PATUNG itu berdiri tegak di pelataran Kota
Tua Jakarta. Patung itu adalah prajurit yang memakai pakaian ala zaman
pergerakan. Sepintas ia mirip pakaian Bung Tomo, atau mungkin Robert Wolter
Monginsidi. Saat saya mendekat, patung itu lalu bergerak. Ia tiba-tiba saja
menyapa, “Hallo Mas.”
Patung itu ternyata bukanlah benar-benar
patung. Patung itu adalah seorang pria yang menyerupakan dirinya sebagai
patung. Ia membaluri tubuh dan pakaiannya dengan cairan hitam sehingga nampak
seperti batu. Ia juga melengkapi dirinya dengan senapan mainan, samurai, serta
pisau belati. Ia juga membawa sepeda antik sebagai properti. Di depannya, ada
kertas bertuliskan “Manusia Batu
(Pejuang), Boleh Foto Bersama, Pasti Unik!”
Saya juga melihat ada keranjang kecil yang
berisikan uang. Nampaknya, mereka yang berfoto selalu menyimpan beberapa lembar
rupiah di situ. Tak ada pemberitahuan berapa saldo minimal yang mesti disimpan
di keranjang itu demi foto berama. Nampaknya, terserah berapa pun menyimpan di
keranjang itu demi berpose. Saya pun menyimpan dua ribu rupiah, lalu mengambil
senjata, dan foto bersama. Asyik.
Tak jauh dari ‘manusia batu’ itu, saya
melihat seorang ibu yang berpakaian noni Belanda lengkap dengan payung putih berenda
serta keranjang putih berisikan bunga-bunga. Sebagaimana manusia batu, semua
orang bebas berfoto dengannya. Fotonya memang unik.
Ada juga seorang pria dengan topeng
khusus. Ia berdiri dengan pose unik. Setiap 10 menit, ia akan berpose dengan
gaya berbeda. Anak saya Ara paling suka dengan pria ini. Padahal, saya sendiri
tak begitu tertarik. Setiap kali gaya pria itu berubah, Ara akan kegirangan.
Jakarta adalah ruang besar tempat semua
orang unjuk kreativitas. Banyaknya orang berfoto dan menyimpan uang di
keranjang itu menunjukkan kekuatan sebuah ide atau kreativitas. Bagi saya, ide
tentang ‘manusia batu’ dan noni Belanda itu bukanlah baru. Di Eropa banyak yang
bergaya demikian. Akan tetapi keberanian untuk menampilkannya di kota tua Jakarta,
dengan pakaian khas masa kolonial, adalah strategi kreatif dan unik demi
mengundang simpati banyak orang.
Kreativitas adalah hal sederhana. Tak
perlu menghabiskan banyak uang demi sebuah gagasan unik. Biasanya kreativitas
dimulai oleh mereka yang ‘gila’, mereka yang berani berpikir berbeda. Kata
seorang sahabat, kreativitas adalah buah dari imajinasi yang tumbuh dalam
pikiran kita. Setiap hari kita melihat kenyataan lalu membangun angan-angan
tentang kenyataan itu. Mereka yang kreatif adalah mereka yang mencipta gagasan
lalu mewujudkannya dalam hal-hal sederhana.
‘Manusia batu’ dan ‘noni Belanda’ di kota tua itu mengajarkan indahnya kreativitas.
Namun, entah kenapa, saya juga memikirkan
hal lain. Saya memikirkan semesta yang saling terkait antara suasana kota tua
di masa kolonial dan revolusi, pakaian-pakaian prajurit di masa peperangan,
serta pakaian noni Belanda. Di sekeliling bangunan kuno itu, saya menyaksikan
sepeda tua serta topi-topi khas para mandor kompeni. Semua kenyataan itu saling
bertaut dan membentuk semesta berpikir tentang Indonesia pada masa yang telah
lewat.
‘Manusia batu’ itu dengan pakaian ala
pejuang telah mengajarkan saya cara-cara sederhana untuk memahami jiwa bangsa
serta rasa hayat kebangsaan. Yup. Rasa hayat kebangsaan. Saya memikirkan kata
ini dua tahun silam ketika pertamakali meninggalkan Indonesia. Tafsiran
sederhana dari rasa hayat kebangsaan adalah kesadaran tentang bangsa yang hidup
dan berdenyut dalam pikiran kita. Dengan kata lain, rasa hayat itu adalah
sesuatu rasa yang menggenang dalam jiwamu ketika menyaksikan bendera sang saka
merah putih berkibar di angkasa, atau rasa yang bersemi ketika mendengar lagu
kebangsaan dan melihat indahnya tanah air yang mesti dipertahankan dengan jiwa
raga.
Kita mungkin sering memandang remeh rasa
hayat kebangsaan ini. Kita memandangnya sebagai indoktrinasi. Namun satu fakta
yang tak bisa dipungkiri adalah bangsa-bangsa yang melejit sebagai raksasa
dunia adalah bangsa-bangsa yang menemukan perekat rasa hayat bersama, mengolahnya
menjadi kekuatan pendorong, lalu melesat demi menggapai mimpi-mimpi sebagai
bangsa. Bangsa-bangsa itu menemukan etos dan semangat kemajuan melalui rasa
hayat itu, lalu mentransformasikannya menjadi kemajuan.
Kita punya rasa hayat kebangsaan itu. Kita
punya banyak semesta yang menanamkan nilai-nilai itu. Kita punya jutaan
‘manusia batu’ lainnya yang mengenalkan tentang revolusi melalui cara-cara
sederhana. ‘Manusia batu’ di kota tua Jakarta itu seolah menjadi alarm atas
sesuatu yang nyaris hilang. Dan kepadanya kita mesti meletakkan takzim atas
pelajaran berharga yang ditebarnya di bebukitan hati kita.(*)
Jakarta, 19 Mei 2013
0 komentar:
Posting Komentar