tampilan buku |
SIAPA bilang berinteraksi di
media sosial hanya membuang-buang waktu? Beberapa waktu lalu, saya menerima
tantangan menulis dari satu penerbit besar. Saya diminta menulis secara
kolaboratif dengan beberapa penulis lain, yang rencananya akan diterbitkan
dengan judul Indonesia Menghajar. Yang ditulis adalah refleksi, optimisme,
tantangan, serta apa yang dibayangkan saat mendengar Indonesia.
Tanpa banyak menimbang, saya langsung
mengiyakan. Selain saya, para penulis yang diajak kolaborasi adalah Adhitya
Mulya, Bre Redana, Boim Lebon, Prie GS, Beby Haryanti Dewi, Fahd Djibran, Ainun
Chomsom, Iwok Abqary, dan Edhie Prayitno Ige. Kami tak saling mengenal. Kami sama-sama diajak memikirkan, membayangkan, lalu menanam
harapan untuk Indonesia.
Saya masih mengenang
momen-momen saat menulis. Pada saat itu, saya tengah berada di Boston,
Massachusetts, untuk mengunjungi seorang teman, sekaligus mengikuti seminar.
Saya menulis refleksi tentang tragedi kekerasan yang pernah melanda Indonesia,
serta perlunya melakukan sesuatu agar menuntaskannya.
sampul yang memajang nama saya |
daftar penulis |
Buku kolaborasi itu lalu diterbitkan
oleh Penerbit Noura, salah satu lini penerbitan milik Mizan. Judulnya bukan
lagi Indonesia Menghajar, melainkan Indonesia Jungkir Balik. Saya menyukai
layout-nya yang apik. Buku kolaborasi itu menjadi karya apik yang sangat
membumi tentang Indonesia, yang dilihat dari perspektif warga biasa yang
menulis catatan dari tepian. Saya menyenangi topik dan tulisan beragam yang
tersaji di situ. Kita mengalami Indonesia, merasakannya sebagai bangsa, melalui
hal-hal yang sederhana.
Buku itu beredar di banyak
toko Gramedia. Saya sempat membelinya lalu menghadiahkannya ke beberapa
sahabat. Kini, buku itu tak lagi beredar di toko buku. Tapi saya masih bisa
mendapatkannya dengan diskon besar di satu situs jual beli online. Harganya
menjadi sangat murah. Barangkali buku ini tak seberapa laku, sebab kurang
promosi.
Setelah beberapa tahun buku
itu terbit, saya ingin membagikan tulisan dalam buku itu ke dalam artikel di
bawah ini. Semoga saja bisa membantu mengatasi rasa penasaran mereka yang tak
sempat membelinya. Buat yang masih ingin membeli bukunya, masih bisa memesannya
secara online.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Refleksi atas Ingatan
Muhammad Yusran Darmawan
LELAKI usia belasan tahun itu bernama Budi. Saat diminta
mengenang masa silam, ia tak mampu berkata-kata. Ia lama terdiam, kemudian
mulai sesunggukan. Bulir-bulir air mata menetes di sela-sela jemari tangan yang
berusaha menutupi wajahnya. Ia sedang mengenang sebuah masa yang pedih. Ia
mengingat saat-saat kelam saat dirinya mendapatkan stigma sebagai putra
seseorang yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indoesia (PKI).
Budi tak pernah hidup di tahun 1965. Ia tak bisa
membayangkan masa tersebut, yang disebut para sejarawan sebagai masa yang
paling kejam dalam sejarah kemanusiaan di negeri ini. Ia hidup di era tahun
2000-an, berjarak 40 tahun dari masa tersebut. Tapi ia hidup dengan membawa
trauma masa silam yang kemudian membunuh masa kini. Ia mendapat stigma,
olok-olok, serta kecaman banyak orang untuk sesuatu yang sama sekali tidak
diketahuinya. “Saya ingin membunuh mereka yang menuduh saya komunis,”
katanya suatu ketika.
