendamaikan konflik-konflik besar di Indonesia. Pada saat banyak orang sibuk menghasut dan mengampanyekan permusuhan, pada saat banyak orang berteriak nyaring dan hendak menetak kepala orang lain, pada saat semua banyak orang ingin perang dan membunuh sesama saudaranya, Jusuf Kalla berdiri di tengah dan meminta semua pihak untuk berdamai. Konflik mereda. Merpati damai diterbangkan ke angkasa. Semua duduk sejajar.

Upaya meretas jalan ke arah perdamaian itu memang tidak mudah. Untuk mendamaikan konflik Ambon, Poso, dan Aceh, JK menemui banyak orang, termasuk bersuara keras pada mereka yang masih ingin “bertempur.” Tak semua orang ingin damai. Pada titik ini, JK sesekali bersuara keras untuk menghadapi kelompok yang juga keras.

Dalam upaya perdamaian itu, terdapat banyak kisah-kisah menarik untuk dituturkan. Salah satu kisah itu dituturkan Hamid Awaludin terkait penyelesaian konflik Ambon di tahun 1999. Hamid bercerita bagaimana JK menghadapi kelompok Laskar Jihad yang saat itu datang ke Ambon dengan dalih untuk membela umat Islam yang teraniaya.

Anggota Laskar Jihad datang dari banyak daerah di Indonesia. Mereka datang ke Ambon demi memenangkan umat Islam yang tengah berkonflik. Padahal, kerugian akibat konflik itu dirasakan semua pihak.

Dalam situasi yang setiap saat emosi bisa tidak terkendali, JK memanggil Laskar Jihad. Anggota laskar menolak diskusi dengan JK, meskipun akhirnya tetap juga mengirimkan empat orang pimpinannya. Keempatnya datang menemui JK yang saat itu ditemani oleh Hamid Awaluddin, sosok yang kemudian menandatangani perjanjian Helsinki demi mengatasi konflik Aceh.

“Begini saja. Kita langsung ngomong terbuka saja. Saya minta saudara-saudara ikut dalam kesepakatan damai ini. Saya sudah keliling dan temui banyak orang. Semua sudah setuju,” kata JK memulai pembicaraan.

“Tidak Pak. Kita harus pahami dulu apa aspirasi umat Islam. Damai itu gampang, tapi banyak masalah yang tidak selesai ketika berunding,” kata anggota laskar.

Prak!!!

JK lalu menggebrak meja. Anggota Laskar Jihad terkejut. Mereka terbiasa melalui banyak perkelahian di Ambon. Ketika JK menggebrak meja, mereka langsung siaga. Teman-temannya juga siaga, meskipun sama-sama gentar melihat lelaki kecil itu tiba-tiba saja marah.

“Kalian tak usah ajari saya tentang aspirasi umat Islam ya. Umat Islam selalu cinta damai. Umat di Maluku juga mau damai. Jangan cari-cari alasan. Tidak ada umat Islam yang tidak mau damai, sebab kalau dalam suasana rusuh, mereka tak bisa ke masjid. Kalau rusuh terus, umat Islam tidak bisa silaturahmi dengan saudaranya,” kata JK dengan suara meninggi.

“Kami butuh persiapan Pak. Kita harus perhatikan grass-root. Umat Islam sedang terdesak,” kata seorang anggota Laskar Jihad.
“Kamu jangan ragukan komitmen saya sama Islam. Silakan cek dari kakek saya hingga anak-anak saya. Kalau Anda anggap umat Islam sedang terdesak, mari kita cari jalan penyelesaiannya. Hanya damai yang jadi solusi. Kalau mau damai, tak perlu persiapan.  Begitu mau damai, ya damai. Tak usah atas-namakan grass-root. Saya sudah temui banyak orang di Ambon. Semua sepakat untuk damai,”
“Persoalannya tidak sesederhana itu Pak. Kami ke Ambon karena umat Islam tertindas di sana. Melindungi mereka adalah ibadah,”
“Persoalannya sederhana. Anda yang membuatnya tidak sederhana. Apakah mendamaikan orang itu bukan ibadah? Kalau Anda mau melindungi umat Islam, segera buat perdamaian. Jangan cari alasan lagi,” kata Pak JK mengakhiri diskusi.

***

UPAYA perdamaian mulai diretas.  Di Ambon, pendekatan JK dianggap tak biasa karena ia menolak tindakan pemerintah yang hanya menurunkan brimob dan tentara untuk mengatasi konflik. JK menolak jika konflik Ambon diselesaikan ala koboi yakni saling hajar dengan pistol di tangan. Ia menolak operasi militer yang kemudian menempatkan seseorang pada posisi jagoan karena membunuh banyak orang. Ia dengan berani menghardik seorang pimpinan Laskar Jihad yang ingin berperang. Bagi JK, perang hanya akan membuat susah semua pihak.

