BETUL, Ghea Indrawari memang sudah waktunya meninggalkan panggung Indonesian Idol 2018. Bagi Anda yang mengikuti ajang kompetisi ini, pasti mafhum bahwa berada di posisi lima besar sudah luar biasa baginya. Saingannya terlampau berat. Saya sepakat dengan komentar banyak pihak, dia harusnya tersingkir sejak awal. Kualitasnya tenggelam dibandingkan banyak jagoan nyanyi yang sudah lama tersingkir karena perolehan dukungan yang rendah.
Tapi pertanyaan yang muncul adalah mengapa Ghea bisa bertahan dan terus melejit hingga posisi lima besar? Apa yang dilakukan anak Singkawang ini sehingga bisa mengalahkan banyak saingannya di panggung itu? Bagaimana kita mengaitkannya dengan fenomena “jaman now” serta bagaimana memahami watak pemasaran digital hari ini?
Ghea memang fenomena menarik untuk diulas. Di telinga saya, vokalnya cenderung biasa. Sepintas tak ada istimewa. Tapi jika didengarkan terus, justru tak membosankan. Dia unik, beda juga komersial. Dia menampilkan kemanjaan yang tidak berlebihan. Gaya busana, riasan, dan penampilannya yang agak Korean Style bersesuaian dengan anak-anak “jaman now” yang sedang demam dengan hiburan negeri ginseng itu. Ghea pandai memosisikan dirinya sehingga pantas jadi idola anak-anak muda.
Dari semua kontestan Indonesian Idol, hanya ada dua nama yang penampilannya selalu keren. Selain Ghea, ada juga nama Marion Jola. Keduanya tahu bagaimana memaksimalkan dukungan publik melalui penampilan keren, suara manja, dan wajah yang menawan.
Sejak audisi, Ghea sudah menampilkan kepribadiannya yang unik. Publik suka melihat dirinya yang tampak imut, culun, serta lugu. Apa yang keluar dari mulutnya sering jadi trending dan percakapan netizen. Sewaktu dirinya memanggil Ari Lasso dengan panggilan Om, kemudian pada satu penampilan diganti dengan Ahjusi, segera menjadi trend yang diperbincangkan netizen.
Melihat Ghea, saya serasa melihat vokalis Korea-Pop, seperti Kim Tae Yon, Lee Ji-Eun, ataupun cewek-cewek imut dan seksi dari grup Girl’s Generation. Entah disadari atau tidak, Ghea mengubah tampilannya seperti para bintang K-Pop. Dengan cara itu, dia membentuk barisan penggemar sendiri yang setiap hari mencari video penampilannya.
Untuk pertama kalinya, saya menyaksikan video audisi Indonesian Idol yang ditonton sampai 12 juta orang. Tak ada satu pun video pesaingnya yang ditonton sebanyak itu. Bahkan video audisi Maria Simorangkir, kontestan dengan vokal sempurna dan diprediksi akan jadi juara, hanya ditonton ratusan ribu orang. Video penampilan terbaik Maria paling banyak ditonton sampai 6 juta orang. Kebanyakan video Maria ditonton 1 juta orang.
Ghea Indrawari berbeda. Selain video audisi yang ditonton 12 juta orang, video-video dirinya yang lain juga selalu trending topic. Saat dia menyanyikan lagu Akad dari payung Teduh, penontonnya 12 juta orang. Kemudian lagu Kangen dari Dewa 19, juga ditonton sampai 12 juta orang. Padahal video asli lagu itu yang dinyanyikan Dewa 19 hanya ditonton 8 juta orang.
Sejak awal lomba, saya melihat para juri Indonesian Idol selalu berkampanye tentang popularitas versus kualitas. Para juri bahkan selalu mengatakan, jangan sampai kualitas mengalahkan popularitas. Saya sih melihat para juri tidak ingin Ghea terus melaju.