Saya menyaksikan kisah Budi dalam film dokumenter
berjudul “40 Years of Silence” yang disutradarai antropolog Robert
Lemelson. Pada ajang Indonesian Movie Screening di Boston, Massachusets, Amerika
Serikat (AS), pada tanggal 21 April 2012, saya menyaksikan kisah Budi bersama
tiga sosok lainnya yang hidup sambil membawa luka masa silam. Mereka hidup
sambil membawa trauma berkepanjangan karena dikaitkan dengan peristiwa masa
silam yang kemudian membawa dampak di masa kini.
Buat saya, kisah Budi bukanlah sesuatu yang baru. Di
tahun 2000 silam, saya tiba-tiba disadarkan tentang kejadian yang sama di
kampung halaman saya, di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Bahkan, beberapa
keluarga dan warga sekitar juga mengalami kekerasan di masa silam, yang tak
pernah mendapatkan jawabannya hingga masa kini. Riset lapangan di pulau itu
telah menjadi jalan pulang yang membuat saya paham sejarah kekerasan kampung
halaman kami. Saya sadar bahwa ada satu kenyataan yang sedang ditutupi dan
disembunyikan warga selama puluhan tahun, namun sesekali dituturkan pada
kesempatan terbatas, demi menjaga agar ingatan itu tidak lekang ditelan usia.
Saya akhirnya berempati dan belajar melihat dunia dengan cara pandang mereka.
Film ini telah membangkitkan kesadaran saya tentang
ingatan tersebut, membuka mata saya untuk melihat dengan jernih tentang apa
yang sesungguhnya terjadi. Film ini menggiring saya pada satu refleksi tentang
bagaimana nasib korban kekerasan masa silam yang di hari ini hidup sambil
membawa trauma tersebut ke mana-mana.
Di Pulau Buton, saya bertemu perempuan separuh baya
bernama Wa Ina yang sering terbangun di malam hari dan dicekam ketakutan.
Hampir setiap malam, bulir-bulir keringat di tubuhnya mengucur deras, badannya
menggigil, serta gemetar. Ia ketakutan bila mengingat sebuah peristiwa yang
berkali-kali ingin dilupakannya.
Ia mengatakan, di malam hari, telinganya menjadi lebih
peka di banding sebelumnya, sehingga ketika mendengar langkah-langkah kaki, ia
langsung ketakutan dan menutup kepalanya dengan bantal kuat-kuat. “Saya
selalu teringat kejadian ketika semua kebahagiaan saya direnggut dengan paksa,”
katanya saat menuturkan dengan terbata-bata. Ia sempat terdiam beberapa saat
ketika mengisahkan kejadian tersebut. Matanya berkaca-kaca. Ketakutan selalu
terpancar di wajahnya setiap kali diajak bercerita tentang peristiwa itu.
Ia senantiasa teringat pada peristiwa nahas yang
dialaminya di Pulau Buton pada tahun 1969. Suaminya ditangkap karena tuduhan
terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Malam ketika suaminya ditangkap oleh
militer adalah kenangan yang paling menyakitkan bagi Wa Ina. Ia selalu
terkenang pada pada malam ketika suaminya diambil paksa dari rumahnya.
Malam itu, sebuah kekerasan telah terjadi di pulau kecil
itu. Kekerasan yang bukan saja mengancam tatanan sosial, namun juga melumpuhkan
sendi-sendi solidaritas masyarakat. Kekerasan yang tersembunyi dan nyaris
dilupakan dalam penceritaan para sejarawan, bahkan di masa ketika reformasi dan
kebebasan berpendapat mula tumbuh bersemi. Ia memasuki dunia di mana tatapan
sinis dan sorot peghinaan adalah kenyataan yang harus dihadapinya sehari-hari.
