buku pertama |
SEGALA
sesuatu pasti ada awalnya. Di tahun 2008, beberapa sahabat menemui saya di
Baubau, Sultra. Mereka mengajak saya untuk sama-sama membuat buku. Kami
sama-sama melihat peluang bahwa tak banyak buku lokal yang tersedia. Generasi
sebelum kami hanya mewariskan kisah-kisah hebat yang dilisankan, tanpa
diabadikan, tanpa didialogkan. Kisah itu penuh dramatisasi. Kami ingin buat
sesuatu yang abadi. Kami optimis. Tapi dalam hati ada sebersit keraguan,
mengingat saya pun belum punya pengalaman di dunia perbukuan. Pengalaman saya
adalah menulis surat cinta, yang sebagian besar di antaranya menjadi busur
panah yang tak pernah menemui sasaran.
Saya
menyimpan sendiri keraguan itu. Bekerja bersama anak-anak muda, kita harus
selalu optimis. Sedikit keraguan bisa jadi bensin yang bisa menghadirkan api
kemalasan. Proses mengerjakan buku ibarat membuka lahan demi menanami bibit
buah-buahan. Kami benar-benar belajar dari nol. Kami menulis sembari bergerilya
mencari dana penerbitan. Tak berbilang lagi, berapa kali kami sempat down
karena merasa tidak punya pengalaman. Misi kami adalah menghadapi tembok karang
yang harus dipecahkan jika ingin menerbitkan sesuatu. Rintangan terbesar yang
kami hadapi adalah anggapan kami cuma anak bawang yang bermimpi besar. Kami
dianggap tidak tahu apa-apa.
Kerja
keras itu akhirnya berbuah. Buku itu terbit. Jaringan kami dengan para
intelektual di daerah terbangun apik. Buku itu tercatat menjadi best seller di
Gramedia, Kendari, satu-satunya toko buku besar yang kami minta bantuan untuk
memasarkannya. Beberapa dari kami diundang talkshow dan bedah buku. Nasib kami
menjadi cerah gara-gara buku ini. Beberapa dari kami mendapat pekerjaan
gara-gara buku pertama ini. Saya pun mendapat beasiswa berkat buku ini. Buku
itu tersebar luas dan menjangkiti banyak orang untuk juga meramaikan wacana
lokal. Betapa banyaknya saya menemui apresiasi, kritik, serta komentar-komentar
terkait buku itu.
Pernah,
saya singgah ke toko buku. Pramuniaganya menyapa saya ketika masuk. Dia lalu
mengambil buku itu kemudian mempromosikannya kepada saya. Saya sengaja tidak
memperkenalkan diri. Rasanya nikmat juga saat ada orang lain mempromosikan buku
karyamu di hadapanmu, tanpa mengetahui kamu adalah ibu yang melahirkan buku
itu. Jelajah buku ini terbilang jauh. Buku ini tak hanya berkelana ke seantero
Sulawesi Tenggara, tapi juga ke mana-mana. Kami mengirimkannya ke banyak
universitas besar dunia. Seorang profesor asal Korea, Prof Seung Won Song,
membawa buku ini ke negeri ginseng. Di satu jurnal, saya melihat artikelnya
yang mengutip buku ini.
Yang
paling membahagiakan adalah kami telah memulai tradisi menulis dan menerbitkan
buku di tingkat lokal yang serupa virus, segera menyebar ke mana-mana. Benar
kata Pramoedya, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Bahkan bertahun-tahun
setelah buku iini terbit, masih saja ada yang menghubungi saya untuk meminta
buku ini. Buku ini serupa highlinder yang abadi dan terus berkelana ke
mana-mana. Manusia memang mortal, kelak akan punah. Tapi pemikiran yang
ditampung dalam buku akan selalu abadi.
Hari
ini, buku itu kembali hadir di hadapan saya dalam format baru. Sahabat Syahrir
Ramadhan mengirimkan buku itu. Mungkin niatnya adalah bernostalgia tentang
masa-masa sulit saat kami sama-sama belajar membuat buku. Namun saya lantas
mengenang banyak hal. Buku ini memang menjadi pembuka. Setelah ini, saya
menulis beberapa buku. Saya pun mendapat banyak kesempatan yang kesemuanya
terbuka gara-gara kerja penyusunan buku ini. Jika saja tak ada buku ini,
barangkali banyak pemikiran yang punah, gagasan yang sontak mengendap, dan tak
sempat menyapa banyak orang. Buku ini adalah penyambung lidah yang berbicara di
banyak kesempatan.
Benar
kata Will Durant: “Scripta manent verba Volant.” Kata-kata tertulis abadi,
kata-kata terucap lenyap.
Bogor, 1 Mei 2017
4 komentar:
Posting Komentar