Ketika babak lima besar, mereka berkepentingan agar yang lolos ke empat besar adalah sosok yang benar-benar punya vokal hebat. Dibuatlah mekanisme hak veto, yang di satu sisi bertujuan untuk melindungi penyanyi dengan vokal hebat, tapi justru kalah popularitas. Para juri berkilah bahwa dua penyanyi bagus yakni Kevin dan Marion Jola tersingkir lebih awal. Padahal kompetisi itu basisnya adalah perolehan voting melalui SMS. Pemenangnya adalah siapa yang terbanyak didukung.
Sepertinya, para juri tak ingin Ghea terus melaju. Sebab jika Ghea melaju, maka satu dari penyanyi degan kualitas vokal hebat di lima besar itu akan tersingkir. Maka, hak veto menjadi senjata juri untuk menyelamatkan salah satu penyanyi itu. Buktinya, ketika Ghea yang tersingkir, hak veto itu tak digunakan. Dengan sangat yakin, saya menganggap voting itu cuma akal-akalan saja.
Para juri ini mungkin lupa kalau mereka pun lahir dari industri musik kita yang memberi ruang pada popularitas, selanjutnya baru kualitas. Dalam satu ajang lomba musik, Ari Lasso mengakui itu. Dia membandingkan dirinya dengan Judika, yang kualitas vokalnya di atas rata-rata. Kata Ari, dirinya bersama Ariel Noah, dan Armand Maulana punya kualitas vokalnya yang sebenarnya tidak begitu istimewa dibandingkan jagoan vokal pada masanya. Kekuatan mereka hanya keberanian terjun ke industri musik, mencari celah pasar, memahami apa jenis lagu yang dibutuhkan, setelah itu tampil di lini populer itu.
Dengan kualitas vokal yang biasa, mengapa Ghea bisa mencapai lima besar? Sebab dirinya punya sesuatu yang bisa menggerakkan para netizen untuk membentuk barisan penggemar, lalu secara suka rela bekerja untuk tetap mempertahankannya di arena lomba itu. Kualitasnya mungkin biasa, tapi banyak orang yang suka dengannya, berharap tetap melihat dirinya tampil di layar kaca, dan selalu mengikuti apa pun yang dilakukannya.
Seorang kawan malah bisa menjelaskan kehidupan Ghea di Singkawang. Dia juga cerita bagaimana Ghea mengikuti ajang lomba nyanyi sebelumnya. Rupanya, dia rajin mengikuti postingan mengenai penyanyi itu di Youtube. Pantas saja jika dia rajin membagikan semua hal tentang Ghea. Dia tidak sendirian. Di kanal Youtube, banyak saya temukan orang-orang yang menyampaikan dukungan kepada mahasiswi di satu kampus di Yogyakarta itu. Malah, seorang netizen bernama Jenda dengan senang hati membuat video yang isinya salam untuk Ghea. Dia pun datang ke studio RCTI sembari mengenakan baju kaos bergambar Ghea demi menyerahkan hadiah berupa boneka.
Mengikuti ajaran mahaguru marketing Hermawan Kertajaya, ada tiga pasar yang saat ini dikejar oleh semua pemasar yakni anak muda (youth), perempuan (woman), dan netizen. Tiga pasar inilah yang menjadi kekuatan Ghea. Dia bisa memesona anak muda dan perempuan, juga para netizen sehingga bersedia untuk mengampanyekan dirinya, memberikan dukungan SMS, serta memberinya tangga-tangga untuk menjadi bintang di acara itu.
Saya teringat tuturan Don Tapscott dalam buku Wikinomic yang menyebut anak-anak muda jaman now dengan sebutan prosumer. Mereka adalah generasi yang tak ingin hanya berhenti sebagai konsumen. Mereka ingin menjadi produsen yang bisa merancang konten dan menyebarkannya ke mana-mana. Mereka tak ingin pasif, melainkan ikut menyebarkan ide-ide dalam satu atmosfer pertukaran gagasan yang ideal.