Suami Wa Ina adalah seorang pejabat yang setiap harinya
mendapat respek atau penghormatan dari orang-orang. Sebagai istri pejabat, ia
juga mendapatkan penghormatan yang sama sebagaimana suaminya. Namun kejadian
malam itu ketika suaminya diseret dengan paksa adalah awal petaka bagi
keluarganya. Ia harus memulai lembaran hidup yang baru sembari berupaya
menemukan jawaban, mengapa kejadian itu harus terjadi.
Setiap kali ia mengenang kejadian
tersebut, ia akan menangis terisak-isak sebab peristiwa itu mengguratkan
pengalaman yang traumatik baginya. Selama beberapa puluh tahun, ia berusaha
melupakan ingatan tersebut, namun ia selalu gagal, sebab peristiwa itu begitu
kuat menghujam dalam kesadarannya. Setiap kali terbangun di tengah malam, ia
merasa seolah berada pada ‘malam jahanam’ tersebut, sehingga kembali dicekam
ketakutan. Ketika anak-anaknya terbangun dan menanyakan mengapa ia takut, ia
lalu berusaha tenang dan mengatakan seolah tidak terjadi apa-apa. “Padahal,
saya selalu gemetaran setiap malam dan berusaha tegar,” katanya.
***
DI SINI, di kota Boston, yang berjarak berpuluh-puluh
kilometer dari Pulau Buton, saya menghadapi dua bentang kenyataan. Di satu
sisi, saya menyaksikan film yang memotret empat korban kekerasan yang terjadi
di masa silam. Di sisi lain, saya adalah lelaki asal Buton yang sejarah masa
silamnya juga amat dekat dengan tradisi kekerasan itu. Saya serasa tidak sedang
menyaksikan satu film tentang keping kenyataan itu. Saya sedang menyaksikan
diri saya, menyaksikan bagaimana kuasa masa silam bekerja atas masa kini,
menyaksikan bagaimana negara membingkai sesuatu dan melabelinya sebagai ‘yang
lain.’
Realitas ini seakan menggiring saya pada lapis-lapis
realitas yang lain. Selama puluhan tahun Indonesia merdeka, kasus-kasus
kekerasan seolah hendak dilupakan begitu saja. Namun, secara ajaib, kasus itu
masih tersimpan dalam satu ruang berpikir masyarakat. Kasus-kasus yang tak
pernah terselesaikan itu, kemudian menjelma sebagai ingatankolektif yang
membawa dampak bagi korban-koban kekerasan, yang seringkali menjadi hantu masa
silam atas masa kini.
Beberapa di antara korban kekerasan berusaha untuk tidak
mengingat peristiwa tersebut. Namun semakin mereka berusaha melupakannya,
semakin kuat pula ingatan itu mencengkeram kesadaran. Mengingat peristiwa di
masa silam, tidak hanya menimbulkan trauma, namun juga konflik dengan anggota
masyarakat lainnya yang juga menjadi korban dari propaganda dan proses ‘brainwash’
atau cuci otak dari negara.
Maafkanlah kawan. Saya tidak sedang berbicara tentang
kekerasan yang terjadi di tahun 1965 atau kekerasan yang setiap hari kita
saksikan. Di negeri ini, kekerasan memiliki akar yang menghujam ke dalam tubuh
bangsa, membelit pohon besar republik ini, menjelma sebagai parasite, bahkan
pada periode ketika bangsa ini belum terlahir. Anehnya, sejak negeri ini
berdiri, peristiwa pembunuhan massal dan kekejaman atas manusia lainnya sering
tidak dibicarakan secara terbuka. Kita sama-sama takut. Kita sama-sama khawatir
atas banyak hal sehingga tidak mau membicarakannya secara terbuka.
Padahal, dengan membahasnya bersama-sama, kita sama-sama
berusaha untuk menghindari kekerasan itu di masa mendatang. Kita memaafkan apa
yang terjadi. Tapi kita tidak akan pernah melupakannya. Dengan cara
mengingatnya secara terus-menerus, maka kita sedang mendirikan satu masa depan
di atas landasan kearifan pengetahuan yang digali dari proses belajar atas masa
silam. Namun, seberapa banyakkah kekerasan yang
pernah terjadi di negeri ini?
