Mengenang Mudik ke Pulau Buton

kapal Pelni

SEUMUR-UMUR, saya tak pernah mudik dengan perjalanan darat. Saya tak pernah terjebak kemacetan parah. Kampung saya terletak di Pulau Buton yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat atau kapal laut. Di masa bersekolah di Makassar, tak ada pesawat yang singgah di pulau kami. Pilihan mudik hanya dengan menggunakan kapal laut.

Di setiap momen mudik, kapal Pelni itu menjadi arena pertemuan dari mahasiswa asal Buton-Muna-Wakatobi yang tersebar di banyak kota. Sebab rute kapal itu adalah dari Jakarta, Surabaya, lalu Makassar, hingga Baubau. Di setiap pelabuhan, pasti akan ada mahasiswa asal kampung kami yang naik kapal. Saya masih terkenang saat-saat di kapal Pelni, saat bertemu teman-teman kecil yang kuliah di berbagai kota, saat menunggu keberangkatan dari kafetaria kapal Pelni di dek paling atas, sebelah belakang.

Demi mudik, saya menyiapkannya sejak jauh hari. Bermula dari memanjangkan rambut dan sedikit dikeritingkan, biar nampak urakan dan macho saat di kapal. Selanjutnya, membeli tas kerel ala pendaki gunung, biar mengesankan diri sebagai pencinta alam. Terakhir, sedikit latihan vokal agar bisa menyanyikan karaoke lagu dangdut di kafetaria kapal Pelni.

Tak cukup dengan itu, saya juga mengasah keterampilan bermain domino. Lama tempuh kapal Pelni selama 12 jam dari Makassar ke Buton akan terasa singkat jika dilalui dengan bermain domino. Bagi kami, rugi membeli tiket kelas 1 hingga kelas 4. Sebab, waktu akan lebih banyak dihabiskan di kafetaria, tangga kapal, atau lorong-lorong kamar. Apa yang dilakukan di situ? Kalau bukan main domino, kami akan isi dengan berceloteh berbagai topik.

Saking seringnya naik kapal, saya mengenali semua tempat di kapal itu. Sepanjang kuliah, saya selalu menaiki kelas ekonomi. Saya terbiasa tidur di berbagai tempat. Pernah tidur di tangga, dekat dapur, lorong-lorong kamar kelas, hingga pernah pula menyewa kamar anak buah kapal (ABK). Tempat favorit saya adalah sedikit ruang di atas tangga dek kapal sebelah dalam.

Saat di kapal itu, saya merasakan banyak hal yang berubah. Beberapa teman yang dahulu minder, tiba-tiba jadi lebih percaya diri. Beberapa kawan mulai berambut gondrong, padahal dulu tampak rapi sebab jadi anak mami di masa SMA. Kadang kami bahas teman yang dahulu juara kelas, tiba-tiba kehilangan kharismanya saat kuliah. Topik paling disukai adalah tentang kiprah teman-teman cewek yang dahulu pernah menjadi idola dan agak angkuh di sekolah. Kuliah di kota-kota, membuat kawan sekampung bertemu dengan pergaulan yang lebih luas, sehingga menganggap kalau ada banyak cewek yang melebihi idola sekolah kami, namun justru jauh dari kesan angkuh.

Tak habis-habisnya, kami mengenang masa kecil di kampung halaman. Kami juga membahas perkembangan teman-teman kami yang lama tak bertemu. Mulai dari La Almin yang berhenti kuliah karena menekuni aktivitas paranormal dan perdukunan, La Mail yang dicari preman karena menghamili keluarga preman itu, hingga La Dambo yang di masa SMA dikenal malas, tiba-tiba menjadi aktivis yang muncul di banyak demonstrasi.

Pada beberapa kawan, momen mudik menjadi ajang uji nyali dan petualangan. Modusnya ditempuh dengan tidak membeli tiket untuk menaiki kapal laut. Saya tahu persis kalau kawan itu punya uang, tapi dia sengaja tidak membeli tiket. Mungkin dia merasa keren saat menumpang kapal tanpa tiket, lalu menghindari kejaran satpam dan petugas tiket. Seorang kawan aktivis, punya kiat cerdik. Dia akan membuat negosiasi dengan pihak kapal Pelni. “Jumlah kami 10. Apakah kami bisa diberi 10 tiket dengan hanya membayar 6 tiket?” Kalau pihak Pelni setuju, maka dia akan merasa keren setinggi langit.

Mudik di kapal Pelni juga menjadi ajang untuk bertemu dengan teman cewek semasa di kampung. Kadang kaget juga mengetahui Si A tiba-tiba menjadi lebih cantik dan mempesona saat kuliah. Mungkin dia sudah mengenal mode dan salon. Di satu perjalanan dengan kapal, Si A singgah ke kafetaria bersama teman-teman cewek lainnya. Tiba-tiba saja, geladak kafetaria itu ramai dengan para mahasiswa. Banyak mahasiswa yang duduk di pagar kapal, sengaja mengibaskan rambut gondrongnya, lalu menghembuskan asap rokok. Saya tahu ada beberapa teman yang tidak merokok. Tapi di kapal itu, mereka akan merokok.Tahu alasannya? Biar keren dan nampak macho. Siapa tahu Si A akan tertarik.

