MENCARI buku bagus itu ibarat
mencari berlian di tengah timbunan batu-batu. Dalam sekian kali pencarian, kita
tak selalu menemukan buku bagus. Namun sekali bertemu, ada rasa puas yang susah
digambarkan dalam kata. Hari ini saya menemukan buku bagus yang ditulis esais
Mohammad Sobary, pernah jadi peneliti LIPI, pernah pula memimpin LKBN Antara.
Buku ini digali dari disertasinya yang dibuat saat usianya sudah mencapai 60
tahun. Dugaan saya, ia mendedikasikan buku ini sebagai karya akademik yang menjadi puncak pencapaiannya.
Baru membaca sekilas, saya
menemukan beberapa hal menarik dalam buku Perlawanan Politik dan Puitik Petani
Tembakau Temanggung.
Pertama, buku ini memosisikan
para petani sebagai subyek yang harus didengarkan. Sungguh beda dengan membaca
diskursus pemerintah tentang petani yang melihat mereka sebagai angka-angka
statitik. Jujur, saya jenuh dengan tulisan tentang petani, yang tak menyertakan
suara para petani. Sama jenuhnya saya dengan mengikuti diskusi kemiskinan di
satu hotel mewah. Buku ini berbeda.
Kedua, buku ini membahas
bagaimana respon dan perlawanan petani atas kebijakan pemerintah. Perlawanan
itu tidak selalu dilakukan dengan aksi massa serta bakar-bakaran ala mahasiswa
di kota-kota. Para petani menempuh cara yang sangat cerdik dan sistematis,
melalui kharisma dan kepemimpinan, melalui pilihan strategi dan pergerakan,
serta bagaimana menggunakan semua instrumen kultural untuk menyatakan sikap.
Yang membuat saya merinding
adalah para petani menggunakan mantra-mantra yang memancarkan religio-magis
yang mencekam, menggunakan berbagai simbol dan ritus dalam suasana kudus,
melalui sesajen yang menghubungkan dunia ini dengan dunia sana. Para petani
melawan dengan puisi-puisi yang sesekali dibacakan demi menghangatkan bara
perlawanan. Mereka berperang dengan kidung dan aesthetic of art yang puitik.
Sepintas, buku ini mengikuti
argumentasi ilmuwan politik James Scott dalam Weapons of the Weak, yang
diterjemahkan dengan judul Senjatanya Orang Kalah. Namun setelah membaca
sekilas, bukui ini menempuh pola berbeda. Di beberapa bagian ada refleksi atas
pemikiran Scott dalam konteks Indonesia. Namun, harus diakui, gagasan Scott
sangat kuat merasuki buku ini.
Ketiga, saya amat menyukai
gaya penulisan buku ini yang sangat etnografis. Membaca buku ini serasa
mengikuti kisah-kisah detektif yang seru, membumi, serta penuh kejutan. Saya
seakan tidak membaca disertasi, melainkan mengikuti perjalanan para petani,
meraskan denyut nadi dan detak jantung mereka, mengalami hasrat perlawanan
akibat ruang hidup yang semakin sempit gara2 kebijakan pemerintah.
Di bagian akhir, ada
pencerahan yang muncul. Bahwa para petani itu tidak sedang memperjuangan
kepentingannya, tapi menginginkan perubahan substansial yang mengubah tatanan
yang lebih berkeadilan. Duh, betapa bijak dan arifnya para petani kita,
kearifan yang jarang kita temukan di kalangan kaum cerdik pandai di kota-kota.
Saatnya membaca.
1 komentar:
Ntarcari ah di gramed
Yang kekal mmg perubahan, urusan tatanan sekarang juga harus berubah menyesuaikan situasi dan kondisi
Posting Komentar