Marilah kita berkaca pada sejarah. Di negeri ini, sejarah
tidak cuma berisikan catatan tentang keperkasaan pada satu masa. Sejarah tidak
hanya berisikan kisah tentang mereka yang menang, kisah para raja yang sering
menjadikan rakyatnya sebagai tumbal dalam setiap perbenturan. Sejarah adalah
panggung tempat mereka yang kecil menjadi korban dari permainan politik para
kaisar.
Catatan sejarah yang kelam itu, memberikan pengetahuan
bahwa sebelum memasuki gerbang kolonialisme, negeri ini telah akrab dengan
kekerasan. Kita sering mendengar kisah-kisah konflik antar kerajaan yang
kemudian berujung pada drama pembantaian. Pada masa revolusi merebut
kemerdekaan, kekerasan juga menjadi kosakata yang amat dekat dengan masyaakat
kita. Kita pernah mendengar istilah perang puputan atau perang yang menarungkan
nyawa hingga titik penghabisan. Kemudian pemerintah kolonial Belanda juga kerap
membantai penduduk pribumi yang kemudian membangkitkan semangat perlawanan di
mana-mana.
Mengacu pada catatan sejarawan Ricklefs (2005),
pemerintah kolonial Belanda pernah mengirim ekspedisi militer ke Aceh, Lombok,
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Seram, Flores, hingga Bali. Senada
dengan itu, Nordholt (2002) juga mengatakan bahwa pemerintah kolonial
memberikan kontribusi pada begitu banyak korban kekerasan di Indonesia. Konon, sebagaimana dicatat Anthony Reid,
kekerasan yang terjadi pada akhir abad ke-17 ketika VOC berusaha mempertahankan
monopoli perdagangan dengan cara menguasai beberapa area vital seperti Malaka,
Makassar, dan Banten. Jika dibandingkan dengan Portugis, sebagai sesama
kolonialis, maka VOC lebih banyak menggunakan kekerasan demi menguatkan
hegemoninya.
Seiring dengan kemerdekaan, terdapat beberapa
pemberontakan dan peristiwa kekerasan terjadi. Mulai dari Angkatan Perang Ratu Adil
(APRA), pembantaian 40.000 jiwa di Makassar, hingga beberapa pemberontakan yang
kebanyakan dilakukan oleh daerah-daerah yang menuntut otonomi yang lebih luas
dari pemerintah pusat. Beberapa di antaranya adalah pemberontakan Republik
Maluku Selatan (RMS) yang bermarkas di Ambon tahun 1950, lalu pemberontakan
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat pada tahun
1958.
Muncul pula pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara
tahun 1958, hingga Republik Maluku Selatan (RMS) yang terjadi di Ambon, tahun
1950. Selain itu, terdapat pula pemberotakan yang didasari alasan ideologis,
sebagaimana dilakukan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/ TII) di Jawa
Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Tak ada catatan pasti tentang berapa korban
jiwa pada pemberontakan ini, namun dipastikan akan sangat besar.
Hingga akhirnya, peristiwa G.30S/PKI menjadi catatan
paling kelam negeri ini. Saya tidak hendak mengurai sebab-musabab peristiwa
ini. Namun sejak bulan Oktober 1965 hingga Maret 1966, sekitar 500.000 hingga
satu juta rakyat Indonesia terbunuh (Cribb 1990). Mengacu pada investigasi
Kopkamtib, di tahun 1996, sebanyak 800.000 orang terbunuh di Jawa dan sebanyak
100.000 terbunuh di Bali. Kekerasan ini tidak berhenti di sini, seluruh
keluarga korban kemudian menerima nasib yang menggiriskan ketika menjadi warga
negara kelas dua. Mereka mengalami trauma dan depresi yang berkepanjangan
***
SERING kali kita alpa ketika membahas tragedi kekerasan.