Ada juga mahasiswa yang datang menyapa Si A lalu mengeluarkan istilah-istilah sulit, seperti paradigma, aksioma, atau revolusi sains. Dibahasnya tentang pemerintah yang bobrok, tidak becus, lalu dikeluarkannya teori-teori ekonomi makro. Dia lalu menyebut kiprahnya di dunia aktivis dan intelektualitas. Tahu alasan mengeluarkan istilah rumit? Biar Si A kagum. Yah, namanya juga usaha.

Demi keinginan agar nampak macho itu, beberapa orang sengaja menenggak alkohol. Di masa saya kuliah, ada beberapa kawan sekampung yang bekerja sebagai anak buah kapal (ABK). Para ABK inilah yang lalu mengajak rekan-rekannya ke ruang-ruang tersembunyi di kapal, biasanya ruang rapat. Di situ, beberapa bir dan konau (tuak khas Buton) dikeluarkan. Mereka lalu party dan hepi-hepi.

Saking seringnya naik kapal, saya menghapal persis semua pengumuman di kapal itu. Misalnya, “ABK dek muka belakang.” Atau pengumuman tentang “Kapal serong kiri”. Ada tiga pengumuman yang paling saya sukai. Pertama, pengumuman makan malam. Kedua, pengumuman kalau diskotik sudah dibuka dan pengunjung diminta datang dengan memakai sepatu. Ketiga, pengumuman kalau sejam lagi kapal akan tiba di Pelabuhan Baubau.

Nah, pengumuman terakhir ini yang paling menyenangkan. Saya akan segera menuju anjungan atau geladak kapal. Saya menyaksikan kampung halaman yang terlihat di kejauhan. Yang pertama saya kenali adalah rumahnya La Ony yang nampak dari kejauhan, jembatan batu yang dipenuhi kapal layar, hingga akhirnya kerumunan penjemput yang menanti kedatangan kami, anak mahasiswa yang dahulu bengal, kini melanjutkan pendidikan demi masa depan. Di antara penjemput itu, selalu ada almarhum bapak yang akan tersenyum lebar dan menanti kedatangan saya dengan penuh bahagia.

Ah, postingan ini mulai sedih. Saya cukupkan sampai di sini.



Bogor, 4 Juli 2016

Saat membayangkan indahnya mudik



10 komentar:

Maria Etha mengatakan...

Ngga mudik, bang Yusran?

Yusran Darmawan mengatakan...

pengen sih tapi lg gak bisa pulang krn istri mau melahirkan.

Nur Terbit mengatakan...

Sama bung Yusran, lebaran tahun ini gak mudik seperti biasanya. Biasa, menghemat ongkos karena selama 2016 IU ni sdh 4 kali mudik utk urusan keluarga. insya Allah Idul Adha mudik lagi. Membaca artikel ini mrngingatkan saya saat mudik, baik semasih bujangan maupun setelah berumahtangga. Itu saya tulis d blog www.nurterbit.com. Bagaimana mudik dgn kspal Pelni, sholat di kapal dgn kiblat yg berubah-ubah, ketemu teman lama seprti alm Abdul Rauf, wartawan yg pulang mudik dan meninggal di kampung....

Salam, maenki ke Bekasi daeng
www.nurterbit.com

Zoel dan Dunianya mengatakan...

Keren tulisannya bank, malan ingin merantau lagi

erwan_saripudin mengatakan...

Mudik keren juga... saya kagum dengan teman teman dari sultra. kemauan untuk belajar sangat tinggi....

Anonim mengatakan...

keren tulisannya bang,,, jd tringat saya waktu pulang tahun lalu,, dari Surabaya ke Baubau,, saking lamanya perjalanan, 3 hari clx,, jd pintar saya main domino,, hahaha

abmi handayani mengatakan...

Buton... Nenek saya berasal dari sana. Saya sendiri lahir dan besar di Kalimantan dan sekarang tinggal di Yogyakarta. Seumur hidup baru 5 kali ke Sultra dan ke kampung di Buton. And my heart beats fast everytime i remember those places. Thanks for writing and sharing this story, Sir.

Unknown mengatakan...

Cerita yang membangkitkan nostalgia, perjalanan menggunakan kapal memang melahirkan banyak cerita

Unknown mengatakan...

betul sekali,umbe kaasi,,

Bulu bibir mengatakan...

terharu sekali baca tulisan ini.,.,.,
salah satu pengagum tulisan abang...
salam anak Buto...

Posting Komentar