Setegar Karang VERONICA TAN




AIR MATA itu jatuh juga. Veronica Tan tak kuasa menanggung beban yang berat. Dia, istri seorang gubernur yang jarang menampilkan ekspresi apapun. Tatapannya sering terlihat datar. Wajah tanpa riasan itu nampak misterius. Dia jarang terlihat di kalangan sosialita dan selebritis. Dia lebih banyak diam di balik karakter suaminya yang meledak-ledak. Karakter keduanya terlihat kontras. Tapi dia adalah telaga yang mengembunkan banyak sisi suaminya.

Saya membayangkan betapa beratnya menjalani hari sebagai Vero, demikian dia disapa. Suami yang disayanginya setiap saat mendapat caci dan maki. Tak berbilang lagi berapa kali orang-orang mengeluarkan fatwa bunuh kepada suaminya. Hari-harinya adalah tuduhan penistaan dan tatapan sinis. Suaminya memasuki arena politik penuh sentimen. Penuh cibiran. Dan tak semua cibiran itu terkait suaminya. Banyak yang mencibir karena ras dan suku bangsa. Entah kenapa, dia harus menampung semua tudingan dan hal-hal yang tak dilakukannya.

Mungkinkah dia hendak bertanya, mengapa tindakan jahat orang lain sesuku harus dipikul bebannya oleh dirinya dan suami? Mungkinkah seseorang bisa memilih hendak lahir dari suku bangsa mana biar bisa menggapai mimpi-mimpi untuk melayani orang lain? Bisakah satu lisan, yang tak diniatkan menista dan berkali-kali dipohonkan maaf itu, menjadi satu-satunya alat ukur untuk menilai segala hal tentang seseorang hingga tak henti dibenci dan dicaci?

Vero menjadi penyaksi yang lebih banyak diam. Dalam hari-hari berat yang mendebarkan itu, dia tak pernah meninggalkan suaminya. Sebagai istri, dia memahami medan kehidupan yang sedang dijalaninya. Dalam senang dan susah, ekspresinya selalu datar. Dia tak pernah menunjukkan sikap yang berlebihan. Dia pun tak menunjukkan cakap perlawanan. Padahal, jika saja saya dalam posisinya, mungkin saya akan menyusun perlawanan. Mungkin saya akan melawan semua amarah dengan kadar yang sama. Saya akan balik menuding, kalau perlu meladeni tantangan berkelahi.

Tapi, Vero dan suaminya justru menampilkan kekuatan. Dia tidak menerima nasib dengan sedu-sedan lalu balik menuding sana-sini. Dia menampilkan kekuatan hebat melalui kemampuan memaafkan. Manusia hebat bukanlah manusia yang bisa marah setinggi langit, melainkan manusia yang bisa memaafkan panah-panah yang terlanjur menembus tubuhnya. 

Permaafan jauh lebih mulia dari kemarahan. Permaafan hanya lahir dari jiwa besar, yang berani membuang semua kemarahan, lalu melepaskannya dalam telaga kedamaian. Permaafan hanya lahir dari jiwa-jiwa bening, yang memosisikan semua manusia dalam dimensinya yang bisa salah dan bisa benar, dan melalui kesalahan itu manusia akan terus menyempurna. Permaafan akan membasuh semua salah itu menjadi hikmah yang membebaskan.

Saat hari ini membacakan surat suaminya, air matanya menjebol banyak hal. Surat itu begitu perkasa. Salah satu bait surat itu mengatakan:

Tetapi saya telah belajar mengampuni dan menerima semua ini. Jika untuk kebaikan berbangsa dan bernegara, alangkah ruginya warga DKI dari sisi kemacetan dan kerugian ekonomi akibat adanya unjuk rasa yang menganggu lalu lintas.
Tidaklah tepat saling unjuk rasa dan demo dalam proses yang saya alami saat ini. Saya khawatir banyak pihak yang akan menunggangi jika para relawan berunjuk rasa, apalagi benturan dengan pihak lawan yang tidak suka dengan perjuangan kita.Terima kasih telah melakukan unjuk rasa yang taat aturan dan menyalakan lilin perjuangan, konstitusi ditegakkan di NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.
Mari kita tunjukkan bahwa Tuhan tetap berdaulat dan memegang kendali sejarah setiap bangsa. Kita tunjukkan bahwa kita orang yang beriman kepada Tuhan Yang Masa Esa pasti mengasihi sesama manusia, pasti menegakkan kebenaran dan keadilan bagi sesama manusia.

Duhai Vero. Satu suara saya akan selalu jatuh untuk kalian. Mengapa kalian lebih mulia dari mereka yang mengklaim telah mengkapling sepetak tanah di surga sana?


Bogor, 24 Mei 2017




15 komentar:

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Mansur Talangko mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Yusran Darmawan mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Yusran Darmawan mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Okti Li mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Trivena mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Yusran Darmawan mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Yusran Darmawan mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Yusran Darmawan mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Yusran Darmawan mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Nasrul Iswadi Bundu as Ollenk mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

Posting Komentar