Sering kita melihatnya sebagai tumpukan angka-angka statistik yang beku. Dengan
entengnya kita menyebut jumlah korban yang mencapai satu juta jiwa, tanpa pernah memahami bagaimana jika kita
menjadi satu dari sejuta jiwa itu. Para korban sering menjadi obyek yang
kemudian dihakimi dengan pandangan berbeda, dinistakan dengan ideologi berbeda,
lalu tidak memandang aspek kemanusiaan yang melekat pada diri mereka.
Kisah Budi dan Wa Ina (sebagaimana dipekenalkan di
atas) memberikan pelajaran tentang betapa tidak mudahnya menjalani hidup
sambil membawa stigma atau cap yang diberikan negara. Seolah, mereka membawa
semacam stempel atau pada dirinya sebagai seseorang yang tidak layak untuk
menerima espek dan penghormatan dari siapapun. Budi merasa depresi karena
menjadi sasaran olok-olok temannya. Sementara Wa Ina menjalani hidup sebagai
warga negara kelas dua yang dipecat dari pekerjaannya, kemudian mesti banting
tulang untuk membiayai semua anak-anaknya, sepeninggal suaminya.
Dunia yang disaksikan keduanya adalah dunia yang serba
terbatas. Negara membatasi ruang gerak mereka. Negara menutup akses mereka ke
ruang publik tertentu. Bahkan untuk memasuki profesi tertentu, negara membatasi
langkahnya. Selama 32 tahun, negara telah mengabaikan hak-hak mereka yang
menjadi korban kekerasan tersebut. Negara tak pernah menggelar pengadilan untuk
membuktikan sejauh mana kesalahan keluarga mereka. Tak penah pula ada semacam
upaya mendengar kesaksikan mereka atas kejadian yang dialami dan dirasakan.
Para korban kekerasan itu, sebagaimana Budi dan Wa Ina,
adalah saksi atas negara yang menjelma sebagai gurita dengan tangan-tangan yang
serupa tentakel telah menjadi apartus yang membatasi gerak. Suara meraka
dibungkam seama puluhan tahun, sehingga tak pernah jelas apa ingatan mereka
atas kejadian masa silam. Dalam situasi ini, pernahkah kita mendengarkan dengan
jernih suara mereka? Pernahkah kita bertanya tetang bagaimanakah peristiwa ini
membekas di kalangan korban yang pernah menjadi korban atas kekerasan yang
pernah dilakukan negara? Bagaimanakah reaksi yang dialami mereka yang dikenakan
label sebagai pelaku kejahatan di masa silam? Bagaimanakah posisi sebuah
kebudayaan yang mengalami stigmatisasi serta apa yang mereka lakukan untuk
bertahan di tengah himpitan kisah kelam yang mendera hari-hari mereka?
Di balik setiap angka-angka itu, terdapat jiwa-jiwa yang
menghadapi segala persoalan dengan segala daya dan upaya yang dimilikinya. Di
balik angka-angka itu, terdapat manusia-manusia hebat yang mestinya bisa
memberikan sumbangsih bagi pembangunan bangsa ini. Duh, betapa seringnya kita
mendengar kata pembangunan. Namun kita lebih sering melihatnya sebagai
capaian-capaian material berupa angka dan statistik. Atau mungkin kita
melihatnya dari seberapa banyak gedung bertingkat dan polusi udara di satu
kota. Kita tak melihat pembangunan sebagaimana kata Amartya Sen, periah Nobel
asal India, yakni proses yang menempatkan manusia sebagai pusat. Manusia adalah
tujuan sekaligus makna pembangunan. “Sehingga pembangunan mesti dilihat
sebagai proses pembebasan manusia,” katanya.
Bersandar pada gagasan Amartya Sen, sejauh manakah kita
menempatkan korban kekerasan sebagai subyek yang suaranya mesti didenga dalam
proses pembangunan? Apakah negara justru tidak sedang merepresi kebebasan
warganya yang mestinya menjadi bagian penting dari proses pembangunan?
