INDONESIA TIMUR, Eksotika, dan Catatan yang Terserak

sampul buku

INDONESIA timur ibarat sebentang peta yang masih belum dikenali serta menantang untuk dijelajahi. Setiap orang bisa menjelajah lalu menambahkan berbagai informasi pada sebidang peta tersebut. Tak sekadar informasi tentang semesta indah yang dahulu pernah memikat para penjelajah Eropa yang datang untuk mencari rempah-rempah. Tapi juga kisah tentang flora dan fauna yang masih alami dan misterius bagi para petualang.

Bagi para mahasiswa pencinta alam Silvagama di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Indonesia Timur serupa berlian yang ditemukan seusai menyelam dalam samudera kekayaan flora dan fauna. Saya sangat menikmati ketakjuban mereka saat menelusuri lima taman nasional di Indonesia Timur, sebagaimana dicatat dalam buku Cerita dari Timur: Catatan Perjalanan Ekspedisi Taman Nasional, yang diterbitkan Gadjah Mada University Press, tahun 2016.

Apakah gerangan kisah menarik yang ditemukan di kawasan timur itu?

***

“Tuhan menciptakan Timor untuk kayu cendana, Banda untuk Pala, serta Maluku untuk cengkih. Barang-barang ini tak ada di tempat lain di dunia kecuali di tempat tadi.”

Kalimat itu diungkapkan oleh Tome Pires dalam buku Summa Oriental, yang terbit tahun 1511. Pires sedang mengungkapkan kekagumannya atas berbagai komoditas di timur Nusantara yang memikat bangsa Eropa hingga berbondong-bondong ke tanah itu. Sebelum bangsa Eropa, bangsa Cina lebih dahulu datang, dan merahasiakan rute ke tanah itu.

Perjalanan menemukan timur adalah perjalanan menemukan kejayaan. Didorong hasrat kapitalisme Eropa yang layatnya tengah naik, para penjelajah berdatangan ke timur. Kabar yang muncul dari timur dipenuhi kabar tentang eksotisme, serta betapa banyaknya sumberdaya. Kabar ini lalu membius para pemilik kongsi dagang, yang datang atas nama negara, lalu berusaha mencaplok wilayah itu demi menguasai semua sumberdaya.

Kolonialisme juga memiliki dampak lain yang tak melulu soal ketamakan dan akumulasi kapital. Kolonialisme juga menyimpan kisah tentang mekarnya ilmu pengetahuan di tanah jajahan, yang lalu menyebar ke dunia sana. Itu terlihat dari kedatangan ilmuwan Alfred Russel Wallace yang mencatat semua flora dan fauna, membuat klasifikasi, lalu menentukan garis sebagai pembeda. Dari tanah Ternate, Wallace mengirim surat kepada muridnya Charles Darwin yang berisi catatan ekspedisinya. Siapa sangka, "Letter from Ternate" itulah yang menginspirasi Darwin untuk melahirkan teori evolusi yang masyhur itu.

Di abad kekinian, perjalanan Wallace ke timur itu telah menginspirasi banyak kalangan. Baru-baru ini, para mahasiswa yang tergabung dalam Silvagama, organissi pencinta alam di Fakultas Kehutanan UGM, melakukan perjalanan ke lima taman nasional di timur yakni Taman Nasional Aketajawe-Lolobata (Halmahera), Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (Maros, Sulawesi Selatan), Taman Nasional Wasur (Merauke, Papua), dan Taman Nasional Lore-Lindu (Sulawesi Tengah).

Dalam buku Cerita dari Timur, para mahasiswa ini mencatat kenangan, menuliskan penjelajahan serta pengalaman, lalu memberikan catatan kritis tentang kondisi taman nasional itu. Catatan mereka tak hanya merangkum keindahan dan keanekaragaman, tapi juga beberapa kebiasaan yang justru bisa mengancam taman nasional itu di masa mendatang.


Sebagai buku yang merangkum ekspedisi, buku ini memuat narasi perjalanan, deskripsi berbagai taman nasional beserta flora dan fauna, juga merangkum foto-foto tentang keadaan di lokasi. Melalui narasi dan gambar, kita seolah berkunjung ke taman nasional itu lalu menyaksikan jantung dari berbagai keping kenyataan di situ.