Saat anak-anak muda itu membagikan postingan atau membuat konten-konten menarik tentang Ghea, maka mereka berkontribusi pada semakin naiknya popularitas penyanyi itu sehingga selalu mendapatkan dukungan SMS. Anak-anak muda itu menjadi pemasar yang jsutru tak punya ikatan apa-apa dengan Ghea. Malah, mereka tak pernah bertemu penyanyi muda itu. Mereka bekerja gratisan berdasarkan rasa suka serta keinginan untuk tetap melihat Ghea di panggung Idol.
Saya juga temukan penjelasan lain dari Hermawan Kertajaya. Dalam buku Wow Marketing, Hermawan mengatakan, keberhasilan dalam marketing modern ditandai fenomena ketika orang lain secara sukarela ikut mengampanyekan produk yang kita jual. Dahulu, pemasaran adalah kegiatan yang satu arah, tapi tidak di jaman now. Hermawan membuat tahapan-tahapan.
Pertama, aware. Konsumen mulai kenal dengan produk. Kedua, appeal. Konsumen mulai tertarik dengan produk itu tapi belum yakin. Ketiga, ask. Konsumen mulai mempertanyakan produk itu kepada orang lain. Keempat, act. Ketika orang lain mengatakan produk itu bagus, konsumen mulai menyukai produk. Kelima, advocate. Konsumen mulai suka, puas, dan mengampanyekan produk itu ke mana-mana.
Di era digital, seorang konsumen akan bercerita kepada banyak orang ketika dirinya puas menggunakan satu produk. Dia akan membagikan pengalaman itu melalui media sosial agar orang-orang ikut menyukai produk itu. Dia akan merekomendasikannya agar orang lain juga punya pengalaman yang sama.
Saya rasa, aspek pemasaran modern itu bisa menjelaskan apa yang terjadi pada fans Ghea Indrawari. Para fans menyukai penampilannya, kemudian membagi pengalaman itu dengan orang lain, menyebarkannya melalui media sosial (Facebook, Twitter, dan Instagram), dengan tujuan agar orang-orang juga menyukainya. Mereka tak punya pertalian dengan Ghea, tapi mereka dihubungkan oleh perasaan yang sama yakni kesukaan melihat Ghea tampil di panggung Idol.
Melihat antusiasme begitu tinggi, di tengah kritik pedas para juri, saya tak yakin Ghea tersingkir karena dukungan SMS yang rendah. Lagian, pihak televisi tak pernah membuka seperti apa metodologi pengumpulan data melalui polling SMS itu. Sebagai penonton, kita hanya menerima hasil voting, tanpa tahu seperti apa model pengumpulan datanya. Kita menerimanya dan menganggap itulah hasilnya.
Yah, apa boleh buat. Ghea tersingkir. Saya masih berharap bisa menyaksikannya di panggung musik Indonesia. Entah apakah dia akan berhasil atau tidak, lagi-lagi semuanya berpulang pada bagaimana dirinya mempertahankan ikatan kuat dengan penggemarnya. Beberapa juara di Indonesian Idol justru gagal jadi bintang karena kegagalan mereka dalam mengemas dirinya sehingga punya posisi unik di jagad musik. Malah, yang jadi bintang justru mereka yang tersingkir di babak awal lomba nyanyi itu. Kita bisa lihat fenomenanya pada Afghan, Sammy Simorangkir, Firzha, hingga Citra Scholastika.
Pada diri Ghea, saya menemukan pelajaran berharga. Dalam lanskap bisnis hari ini, pemenangnya bukan melulu soal siapa yang memiliki kualitas dan teknik memadai. Pemenang persaingan hari ini adalah siapa yang bisa menghadirkan elemen “wow”, membawa kebaruan, juga paling bisa meyakinkan orang lain agar secara suka rela berkampanye.
Saya yakin Ghea tak lantas hilang begitu saja. Setidaknya, saya masih selalu menyaksikan dirinya yang imut di Instagram. Di masa mendatang, televisi akan lenyap dilibas oleh kehadiran video streaming yang tengah marak di Instagram dan Youtube. Biarlah saya membahasnya pada tulisan lain.
0 komentar:
Posting Komentar