DI tengah berjejalnya masyarakat kota yang saban hari sibuk mencari penghidupan, di tengah banyak orang yang hanya memikirkan materi dan kemapanan, di tengah banyak orang yang hanya sibuk menebar benci dan amarah, terdapat sejumlah anak-anak muda yang tetap memelihara cinta pada semesta dan meniti di atas jalur sufisme. Mereka setia bersyair dan beragama dengan penuh cinta. Mereka mendendangkan syair Jalaluddin Rumi, seorang penyair dan sufi yang berasal dari Konya, Turki.
***
SUASANA Popi Cafe di Pondok Pinang, Jakarta Selatan, agak lengang ketika saya memarkir kendaraan. Saya menerima undangan untuk berbagi pengetahuan bersama kawan-kawan yang tergabung dalam Rumi Institute. Tadinya saya ingin menolak ajakan itu. Saya pikir saya bukan pengkaji filsafat yang baik. Saya membaca hal yang ringan-ringan, mulai dari komik Doraemon hingga serial Harry Potter.
Selain itu, saya membayangkan kajian yang dilakukan Rumi Institute akan dihadiri para filosof yang terbisa mengenyam bacaan-bacaan, mulai dari Socrates hingga Derrida. Namun, di sisi lain ada hasrat untuk bertemu dan berkenalan dengan mereka. Saya masih beranggapan bahwa semakin tinggi pengetahuan seseorang, maka dia akan semakin membumi.
Di tambah lagi, semasa kuliah, saya mengoleksi beberapa literatur filsafat, khususnya yang banyak yang mengkaji pemikiran Rumi. Salah satu penulis yang saya kagumi adalah Annemarie Schimmel, yang menulis Akulah Angin Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi. Buku Schimmel lain yang saya koleksi adalah Dan Muhammad adalah Utusan Allah. Buku lain yang saya sukai adalah The Tao of Islam yang ditulis Sachiko Murata. Pada semua buku ini, nama Jalaluddin Rumi banyak disebut.
Tiba di kafe itu, saya disambut Muhammad Nur Jabir yang kini menjadi Direktur Rumi Institute. Saya lebih suka memanggilnya Ustad Nur. Semasa kuliah, saya sepengajian dengannya. Setiap malam Jumat, kami sering bertemu di Jalan Bontomene Makassar untuk mengaji dan mendaras beberapa doa. Bedanya, dia masih setia berdoa hingga sekarang, sementara saya mulai banyak berlumur dosa.
Beberapa teman lain berdatangan. Saya bertemu sahabat yang selama 15 tahun terakhir tinggal di Iran. Ada juga jurnalis yang bekerja di satu media online. Pada mereka yang berdatangan dan ikut nimbrung dalam percakapan ini, saya menemukan satu kehangatan dan persahabatan. Mereka senang berdiskusi, saling mendengarkan, juga saling mengapresiasi.
Mereka yang hadir di kafe itu berbeda dengan gambaran saya sebelumnya. Tadinya saya membayangkan mereka adalah manusia buku yang serius dan kaku. Ternyata mereka justru hangat dan suka bercanda. Mereka tidak menampilkan ciri-ciri semisal celana cingkrang atau memakai jenggot. Mereka pengkaji agama dan filsafat yang tampilannya santai dan wajahnya memancarkan senyum. Saya merasa damai di tempat itu.
Mereka adalah tipikal sufi kota yang suka membaca khazanah filsafat dan sufistik, namun dalam kesehariannya mereka punya profesi berbeda. Ada yang menjadi dosen, karyawan perusahaan asing, pemilik kafe, pengusaha, dan juga seniman. Mereka beragam profesi, akan tetapi dipertemukan di ruangan itu sebagai sesama pencinta Rumi. Tak hanya mengutip syair Rumi, mereka juga mempraktikkan ajaran itu dalam laku keseharian. Di antaranya adalah selalu menghadirkan cinta di mana pun berada.
***
TEMA yang diajukan adalah Masa Depan Digital. Saya membayangkan buku Sapiens dan buku Homo Deus yang ditulis Yuval Noah Harari. Saya juga mengingat buku The Gene: An Intimate History yang ditulis Siddharta Mukherjee. Dalam dua buku ini, saya menemukan narasi perjalanan manusia yang melewati banyak revolusi, mulai dari revolusi agrikultur, revolusi kognitif, hingga revolusi sains. Hingga akhirnya manusia tiba pada titik di mana sains dan teknologi menjadi senjata bagi manusia untuk meniru kerja Tuhan. Manusia ingin menjadi Homo Deus, dengan kualifikasi seperti Tuhan.
Sayangnya, bahan-bahan untuk presentasi itu belum disiapkan dengan matang. Ustad Nur meminta saya untuk membahas apa saja yang terkait digital. Saya memilih membahas buku yang ditulis Manuel Castells mengenai The Rise of the Network Society. Saya tekankan pembahasan tentang lanskap kuasa yang mulai berubah. Dahulu kekuasaan dimiliki segelintir penguasa, kini kekuasaan adalah milik mereka yang terkoneksi di jaringan internet dan bisa memaksimalkannya untuk menghasilkan konten-konten viral.
