NIAT awal masuk kabinet adalah untuk mengepret siapapun
yang tidak punya visi kerakyatan, ternyata justru dirinyalah yang merasakan
kepret. Pada diri lelaki itu, Rizal Ramli, kita sedang menyaksikan fragmen
hidup yang serba tak sabaran. Jika politik adalah kesempatan yang bisa
diciptakan dan mengalir mengikuti ritme, mantan Menko Maritim itu justru ingin menari sendirian.
Memahami Rizal ibarat memahami satu pertunjukan
teater yang tak taat dengan skenario. Di balik panggung, ia membaca semua
skenario dan memahami peran yang harus dilakoni. Namun di atas panggung, ia
memainkan skenario sendiri yang disimpannya sejak jauh hari. Sayang, masa 11
bulan tak cukup baginya untuk mementaskan lakon drama yang disiapkannya.
Tapi di mata Rizal, teater ini belum usai.
Apakah gerangan skenario yang pernah dimainkannya sehingga mendapatkan kepret
dari atasannya sendiri? Marilah kita simak satu per satu sembari menebak apa
lagi kartu skenario yang akan dimainkannya.
***
SALAH seorang kawan politisi punya perumpamaan
bagus tentang Rizal Ramli. Menurutnya, Rizal adalah politisi yang mengikuti ke
mana arah angin kamera berhembus. Maksudnya, energi dan vitalitas Rizal akan
tampak berbeda saat kamera merekam dirinya. “Saat sidang kabinet, ia tipe yang
pendiam dan selalu manggut-manggut mengikuti arahan. Tapi saat keluar ruangan
dan berhadapan dengan kamera, ia tiba-tiba saja galak,” kata teman itu.
Ia berkisah tentang perseteruan Rizal Ramli dan
Jusuf Kalla beberapa waktu silam. Rizal menantang Wapres JK berdebat mengenai
program listrik 35 ribu watt. Tak hanya itu, ia berbicara di hadapan media
kalau dirinya hanya tunduk pada presiden, not
everyone else. Tapi saat sidang kabinet, ia justru lebih banyak diam.
Wapres JK balik menceramahi dirinya, sesuatu yang dengan sengit diingkari Rizal
saat ditanyai para jurnalis. Rizal mengesankan dirinya sebagai anggota legiun
paling setia di jajaran pembantu presiden.
Ibarat pertandingan sepakbola, Rizal adalah
pemain cadangan yang masuk untuk mengubah permainan. Sebelumnya, ia adalah
komentator yang paling kritis atas apa yang tampak di lapangan. Sebelum itu, ia
pernah menjadi pemain, dengan prestasi yang tidak terlalu mengesankan di tengah
iklim politik yang penuh pergolakan pasca-reformasi.
Peran besar yang seharusnya dimainkan Rizal
adalah mendinamisasi pergerakan semua anggota kabinet sehingga berjalan sesuai
koridor nawa-cita yang dicanangkan presiden. Barangkali, satu atau dua sentilan
Rizal dibutuhkan untuk mempercepat kerja para menteri dalam mewujudkan janji
pemerintahan baru. Kritik memang diperlukan agar visi besar tidak menjadi
fatamorgana yang sukar dikejar. Ternyata kritik itu berkembang liar ke
mana-mana sehingga menimbulkan kesan perpecahan yang membuat dunia politik
semakin gaduh.
Melalui Rizal, kita tahu tidak semua teori
tentang politik selalu benar (baca: Empat Teori tentang Sikap Rizal Ramli). Mulanya ia
dianggap sebagai orang kepercayaan Jokowi. Ternyata, usianya di kabunet hanya
11 bulan, yang menunjukkan bahwa dirinya gagal menerjemahkan visi kabinet. Lebih
ngawur lagi teori dari seorang pengamat yang mengatakan dirinya adalah orang
kepercayaan JK. Jika kepercayaan, tak mungkin ada perseteruan serta ketidakpercayaan
pada sosok RI-2 itu.
Apakah gerangan
evaluasi yang bisa kita berikan atas keberadaan Rizal di kabinet selama 11
bulan?