Ketika Ambon mulai damai, JK tak berhenti di situ. Dia lalu mendamaikan Poso dan juga Aceh. Pendekatan JK untuk mengatasi konflik terbilang unik dan baru. JK tidak pernah menggunakan satu resep untuk mengatasi konflik. Ia berpikir kontekstual dan selalu melihat banyak aspek yang khas di satu wilayah, sebelum merumuskan solusi. Ia menekankan pada dialog-dialog yang membebaskan.

Biarpun JK adalah bagian dari negara, ia justru mengupayakan perdamaian dari tepian, di luar sisi diplomasi resmi. Ia bekerja di luar struktur negara, yang seringkali dianggap oleh banyak pihak sebagai bukan kewenangannya. Justru, melalui upaya di luar struktur negara itu, ia sukses menghampar karpet merah perdamaian. Bagi JK, kemanusiaan adalah kata pertama yang harus dikedepankan dan menautkan semua kepentingan. Ia tak ingin terkotak-kotak oleh perbedaan suku, agama, dan golongan.

Di Poso, ia mempertemukan dua kelompok bertikai yakni kelompok Islam dan kelompok Kristen. Mereka dipertemukan agar terjadi dialog. “Kalau ingin menyelesaikan konflik ini rumusnya sederhana, harus tahu apa penyebabnya. Dan semua upaya damai hanya satu rumusnya; lakukan dialog dan kompromi. Jadi harus cari titik temunya sehingga damai dapat diterima kedua belah pihak.”

JK melihat konflik disebabkan oleh tiga hal. Pertama, ideologi seperti PKI dan DI/TII. Kedua, ketidakadilan ekonomi. Itu bisa dilihat pada beberapa gerakan perlawanan di antaranya Permesta dan GAM. Ketiga, adanya sejarah ingin merdeka. “Tidak ada platform yang sama karena semua tergantung akar masalahnya, latar belakang serta perkembangannya,” katanya apda satu kesempatan.

Hal penting, kata JK, kita harus mengenali siapa saja yang berkonflik dan apa keinginannya. Jika konflik yang terjadi adalah konflik vertikal, maka penyelesaiannya melalui rekonsiliasi dan bentuk pemberian amnesti dan rehabilitasi. Dalam semua negosiasi, yang harus dijaga adalah harga diri (dignity) lawan. Sebab orang akan mudah tersinggung dan mengayunkan kapak peperangan saat harga dirinya tersakiti. Harga diri lawan tersebut harus terus dijaga pada semua tahapan perundingan.

“Kalau mau damai, cari lawan yang paling keras lebih dahulu, karena kalau sudah bisa tundukkan yang keras, nanti gampang tundukkan yang lembut,” katanya saat kuliah umum di ITB, beberapa waktu lalu. Namun untuk mencari lawan yang paling keras harus dilakukan pertemuan-pertemuan informal (lobi-lobi) lebih dahulu.
“Kalau perlu 50 persen persoalan sudah selesai pada pertemuan informal, baru setelah itu masuk ke tahap formal. Pertemuan informal juga harus digunakan untuk mencari siapa pemimpin utamanya, siapa panglima perangnya, siapa lawan yang paling keras. “

Kata JK, perundingan harus benar-benar netral dan adil. “Jika datang ke kelompok Kristen, maka ia harus juga datang ke kelompok Islam. Jika datang ke mesjid satu hari, maka harus datang ke gereja juga satu hari,” ujarnya. Selain itu, tambah Wapres, penengah juga tidak boleh takut kepada mereka. “Jadi jangan pernah tampakkan rasa takut pada mereka. Kasih tahu pada mereka bahwa kita tidak takut, kita datangi kedua belah pihak tanpa pengawalan,” kata JK.

Saat menyelesaikan kasus Poso, ia datang ke Tentena (wilayah Kristen), namun dengan mengajak seorang anggota Polisi Simatupang yang beragama Kristen. Alasannya, supaya kalau ada orang Kristen, maka Simatupang yang diminta berada di depan. Namun jika di kelompok Islam, maka ia sendiri yang akan ada di depan. Dan kiat-kiat seperti itu pula yang ia gunakan untuk menyelesaikan perundingan damai dengan GAM.

Untuk penyelesaian dengan GAM, ia sengaja mencari tim perunding yang bukan berasal dari suku Jawa. Karena GAM sangat memiliki trauma dengan suku tersebut.