Di Halmahera, saya menemukan catatan tentang Sofifi, ibukota Maluku Utara yang sepi sebab penduduk lebih suka tinggal di Ternate. Tak jauh dari situ terdapat Taman Nasional Aketajawe-Lolobata yang dipenuhi berbagai jenis burung-burung yang tak ditemukan di tempat lain. Birdlife International, lembaga yang fokus pada pengamatan burung, mencatat terdapat 11 daerah penting bagi burung di taman nasional ini.

Sebagaimana halnya Wallace yang terpesona dengan tempat itu, para mahasiswa juga terpesona dengan keanekaragaman burung yang hanya ada di kawasan timur. Di antara banyak burung itu, terdapat jenis burung bidadari halmahera (semioptera wallaci). Para mahasiswa itu memanjat pohon, lalu merekam aktivitas burung itu. Mereka serasa menemukan mutiara sebab burung ini terbilang misterius. Walaupun sudah dicatat oleh Wallace, belum pernah ada yang merekam jejaknya secara utuh. Tak ada yang bsia memastikan di mana burung ini bersarang dan siklus hidupnya.

Di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan, para mahasiswa itu memantau berbagai jenis kupu-kupu. Tak hanya itu, mereka juga menelusuri gua bawah tanah, dan menemukan sungai-sungai di dalamnya. Mereka menelisik kolong, celah-celah di bumi yang bisa disusuri, demi menemukan indanya pemandangan di gua-gua bawah tanah. Saya menemukan catatan menarik saat mereka membahas tentang vandalisme atau aksi corat-coret yang dilakukan di gua-gua di bukit karst. Nampaknya, tak semua penjelajah punya wawasan ekologis yang baik. Ada saja orang yang mengotori kawasan yang indah itu.

Hal lain yang juga cukup miris adalah banyaknya warga yang menangkap kupu-upu untuk dijadikan souvenir. Saya menyaksikan di sekitar Bantimurung, banyak warga yang menjadikan kupu-kupu itu sebagai hiasan dinding juga dimasukkan dalam plastik lalu menjadi gantungan kunci. Kenyataan ini cukup miris mengingat bahwa kupu-kupu memiliki hak hidup serta berkembang dihabitatnya. Harusnya dia dibiarkan terbang bebas di alam Bantimurung yang sedemikian menawan.

Catatan yang paling saya sukai adalah perjalanan di Taman Nasional Wasur di Merauke, Papua. Saya beruntung sebab pernah melintasi taman nasional ini dalam perjalanan menuju perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea setahun silam. Saya sangat familiar dengan deskripsi yang ada dalam catatan ini. Saya juga menyukai informasi tentang flora, serta budaya setempat. Misalnya tentang nilai-nilai, pantangan saat berburu, serta sanksi. Ada pula informasi tentang cara-cara masyarakat berburu dan deskripsi hewan apa saja yang ada di taman nasional itu.

Yang membuat saya menyukai tulisan tentang perjalanan di Merauke ini adalah adanya deskripsi yang cukup lengkap tentang bagaimana kehidupan masyaraat setempat yang berinteraksi dengan hewan dan tumbuhan di taman nasional itu. Saya mendapat informasi baru tentang sejumlah aturan adat dalam perburuan rusa, misalnya hanya boleh berburu saat musim kering sebab saat musim hujan, rusa itu akan berkembang biak. Selanjutnya, hanya boleh memanah yang jantan, sebab yang betina akan dibiarkan untuk bereproduksi. Ada pula berbagai sanksi adat bagi yang melanggar.

Sayangnya, nilai-nilai dalam perburuan itu mulai bergeser disebabkan oleh uang serta tingginya permintaan daging. Beberapa hewan di taman nasional itu seperti kanguru, kasuari, dan walabi, kian terancam hidupnya disebabkan para pemburu selalu mencari mereka. Para mahasiswa itu mencatat pergeseran tradisi berburu, yang dahulu hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten, menjadi perbruan komersial.