Pertama, kegagalan membangun komunikasi politik
yang dinamis. Sebagai menteri koordinator, peran-peran yang harusnya bisa
dimainkan adalah menjembatani komunikasi antar sektor, menajamkan visi
nawa-cita, lalu mendinamisasi gerak menuju visi pemerintahan. Peran ini tak
bisa berjalan optimal, disebabkan dirinya terlampau sibuk memelihara konflik dengan banyak pejabat lain.
Ada yang mengatakan bahwa tergesernya Rizal
adalah imbas dari perseteruan dengan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Pangkalnya
adalah perdebatan tentang reklamasi Pulau G di utara Jakarta. Dalam konferensi
pers, Rizal menyampaikan sikap tim kerja, yang melarang reklamasi pulau
tersebut, sesuatu yang emudian dianggap Ahok tidak ada dalam rekomendasi. Pihak
Ahok membuka banyak data yang tak pernah direspon oleh pihak Rizal.
Tapi, saya menganggap alasan perseteruan dengan
Ahok ini bukanlah substansi utama. Perseteruan itu hanyalah riak kecil dari buruknya
komunikasi politik yang seharusnya bisa dimainkannya dengan bijak. Ia seharusnya
bisa membangun satu kerangka dialog dan kesepahaman, yang lalu menggerakkan
laju pemerintahan ke arah cita-cita ideal.
Kedua, pergerakan politik yang ibarat makan
kerupuk. Terlihat banyak dan berbunyi kriuk-kriuk,
tapi tak pernah mengenyangkan. Beberapa tugas langsung dari presiden yang
seharusnya dituntaskannya ternyata justru menjadi probem yang terus muncul.
Sebut saja tentang dwelling time, harga logistik yang tinggi, hingga pembenahan
pelabuhan yang tak kunjung beres.
Di titik ini, Rizal harus banyak berguru pada
Luhut Binsar Panjaitan tentang bagaimana menjadi seorang mastermind atau pengatur ritme yang luput dari pantauan publik.
Luhut bisa mengendalikan dinamika Partai Golkar, dengan gejolak yang minim. Ia
bekerja senyap dengan hasil yang besar bagi pemerintah. Sementara Rizal
sebaliknya. Ia bekerja sedikit, dengan publikasi yang besar-besaran.
Ketiga, hasrat publikasi yang sedemikian massif
sehingga menjadi jerat baginya. Ia membobardir media massa dan media online dunia
maya dengan segala berita tentangnya. Ia juga memanfaatkan sosok Adhie Massardi
sebagai spin doctor yang akan membelokkan segala isu tentang Rizal demi
membangun glorifikasi atau upaya yang kian melambungkan namanya. Tugas spin
doctor ini adalah meramaikan dinamika politik dengan berbagai isu, yang boleh
jadi, membelokkan substansi tentang betapa sedikitnya kerja yang telah
dilakukan.
Permainan wacana yang dimainkan para spin
doctor memiliki tujuan yang sama yakni memosisikan Rizal sebagai hero, dan yang
lain sebagai looser. Berbagai isu di-listing, lalu diatur timing-nya. Sebagai
hero, ia berharap mendapatkan dukungan publik luas sehngga kelak menjadi simbol
dari perjuangan melawan para penindas.
Jika diibaratkan permainan sepakbola, Rizal
adalah tipe pemain individualis yang ingin sesegera mungkin mencetak gol, tanpa
membangun tim yang kuat. Menjadi pahlawan memang memabukkan, sebab posisi itu
memungkinkan seseroang menjadi sorotan semua kamera, lalu memantik kekaguman
yang berujung pada citra terkerek tinggi.
Keempat, ia tidak juga menunjukkan pemahaman
yang jelas atas visi maritim di pemerintahan ini. Pemerintahan Jokowi – JK adalah
pemerintahan yang hendak mewujudkan visi maritim, namun visi besar itu tak
pernah dijabarkan dengan jelas. Jika maritim diterjemahkan sebagai semesta
berpikir yang seharusnya bisa merasuk dalam segenap kebijakan politik yang
ditempuh pemerintah, tugas seorang menko adalah membumikan visi itu ke dalam
kerangka kerja yang lebih terstruktur dan jelas arahnya.