“Saat saya ketemu Malik Mahmoud, saya katakan mungkin Indonesia tidak akan kalahkan GAM, tapi Indonesia siap berperang 100 tahun. Tapi juga mungkin GAM tak bisa kalahkan Indonesia, karena kekuatan GAM hanya 5.000, sementara Indonesia satu juta. Kalau Indonesia siap berperang 100 tahun, maka yang menjadi korban orang Aceh karena tempat perang di Aceh,” katanya mengungkapkan kiatnya menundukkan Malik Mahmoud agar bersedia berunding.

Dari situlah, dilakukan perundingan-perundingan secara marathon. Dan semua tahapan perundingan ia selalu menerapkan kiat-kiat yang sama yakni cari lawan yang keras, jaga kehormatan dan harga diri lawan (dignity), jaga kepercayaan, serta cari titik temu untuk mencapai perdamaian yang bisa diterima kedua belah pihak.

***

PEMBERIAN gelar doktor bidang perdamaian dari beberapa kampus di luar negeri adalah bentuk apresiasi dan pengakuan atas kiprah JK. Dunia luar mengakui jejak dan prestasi itu dan berikhtiar untuk menjadikannya sebagai pembelajaran bersama. Beberapa kampus yang mengajarkan perdamaian memasukkan kurikulum mengenai cara-cara JK mengatasi konflik di Indonesia.

Sebelum Hiroshima, JK telah menerima gelar serupa dari salah satu kampus di Thailand yakni Rajamangla University of Technology of Isan (RMUTI). Pihak kampus melihat pencapaian JK yang penting dalam mendorong perdamaian di beberapa wilayah Indonesia, yakni Ambon, Poso, dan Aceh. Sebelumnya, di tahun 2015, JK juga mendapatkan gelar yang sama atas perannya mendorong perdamaian dari Universitas Syah Kuala, Aceh.

Seharusnya, penghargaan ini tak cukup sampai di sini. Mesti ada upaya serius dari seluruh anak bangsa untuk menjaga warisan JK, di antaranya adalah mengusulkannya menjadi salah satu kandidat peraih Nobel bidang perdamaian. Jalan ke arah itu sedang diretas. Saat ini, anak bangsa yang menjadi kandidat paling potensial meraih Nobel adalah JK.

Nama JK juga kian nyaring bergema saat kunjungan International Peace Foundation (IPF), lembaga yang punya nama mentereng di ranah perdamaian. Dalam dialog bertajuk Asean Bridges-Dialogues Towards a Culture of Peace, nama JK dibahas. IPF dikenal sebagai lembaga yang sering menominasikan para peraih nobel bidang perdamaian. Lembaga ini juga kerap memfasilitasi para peraih nobel perdamaian untuk menebar virus perdamaian ke seluruh dunia.

JK juga kerap diminta pikirannya untuk membantu mengatasi berbagai konflik. Terakhir, ia diminta masukan oleh tim PBB di bawah Kofi Anan terkait Rohingya. JK juga diminta masukannya oleh banyak negara, seperti Spanyol, Perancis, hingga Somalia. Bahkan Presiden Somalia meminta JK sebagai pihak yang mendamaikan konflik etnik di sana. Sayangnya, JK tidak punya waktu panjang untuk itu sebab tengah menjalankan tugas sebagai wakil presiden.

Jika semua syarat terpenuhi, maka yang dibutuhkan adalah kampanye massif untuk mendorong nama JK. Kalaupun tahun ini penghargaan itu gagal direbut, maka tahun depan, mimpi untuk melihat putra Indonesia meraih nobel harus segera terwujud. Pertanyaannya, apakah rakyat Indonesia mau untuk mendukung putra bangsanya meraih penghargaan bergengsi itu, ataukah malah tidak rela hanya karena perbedaan pandangan faksi politik?

Saya membayangkan, di acara panggung bergengsi pemberian hadiah nobel perdamaian tahun 2018, nama Jusuf Kalla disebut. Saya bayangkan betapa solusi orisinil khas Indonesia akan semakin bergema di dunia luar. Bahwa Indonesia adalah negeri yang diamuk api konflik, namun dipadamkan oleh anak-anak bangsa yang cinta perdamaian. Bahwa inspirasi perdamaian tumbuh dari bumi Indonesia, yang kelak akan dituturkan sebagai narasi perdamaian pada segenap anak cucu.

Semoga perdamaian menjadi ciri yang melekat pada bangsa ini. Amin.


0 komentar:

Posting Komentar