Nicholas Carr dan Era Bodoh di Internet




PERNAHKAH Anda merasakan ketagihan berlebihan pada internet sehingga banyak pekerjaan Anda jadi terbengkalai? Pernahkah Anda mengalami saat-saat bosan melakukan banyak hal, lalu Anda merasa lebih suka berselancar mengunjungi berbagai situs media sosial melalui handphone (HP) Anda hingga lupa waktu? Pernahkah Anda merasa belum lengkap aktivitas jika belum memandang layar HP, baik saat bangun tidur, maupun sebelum tidur?

Jika anda mengalami gejala yang saya sebutkan di atas, maka saatnya membaca buku The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains yang ditulis Nicholas Carr. Buku yang dinominasikan untuk meraih hadiah Pulitzer untuk kategori nonfiksi ini adalah buku provokatif yang menunjukkan betapa banyaknya hal buruk yang terjadi akibat ketergantungan pada internet. Penulisnya menggali argumentasi dari berbagai bidang ilmu demi menunjukkan bahwa internet telah membuat kita semakin bodoh.

Sepintas, buku ini agak pesimis dalam melihat internet, berbeda dengan buku Grown Up Digital karya Don Tapscott yang sangat optimis melihat internet. Tapi ada banyak pelajaran dan argumentasi yang bisa dipetik. Membaca buku The Shallows ini menyadarkan kita bahwa internet serupa candu yang membuat kita selalu ingin berselancar, membuat banyak pekerjaan kita tertunda, menyebabkan waktu kita terbuang percuma.

Saya bisa merasakan kegelisahan Nicholas Carr. Demi menyelesaikan The Shallows, Nicholas Carr harus menyepi dari kota besar. Dia pindah ke kota yang akses internetnya sangat terbatas. Di situlah ia bisa menemukan konsentrasi demi penyelesaian bukunya. Jika ia tetap di kota, pikirannya bisa kehilangan fokus. Sekali ia membuka internet, melihat email, lalu mengintip media sosial, maka ia bisa kehilangan mood. Niatnya untuk bekerja langsung hilang seketika saat membaca berbagai link dan berita.

Dahulu dia seorang yang gila baca. Ia adalah penyelam di lautan kata-kata. Tapi sejak mengenal internet, semua kebiasaan itu berubah. “Dulu, saya adalah penyelam di lautan kata–kata. Kini, saya bergerak cepat di permukaannya seperti orang yang mengendarai jet ski.” Internet menyebabkan fokusnya hilang, dan sibuk menjadi peselancar, tanpa kemampuan menyelam lagi. Internet menyebabkan manusia memasuki era ebodohan. Siapa sangka, struktur otak dan cara berpikir manusia bisa berubah gara-gara kecanduan pada internet.

Saya merasa terlambat membaca buku yang terbit sejak tahun 2011 ini. Ternyata buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, kemudian diterbitkan Mizan. Pada mulanya, seorang akademisi di kampus IPB menyebut-nyebut buku ini demi menjelaskan betapa bedanya mahasiswa jaman kini dan jamannya. Sepintas, sang akademisi terkesan meromantisir zamannya. Tapi saya merenungi ada banyak hal yang benar dalam tuturannya. Salah satu kalimatnya yang mengena adalah di masa kini, orang tidak lagi punya tradisi membaca buku sampai tuntas, dan menyelami lautan kata per kata.

Saya merenungi diri saya, lalu melihat sekitar. Betapa HP telah menjadi benda wajib yang ditatap berpuluh kali dalam sehari. Betapa banyak orang yang memilih untuk memandang HP, lalu ikut dalam percakapan atau perdebatan di media sosial, ketimbang menyelesaikan banyak pekerjaan tertunda. Saya mengenal seorang kawan akademisi yang setiap bangun pagi atau sebelum tidur, pasti akan mencari HP lalu sibuk scroll dan melihat-lihat semua informasi di situ. Sesekali ia akan resah melihat banyak argumen yang nampak bodoh di matanya. Kadang pula ia tergelak saat saling meledek dengan kawan yang tinggal di pulau sana. Ia mengisi kebutuhan informasinya melalui Facebook, tanpa menghabiskan waktu untuk membaca secara mendalam media-media ataupun jurnal.

Memang, selalu ada harga dari ketergantungan pada rumah besar bernama internet. Harga paling mahal adalah hilangnya kemampuan kita untuk menyelami dalam lautan kata-kata. Manusia hari ini lebih suka scroll di HP, membaca informasi sekilas-sekilas, lalu berpindah ke fokus lain. Kita bisa bertanya pada diri kita, kapankah kita terakhir membaca buku tebal dan merenungi isinya?

Nicholas Carr menunjuk banyak riset neurosains, bahwa syaraf otak bersifat lentur dan dapat berubah atau menyesuaikan diri, bergantung pada apa yang dialami atau dipelajari. Ia berpendapat bahwa penggunaan internet dan ketergantungan kepadanya akan mengubah kemampuan syaraf otak, dan dapat mengarah pada berkurangnya kemampuan berpikir mendalam dan melakukan perenungan.