Di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, para mahasiswa itu banyak mencatat kehidupan etnis Kaili. Mereka juga menulis ekosistem Danau Lindu, beserta satwa-satwa eksotik di situ. Sebagaimana dicatat Wallace, Sulawesi adalah kawasan ekologis yang unik. Jenis flora dan faunanya punya karakteristik berbeda dengan kawasan lain. Makanya, perjalanan di Danau Lindu menjadi perjalanan yang menyenangkan sebab bisa menyaksikan keunikan danau, serta hamparan perkebunan kopi yang dibangun masyarakatnya.

***

BAGI saya, buku ini membuka mata menjadi lebih jernih tentang betapa kayanya kawasan timur. Saya berharap agar lanju mdoernisasi dan pembangunan tidak menggerus kekayaan alam itu sehingga kelak masih bisa diwariskan ke anak cucu. Catatan dalam buku ini menjadi alarm kalau terdapat banyak hal yang berubah, dan dibutuhkan kesadaran untuk melanjutkan adegan konservasi di kawasan itu.

Dikarenakan dibuat oleh mahasiswa pencinta alam, saya bisa memahami kalau buku ini tidak begitu kritis. Padahal, perubahan ekologis yang terjadi berupa semakin berkurangnya habitat hewan disebabkan oleh banyak, dan yang paling dominan bukanlah penduduk, melainkan masuknya korporas tambang dan kayu yang memosisikan hutan sebagai sesuatu yang bisa dikapling lalu dibagi-bagi. Beberapa studi tentang Lore Lindu pernah dibuat oleh para antropolog, di antaranya adalah Greg Accioli, George Aditjondro, Celia Loew, Peluso, dan beberpaa peneliti lainnya. Terakhir, saya membaca tulisan Claudia D'Andrea yang membahas dinamika dan perlawanan warga lokal atas kehadiran pihak korporasi kopi berlabel internasional di Lindu.


Di Merauke, Papua, saya menemukan informasi dalam buku ini yang mengesankan seolah-olah warga Marind-Anim yang berburu lalu menangkap satwa demi diambil dagingnya. Mungkin, mereka memang pelakunya. Tapi saya sangat yakin kalau posisi warga lokal hanya sebagai kaki-tangan dari kuasa modal yang selama beberapa tahun ini menggerus tanah Papua. Selama berada di taman nasonal itu, saya menemukan banyak kisah pilu tentang konversi hutan menjadi lahan persawahan, yang lalu dikelola oleh petani yang didatangkan dari Jawa. Pemerintahan Jokowi-JK hendak menciptakan lahan sejuta hektar di Merauke melalui tangan petani dari luar. Para penduduk lokal hanya menjadi penonton dari orkestrasi kapitalisme yang terus-menerus menyempitkan lahan, menghanurkan ruang hidup bagi tanaman dan hewan, hingga akhirnya mempersempit ruang bagi penduduk lokal.

Demikian pula di Bantimurung, Sulawesi Selatan. Harusnya para mahasiswa itu tak hanya fokus pada aksi vandalisme, tetapi juga fokus pada bagaimana korporasi semen telah mengebir kawasan karst itu, membuat lubang yang amat besar, yang jika dilihat dari atas, nampak beberapa bukit mulai rata dengan tanah. Kehadiran pabrik semen bisa mengancam ekosistem,

Yang bisa diperkuat dari buku ini adalah: (1) analisis yang tajam dalam melihat dinamika dan relasi antara aktor lokal, aktor nasional, korporasi, serta negara yang menyebabkan ekosistem di taman nasional itu terancam, (2) bagaimana membangun advokasi dan pengarus-utamaan agenda-agenda konservasi melalui upaya meningkatkan kesadaran kritis bagi warga lokal. Warga harus digugah kesadarannya untuk mengenali peta permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Tugas dari semua intelektual itu tak hanya membuat deskripsi, tapi harus menyentil kesadaran masyarakat untuk mempertanyakan banyak hal, sebagai upaya untuk menjaga kelestarian alam dan ekosistem di kawasan taman nasional.

Nampaknya bukan cuma mahasiswa yang seharusnya menyandang tugas ini. Ini adalah tugas sejarah bagi semua pihak untuk menjadikan pengetahuan sebagai senjata yang menjaga lingkungan dari tangan pendekar berwatak jahat. Ini adalah tugas kita semua. Iya khan?



Bogor, 15 Juli 2016

BACA JUGA:








0 komentar:

Posting Komentar