PEREMPUAN berhijab itu merangsak naik ke atas panggung di Baruga Andi Pangerang Pettarani, Universitas Hasanuddin, pekan silam. Dia membawa seikat bunga yang akan diserahkan kepada salah satu pembicara.
Di panggung acara seminar motivasi Spirit of Indonesia yang diadakan Kami Indonesia, duduk Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf, dan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad.
Rupanya perempuan itu menyerahkan seikat bunga kepada Abraham Samad. Tak sekadar menyerahkan bunga, dia juga menyampaikan sepatah dua patah kata dengan suara parau. Dia begitu mengidolakan sosok yang dahulu selalu hadir di layar kaca dan memberikan status tersangka kepada orang-orang yang diduga korupsi. Dia membawa bunga, bukan sebagai bentuk lamaran.
“Saya tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaan saya bisa berdiri di sini. Saya mewakili orang-orang yang mengidolakan Bapak. Bunga ini bukan sebagai lamaran. Seandainya bapak masih bujang, saya akan bersedia jadi pendamping Bapak,” katanya yang lalu disambut heboh semua pengunjung.
Abraham tampak tersipu. Dia mengambil bunga itu, lalu meletakkannya di meja. Senyum tak lepas dari wajahnya. Acara kembali dilanjutkan dengan presentasi dan diskusi. Di seminar itu, Abraham menjadi sosok yang dinantikan. Bahkan kedatangannya yang terlambat pun, mengundang tepuk tangan dan gemuruh peserta.
Hari itu, Abraham adalah magnet acara seminar. Presentasinya disukai banyak mahasiswa. Dia menjelaskan tokoh-tokoh yang dikaguminya, mulai dari Hatta hingga Ahmadinejad. Dia juga membahas para politisi korup, mulai dari Ben Ali sampai Ferdinand Marcos.
Saya menyukai batasan yang diberikan Abraham tentang korupsi. Baginya, korupsi bukan sekadar mengambil uang negara. Korupsi punya pengertian yang lebih luas. Seorang anak muda yang mengendarai motor dan seharusnya memakai helm namun tidak memakainya, bisa dikategorikan korupsi. Seorang dosen yang punya jadwal mengajar namun tidak menunaikannya, juga melakukan korupsi.
Seusai seminar, ribuan mahasiswa mengerubunginya. Semua ingin berpose dengan lelaki yang pernah menjerat banyak orang terduga korupsi ini. Saya lihat dia menerima semua ajakan berfoto. Saya teringat seorang kawan politisi. Menurutnya, semua ajakan berfoto harus diterima. “Sebab semakin banyak difoto, maka semakin banyak orang yang memajang gambar kita di media sosial. Maka semakin banyak yang mengampanyekan kita secara gratis,” katanya.
Saya pun mendekati Abraham, sebagaimana mahasiswa lain. Bedanya, saat melihat saya, Abraham langsung merangkul. “Bisanya kita ketemu di sini,” katanya dalam aksen Makassar. Saya hanya tertawa. Dia meminta saya untuk menemaninya sejenak. Ternyata dia mengajak saya untuk bersama dengannya menuju kampus Universitas Negeri Makassar (UNM) yang juga menggelar kegiatan serupa di Unhas. Saya pun ikut di mobilnya.
Sepanjang mobil, Abraham masih ingin membahas korupsi. Tapi saya lebih suka membahas lain. Kami membahas perkembangan politik. Saya katakan gagasan Abraham itu bisa lenyap begitu saja jika dia tidak membangun kolaborasi dengan orang baik yang berada di pemerintahan. Dengan kata lain, harus ada sosok presiden yang kelak akan menjalankan agenda pemberantasan korupsi, sesuatu yang dibahasnya berulang-ulang.
“Kenapa Abang tidak sekalian maju sebagai presiden?” saya menodongnya dengan pernyataan itu. Dia terhenyak. Jalan ke kursi presiden memang berliku. Dirinya bukan orang partai. Bukan politisi. Malah banyak politisi yang membencinya sebab dirinya punya track record memenjarakan politisi. Namun, gagasan baik tak harus dipenjara dalam seminar-seminar. Gagasan itu harus bergema di banyak titik, termasuk di jantung kekuasaan. Jika ada kesempatan dirinya jadi pemimpin bangsa, why not?
Dalam bayangan saya, Abraham punya branding yang cukup baik. Dirinya identik dengan sosok anti-korupsi. Publik, khususnya kalangan generasi milenial, melihat sosoknya sebagai sosok pahlawan yang menyelamatkan uang negara. Namun, banyak orang yang mulai melupakannya. Makanya, agenda mendesak yang perlu dilakukannya adalah bagaimana mengembalikan ingatan kolektif tentang dirinya, yang kemudian bisa berujung pada dukungan kuat publik agar dirinya masuk ke ranah politik.