Saya mulai penjelasan tentang beberapa revolusi yang dimediasi oleh kehadiran teknologi internet. Salah satu ciri revolusi “zaman now” sebagaimana dikatakan Whael Ghonim adalah mereka yang bergerak dan turun ke jalan tidak saling mengenal. Mereka digerakkan oleh ikatan yang sama yakni solidaritas yang digalang melalui dunia maya. Makanya, para pemimpin revolusi adalah anak-anak muda yang tampak ringkih, tapi penuh tenaga saat mengisi konten di dunia maya.
saat memberikan materi |
Makanya, dunia digital harusnya dianggap sebagai peluang dan kesempatan. Kita tak harus melihatnya sebagai virus yang bisa menggerogoti kehidupan, tapi harus berkarib dengannya, menyerap banyak hal baru di situ, lalu menyentuh hati banyak orang melalui setiap hentakan jemari atas laptop. Kita punya kesempatan untuk menjangkau jutaan orang pada satu kesempatan.
Memang, ada banyak pula persoalan yang muncul di era digital. Nicholas Carr dalam The Shallow merinci argumentasi tentang generasi digital yang dianggapnya lebih bodoh ketimbang generasi sebelumnya. Generasi digital hanya suka berselancar di lautan kata-kata dunia maya, tanpa ada niat untuk menyelam ke dasar demi menemukan kedalaman makna. Tak ada lagi ruang kontemplasi dan perenungan di situ.
Saya menyukai antusiasme mereka. Suasana diskusi menjadi tidak kaku sebab semua pihak bisa saling belajar. Mungkin yang harus dilakukan adalah memperkuat kemampuan digital sehingga kita tak sekadar menjadi konsumen, tapi juga aktif sebagai produser yang bisa berselancar di atas ombak era digital.
***
SAYA cukup menikmati perjumpaan dengan semua sahabat di Rumi Institute. Bagi saya, Rumi Institute adalah oase buat mereka yang hendak mengisi jiwanya dengan nutrisi mencerahkan. Rumi ibarat platform yang mempertemukan semua orang, yang berada dalam ritus pencarian yang sama. Dalam pandangan saya, Jalaluddin Rumi memandang agama sebagai manifestasi dari cinta kepada Ilahi. Jika cinta itu yang menjadi energi penggeraknya, maka kecintaan akan punya dimensi yang tak hanya kepada Ilahi, tapi juga kepada semua ciptaan-Nya.
Tantangan besar bagi mereka yang meniti di atas jalan Rumi adalah bagaimana menghadirkan cinta dalam setiap gerak dan langkah kesehatiannya. Dunia sudah terlampau lama dibakar oleh amarah, benci, dan dengki. Saatnya dunia kembali dibasuh dengan cinta kasih kepada semua makhluk, tanpa pemandang apa pun suku bangsa dan agamanya.
Tantangan lain adalah menyusun rencana aksi dan menyediakan menu yang tepat bagi masyarakat perkotaan. Tentunya, di luar pendekatan yang akademis seperti diskusi, kajian, dan publikasi, banyak strategi yang bisa ditempuh oleh Rumi Institute. Di mata saya, hal paling mendesak adalah bagaimana membangun wacana tanding atas produksi kebencian yang marak di media sosial. Rumi Institute harusnya punya banyak instrumen untuk dijangkau di media, sehingga bisa secara kontinu memberikan pencerahan.
Yang mudah dilakukan dan cepat mendatangkan atensi adalah mengikuti langgam kerja generasi milenial yang mobile dan cepat berubah. Rumi Institute bisa mengikuti platform kerja android yang bersifat terbuka dan membiarkan orang-orang berkreasi di situ. Kerja-kerja praktis penting dilakukan, namun dengan catatan agar spirit Rumi, pendekatan sufistik, dan penggalian atas makna tetap diperkuat. Sebab sufisme inilah yang menjadi ciri pembeda dari Rumi Institute dibandingkan lembaga lain.
Seusai diskusi, saya merasakan optimisme yang begitu kuat. Saya menemukan banyak inspirasi dan nutrisi spiritual yang memperkaya batin. Di ruangan itu, saya serasa flashback pada masa-masa yang membahagiakan saat memperdalam filsafat dan kearifan.
Saya disadarkan pada satu fakta, sebagai masyarakat kota, saya pun hanya sibuk mencari apa saja di luar diri. Segala hal yang indah, cantik, membahagiakan, hendak digapai. Yang terasa hilang adalah perjalanan menuju ke dalam diri, menyelami makna, dan mendengarkan suara-suara jiwa. Kehidupan yang kering kerontang harus segara dibasuh dengan embun permenungan.
Persis seperti kata-kata Rumi: “Jangan terlampau sering melihat keluar. Lihatlah ke dalam diri. Carilah itu.”
0 komentar:
Posting Komentar