Saat memilih istilah “Rajawali Kepret” sebagai
simbolisasi dari peran ideal yang hendak dimainkannya. Simbol ini menjadi
penegasan bahwa dirinya ingin mengkepret siapapun yang melenceng dari
pemerintahan. Sayang, istilah ini ibarat senjata makan tuan. Sejarah mencatat
bahwa dirinyalah yang kemudian dikepret di tengah jalan yang telah dirintisnya.
Pelajaran berharga dari kasus ini adalah sebagaimana
pepatah Inggris: ”Don’t put all your eggs
in one basket.” Jangan pernah menyimpan semua telur dalam satu keranjang. Jangan
pernah mengeluarkan semua strategi dalam satu skenario. Anda mesti pandai
mengatur ritme kapan harus menurunkan setiap kartu. Perhitungkan situasi dan
konteks sekeliling. Jika kartu dikeluarkan sekaligus, maka bisa berpotensi chaos yang bisa mengancam pihak lain,
lalu membuat anda yang tersingkir. Dan strategi terbaik adalah melakukan kerja-kerja hebat yang monumental, yang bisa membuka banyak pintu untuk menurunkan strategi lainnya.
***
APA boleh buat, layar telah terlanjur patah di
jalan. Perjalanan lelaki itu masih akan panjang. Amat menarik menyaksikan apa
saja kartu skenario yang akan dimainkannya. Ia tak mungkin mundur begitu saja,
tanpa menyiapkan sejumlah kartu as .
Pertama, ia akan menampilkan kesan kalau
dirinya di-reshuffle sebagai akibat dari kuatnya lobi para pengembang. Ia
membangun kesan bahwa dirinya sedang melawan para pengembang, yang didukung
penuh oleh pemerintah. Pesan ini mulai disuarakan oleh para spin doctor yang
dekat dengan dirinya secara terus-menerus.
Kedua, ia akan tetap tampil menghadiri semua
diskusi yang diadakan media massa. Ia akan kembali menjdi pengamat yang
memiliki banyak ide-ide nyeleneh. Hanya dengan cara itu ia bisa merawat
kekaguman orang lain kepadanya, yang nantinya akan bisa dijadikan sebagai
senjata untuk kembali memasuki dunia politik.
Ketiga, ia akan ikut dalam upaya membangun
oposisi kritis atas pemerintahan Jokowi-JK. Ia bukanlah sosok Habibie yang saat
lengser memilih jadi guru bangsa dan tidak pernah melempa kata negatif pada siapapun
pemimpin. Ia juga bukan Gus Dur yang kembali menekuni kegiatan kultural seusai
mundur dari posisi presiden. Ia juga bukan Megawati yang masih memegang partai
besar dan bisa mengendalikan banyak sisi dalam politik tanah air. Hanya melalui
gagasan kritis,
Keempat, ia akan tetap merawat harapan menjadi
pemimpin Indonesia. Melalui citra yang terus dijaga sebagai seorang penyelamat
rakyat, ia akan terus berkiprah di panggung politik. Ia embangun persepsi
dirinya sebagai anti-neolib serta sebagai pejuang yang hendak meluruskan
pemerintahan Jokowi. Positioning ini akan terus dimainkannya hingga momen pemilu
mendatang.
Dengan usia yang tak muda lagi, kesempatannya barangkali
hanya sekali, yakni pada pemilu mendatang. Boleh jadi ia akan sukses menggapai
mimpinya, boleh jadi pula ia akan gagal. Kita akan sama-sama menjadi saksi
tentang sejauh mana pencapaiannya. Yang pasti, keberadaannya hari ini telah
menghadirkan banyak catatan di benak kita, tentang politisi di panggung kuasa.
Pada dirinya, kita sedang belajar memahami politik yang terus berubah.
Bogor, 28 Juli 2016
BACA JUGA:
1 komentar:
Saya sendiri tidak terlalu mengenal sosok rizal ramli, saya hanya mengira dia bisa menjadi harapan. Sedangkan untuk mas anies sendiri bagaimana mas? Menurut sampean kenapa kok mas anies di kepret juga sama pak presiden?
Posting Komentar