Pemilu dan pilpres mendatang akan menjadi arena paling menantang. Betapa tidak, jumlah generasi milenial yang merupakan wajib pilih adalah 48 persen dari total pemilih. Mereka berada pada rentang usia 15-39 tahun. Melihat potensi suara yang sangat besar, semua partai politik akan menyasar generasi ini dengan berbagai strategi. Nah, salah satu cara mendekati mereka adalah mendekati kolam di mana mereka selalu berkumpul dan bertemu, yakni media sosial. Makanya, untuk pemilu dan pilpres mendatang, media sosial adalah koentji!
Yang harus diingat, generasi milenial bukanlah generasi yang mudah diarahkan dan diperintah. Anda tak bisa mengendalikan mereka hanya dengan otoritas sebagai pejabat, mantan pejabat, ataupun sebagai orang kaya dan berpengaruh. Mereka cenderung apolitis sehingga untuk menyentuh mereka, strateginya adalah pahami karakter mereka, bicaralah dengan bahasa mereka yang cenderung sederhana dan gaul, hadirkan sesuatu yang bermakna dan menginspirasi, serta sentuhlah mereka dengan cara berpikir yang anti kemapanan, serta ide-ide perubahan.
Masalahnya, untuk membangun karakter kuat di meia sosial butuh waktu yang panjang dan menahun. Abraham tidak setangguh Mahfud MD yang begitu merajai Twitter dengan postingan mencerahkan. Di Facebook, popularitas Abraham jauh di bawah Jokowi, Prabowo, ataupun Ridwan Kamil yang telah lama wara-wiri dan memiliki jutaan pengikut. Bahkan di Instagram, Abraham kalah dengan Zulkifli Hasan atau Muhaimin Iskandar yang setiap saat menyebar postingan. Para politisi itu telah lama melibatkan konsultan untuk secara rutin mengisi konten.
Lagian, di media sosial, seseorang tak bisa serta-merta langsung populer. Seseorang harus konsisten membuat postingan, berbagi hal baik, serta mencerahkan publik. Prosesnya tidak singkat, sebab yang hendak dituju adalah generasi yang anti-hierarki. Di media sosial berlaku ucapan, meskipun Anda hebat dan besar di luar, maka di ruang ini, Anda adalah warga biasa yang punya posisi sejajar dengan lainnya.
BACA: Kembalinya Abraham Samad
Tapi bukan berarti peluang itu tertutup buat Abraham. Menurut saya, cara paling cepat membangun popularitas di media sosial adalah segera menunjuk creative content ataupun admin yang paham gagasan Abraham dan tahu cara memasarkannya. Saatnya membangun rumah di medsos yang bisa dijangkau semua orang, serta secara reguler berbagi postingan mencerahkan. Jangan ragu untuk berinvestasi di media sosial melalui iklan yang bisa menjangkau jutaan orang. Kalau konten bagus, maka pesan itu akan di-retweet di mana-mana.
Tak hanya itu, libatkan para social media influencer atau orang yang berpengaruh di media sosial. Abraham harus segera harus menjalin kontak dengan para jagoan medsos yang sekali posting bisa di-like sampai ribuan orang. Para jagoan medsos ini harus pandai memetakan isu yang tidak bagus buat Abraham, merancang isu tandingan, lalu menyiapkan strategi yang bisa mengerek kembali nama Abraham. Dia harus mendekati selebritis medsos, mengikat mereka dengan gagasan dan visi yang sama, kemudian menggempur media sosial dengan ide-ide anti-korupsi.
Namun, harus dicatat, permainan di medsos hanyalah pelengkap dari strategi menggempur lapangan dengan bermacam ide kreatif. Tetap saja dia membutuhkan seorang pengatur strategi kampanye yang efektif, yang bisa memetakan pada titik mana harus memasarkan gagasan Abraham. Di titik ini, strategi online dan offline harus disinergikan sehingga daya ledaknya bisa lebih kuat.
BACA: Abraham Samad: Dari Warung Kopi Hingga Ketua KPK
Sayang, pertemuan kami terbilang singkat. Saya masih ingin memberi masukan kepadanya. Jelek-jelek gini, saya juga seleb medsos yang punya banyak fans dan pengikut di dunia maya. Secara teoritik, saya juga sangat menguasai ranah ini sebab merupakan basic keilmuan saya. Hanya saja, sejauh ini saya belum tertarik untuk bekerja dengan politisi. Saya menjadikan medsos hanya sebagai ranah untuk narsis dan berbagi postingan tidak penting.
“Jangki lupa untuk kontakka nah,” demikian kata Abraham saat kami tiba di UNM. Di sana, sejumlah mahasiswa telah antri untuk berpose dengannya. Saya memilih nongkrong di satu warung kecil di depan UNM. Seorang bapak tua pemilik warung langsung menyapa, “Kaluru ki Daeng?” Dia menawarkan rokok. Saya mengiyakan. Hari itu, sebatang rokok kretek dan segelas kopi Toraja menemani sore yang cerah.
Tak jauh dari situ, Pantai Losari seakan memanggil-manggil. Lama meninggalkan Makassar, terasa ada rindu yang harus dilabuhkan di sana.
0 komentar:
Posting Komentar