***
DARI Buton hingga Boston. Saya mencatat semua kekerasan
itu dalam rentang panjang perjalanan republik ini. Buton memang tak dikenal
dalam peta sejarah kekerasan negeri ini. Namun, bukankah kekerasan adalah
sesuatu yang dialami lalu dipendam, dan tidak selalu dikisahkan kepada publik?
Puluhan tahun warga Buton memendam trauma, menerima stigma sebagai korban PKI,
hingga akhirnya berupaya setapak demi setapak unuk memulihkan harga diri dan
martabatnya.
Sementara Boston adalah arena internasional di mana
kekerasan di Indonesia ditampilkan ke hadapan publik luas. Kekerasan akibat
tragedi PKI dicatat banyak sejarawan asing sebagai genosida terbesar dalam
sejarah bangs-bangsa. Dari Boston pula tercetus satu inspirasi untuk memikirkan
apakah geangan yang harus dilakukan demi menyelesaikan semua nestapa dan trauma
bekepanjangan itu. Setidaknya untuk cakupan yang kecil, sebagaimana Pulau
Buton.
Sungguh, saya tidak sedang bermaksud untuk membedah
akar-akar kekerasan dan dampaknya di Indonesia. Saya hanya ingin berbisik
tentang pentingnya melihat kekerasan sebagai prioritas yang harus diselesaikan.
Meskipun peristiwa itu telah lama berlalu, namun jejaknya masih terasa di masa
kini, dan seyogyanya bisa dihapuskan dengan melakukan upaya-upaya persuasif
kepada korban kekerasan.
Saya meyakini bahwa dalam proses advokasi, upaya untuk
merehabilitasi nama para korban kekerasan mesti diiringi upaya untuk melacak
apa yang terjadi di masa silam. Kebenaran mesti diungkap, meskipun setelah itu
kita akan saling memaafkan atas apa yang terjadi. Ini selaras dengan ungkapan
salah satu peraih Nobel, Desmond Tutu, yang mengatakan, segala upaya untuk
mengungkap segala kekerasan yang terjadi di masa silam adalah pintu masuk untuk
mengembalikan hak-hak sebagai warga negara. Lantas bagaimanakah memulainya?
Saya menawarkan gagasan untuk memulai dari
ingatan-ingatan koban. Adalah penting untuk memberikan perhatian kepada
ingatan-ingatan para korban kekerasan, memahami peristiwa itu melalui
perspektif mereka, kemudian merencanakan langkah-langka yang sistematis untuk
menyelesaikannya. Ingatan-ingatan korban kekerasan bisa menjadi jendela untuk
mengetahui dinamika masa silam, posisi peristiwa itu di masa silam, serta
bagaimana korban-korban kekerasan hidup dan berdamai dengan situasi kekinian,
seklaigus bagaimana mereka mngenali masa depan.
Saya menilai, penekanan pada ingatan sangat penting sebab
selama puluhan tahun ketika rezim Orde Baru bertahta, para korban hidup dalam
situasi yang represif. Pada masa ini, negara berusaha menghapus ingatan mereka
tentang peristiwa masa silam, sebab negara kemudian memutuskan tafsir tunggal
yang menyalahkan korban kekerasan.
Kita sama paham bahwa hampir setiap tahun, pemerintah
Orde Baru merayakan peristiwa ini secara besar-besaran dalam bentuk upacara
pada monumen yang dibangun untuk mengenang kejadian tersebut. Negara juga
merayakan peristiwa itu melalui upacara di Lubang Buaya, ataupun melalui film
yang diputar setiap tahun. Namun, para korban berupaya untuk memelhara ingatan
yang berbeda. Meeka menolak didefinisikn sebagai pelaku kejahatan masa silam.
Mereka berusaha untuk menghangatkan ingatan mereka dan memberi intepretasi atau
penafsiran yang berbeda dengan negara.