Selama ratusan tahun, manusia menggunakan buku untuk memperoleh pengetahuan. Buku bersifat linier, terfokus dan mendalam, sehingga pembaca memiliki kesempatan untuk merenung dan mengendapkan pengetahuan yang didapatnya. Hal ini selanjutnya mempengaruhi pengetahuan yang diperoleh, pemikiran dan tulisan yang dihasilkan, yang tercermin dalam budaya.

Sebaliknya, pengetahuan atau informasi yang didapat dari internet berupa potongan-potongan, dan link-link yang ada dalam suatu artikel atau buku memecah fokus pembaca sehingga tulisan tersebut tidak dapat diserap dengan baik bahkan sulit diselesaikan. Hal ini karena selain link, terdapat SMS, email, RSS dan lain sebagainya yang setiap saat muncul untuk memecah perhatian seseorang saat membaca.  Semua ini menyebabkan mereka akhirnya hanya bersedia membaca sedikit-sedikit karena terus berpindah-pindah situs, sehingga informasi yang diperoleh bersifat permukaan. Internet mengubah manusia menjadi pembaca informasi singkat, yang jauh dari kata mendalam.

versi terjemahan buku The Shallows


Saya menyaksikan banyak diskusi di beberapa grup Whatsapp. Yang sering saya temukan adalah orang saling berbagi link-link yang merupakan hasil copy paste di banyak grup. Orang-orang suka membagikan berbagai informasi, tanpa menelaahnya secara kritis. Di situ, tak ada diskusi mendalam yang menggali informasi, tapi saling menebar kopian teks, yang tanpa ditelaah. Orang-orang kehilangan kemampuan menulis teks disebabkan kebiasaan mengambil sesuatu yang sudah jadi lalu menyebarkannya. Informasi menjadi overload, kita mendapatkan informasi abal-abal itu dari berbagai grup. Pikiran kita menjadi setumpul informasi itu, lalu kita menjadi generasi yang pasrah dan diombang-ambingkan berbagai informasi.

Kalau hanya pikiran tumpul, maka itu masih dirasa wajar. Namun bagaimana halnya jika pikiran tumpul itu malah menjauhkan kita dari peradaban ilmu dan kebijaksanaan? Bagaimana halnya pikiran tumpul itu saling berkoneksi, lalu tersebar menjadi wabah lalu melahirkan banyak pemimpin rasis, yang semakin menjauhkan kita dari nilai-nilai keadaban? Bagamanakah jika pikiran tumpul itu terus disuburkan oleh desas-desus, berita bohong, serta siraman bensin kebencian yang terus direproduksi sistem sosial kita? Bisakah akhir zaman yang penuh dengan kemajuan dan kecintaan ilmu dalam situasi seperti itu?

Kata Nicholas Carr, syaraf otak bersifat lentur atau plastis. Kebiasaan di era internet akan mempengaruhi cara kerja otak kita dalam jangka panjang. Ada banyak hal yang akan hilang, yang selama ini dimiliki oleh otak karena cara kita belajar yang terfokus dan mendalam dengan buku-buku. Mesin-mesin internet, termasuk Google dan Facebook, akan menumpulkan persepsi halus, pemikiran dan emosi. 

Sepintas, dia seorang pesimis. Saya mengikuti beberapa wawancaranya di Youtube. Menurutnya, sejarah peradaban kita dipengaruhi oleh beberapa temuan, yang kemudian berlanjut pada diskusi dan pro-kontra. Terdapat pro-kontra saat jam, kompas, tulisan dan mesin cetak ditemukan, dan bagaimana hal itu kemudian mengubah kebudayaan dan sejarah, kemudian memperlebar jarak manusia dengan alam dan mengurangi beberapa kemampuan alaminya.  

Buku ini menyajikan alarm bagi kita untuk larut dalam internet. Memang, banyak argumentas dalam buku ini yang akan jadi perdebatan. Saya bisa menunjukkan catatan Don Tapscott yang menganalisis bagaimana generasi baru memiliki kebiasaan berbeda dalam berinteraksi dengan internet. Tak semua negatif.

Buku ini tetap penting sebab melihat persoalan dari sisi lain, yang mungkin tidak kita sepakati. Saya sendiri mengalami apa yang ditulis Nicholas Carr sebagai fenomena hilangnya fokus disebabkan tersesat dalam belantara informasi di media sosial. Sebagaimana dia, saya pun butuh mematikan semua internet demi menyelesaikan banyak pekerjaan penting. Bahkan demi menulis catatan ini, saya harus mencari coffee house yang tak punya koneksi internet.

Ah, semoga saja internet tidak menjebak kita semua dalam era kebodohan. Buku ini menyediakan banyak catatan penting yang harus segera distabilo dan ditandai di ruang-ruang nalar kita. Melalui catatan itu, kita menjemput masa depan yang lebih humanis. Bisakah?


Bogor, 7 Mei 2017

BACA JUGA:







0 komentar:

Posting Komentar