Melalui ingatan itu, mereka lalu memilih identitas untuk
masa kini, memilih posisi tertentu saat berhadapan dengan negara, serta mesti
behadapan dengan kenyataan hidup sebagai warga negara kelas dua. Mereka memilih
untuk bungkam, dan di saat bersamaan, ingatan itu kerap menjadi hantu masa
silam yang hadir di masa kini dan mempengaruhi kondisi mereka. Ketika mereka
tersakiti terus-menerus, dan tidak ada upaya rehabilitasi, maka pada saat
bersamaan, negara telah tidak bekerja untuk mereka.
***
DUA tahun silam, saya bertamu ke rumah Wa Ina di Pulau
Buton. Di rumah sederhana itu, ia memajang foto suaminya yang dahulu tewas atas
tragedi tersebut. Di depan rumah itu, ia membuka warung kecil, di mana dirinya
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di dekatnya, ada pula usaha tambal ban. Entah,
apakah ia menyewakan areal di situ ataukah tidak.
Ia memang selalu berapi-api dan bicara dengan penuh
semangat, seperti air yang bobol lepas karena lama tertahan. Ia tak pernah
merasa lelah jika ditanyai tentang kejadian itu. Ia bercerita bahwa sudah
banyak peneliti termasuk asing yang menemuinya. Ia juga selalu menegaskan bahwa
ingatan-ingatan atas kejadian itu masih segar di kepalanya. “Saya alami sendiri semua kejadian itu.
Semuanya masih amat jelas,” katanya dengan tegas.
Di rumah kecil itu, ia menghabiskan masa tuanya. Ia tak
pernah membandingkan dengan nasibnya di masa silam. Masa silam sudah berlalu
baginya dan menyisahkan kenangan pahit yang traumatik. Barangkali ia sudah
lepas dari trauma. Dengan semangat menggebu-gebu tatkala mengungkap kisah itu,
ia sedang mempertegas posisinya dan posisi suaminya, serta posisi orang Buton
yang menjadi korban fitnah.
Sesekali, ia menangis tersedu-sedu saat mengisahkan
tragedi masa silam itu. Setelah itu lama terdiam. Nampaknya, ingatan atas masa
silam itu masih kerap menikamnya di masa kini. Air matanya telah lama
mengering. Makanya, ia menangis tanpa mengeluarkan air mata. Pada akhirnya,
tangis tidak membawa guna baginya. Sejak reformasi, ia sudah menuntut
rehabilitasi nama baik dan pengembalian tanah-tanah milik keluarganya. Entah,
apakah tuntutan itu sudah dikabulkan ataukah belum. Yang pasti, ia menanggung
hidup yang amat berat sesudahnya. Apalagi, anak-anaknya hidup menyandang stigma
dan menanggung dosa sosial.
Lain lagi dengan kisah Budi. Dalam film dokumenter yang
disutradarai Robert Lemelson itu, ia akhirnya sadar bahwa membalas dendam
tidaklah seberapa penting. Jauh lebh baik jika ia mengalihkan energi itu ke arah
hal-hal yang positif. Namun, tentunya, perjuangan itu tidaklah sederhana. Ia
butuh waktu lama untuk memulihkan energi dan kepercayaan dirinya. “Dulu, aku adalah tanah liat yang mudah
dikalahkan. Kini aku adalah batu karang yang tegar menantang lautan,”
katanya.
Memang, tak semua menempuh jalan nasib sebagaimana
mereka. Tapi, mereka –yang disebut
sebagai korban tersebut—seolah manusia tak bernegara. Mereka hidup dalam
negara yang tak memikirkan nasib mereka. Mereka adalah sketsa buram di negeri
ini yang seolah mengingatkan kita semua betapa urgennya membangun rekonsiliasi
dan jembatan hati. Betapa pentingnya merajut ulang buhul sosial kita,
merekatkan kasih di dinding kebangsaan, serta menguatkan semua pihak. Bukankah
ini yang menjadi tujuan kita bernegara?
Boston, 29 April 2012
0 komentar:
Posting Komentar