BEBERAPA tahun silam, Indonesia berduka
atas kepergian Clifford Geertz. Kini, tanah air kembali berduka atas
meninggalnya Benedict Anderson, seorang akademisi yang melahirkan
berlembar-lembar naskah dan kajian tentang Indonesia. Ia juga akademisi yang
sering salah dipahami. Apakah gerangan yang diwariskan akademisi ini, yang
seharusnya diserap oleh para akademisi di tanah air?
***
HARI itu, di tahun 2012, saya memasuki
kelas Southeast Asian History yang diasuh sejarawan Prof William Frederick.
Beliau salah satu begawan kajian Indonesia di Amerika Serikat. Sebelum kuliah,
namanya telah sering saya dengar. Di kalangan pengkaji Indonesia, ia cukup
disegani. Dalam berbagai konferensi internasional tentang Asia Tenggara, ia
kerap disandingkan dengan Ben Anderson, kawan diskusi sekaligus kawan debatnya.
Hari itu, Bill Frederick, demikian ia
disapa, menunjukkan disertasinya yang sangat tebal. Ia menulis sebanyak 600
halaman lebih kajian tentang revolusi serta pergolakan pemuda di Surabaya.
Disertasi itu telah terbit dengan judul Vision and Heat. Saya membayangkan
energi besar yang dikeluarkannya untuk menghasilkan disertasi setebal itu. Saat
saya tanya kiatnya menulis sedemikian banyak, ia hanya tersenyum.
Di kampus Ohio University, Bill memiliki
asisten seorang warga Indonesia. Namanya Sonny Karsono, seorang sejarawan asal
Surabaya. Saat itu, Sonny sedang menulis disertasi tentang dinamika think tank (tanki pemikir) pemerintahan
Orde Baru. Sonny mengungkap sedikit bocoran mengapa Bill bisa menulis
sedemikian banyak. Ternyata, Bill punya misi besar untuk membantah beberapa
argumentasi Ben Anderson tentang revolusi pemuda. “Bill meniatkan disertasi itu
sebagai kajian yang bisa menjadi bahan dialektika atas pemikiran Ben Anderson.”
Pernyataan ini membuat saya tercengang.
Inilah yang disebut proses ilmiah. Demi menyajikan suatu bahan diskusi,
seseorang melaukan riset dan menulis ribuan lembar pemikiran. Dialektika
seperti ini sungguh menguatkan. Para akademisi menulis ribuan lembar pemikiran
demi menghangatkan iklim diskusi serta debat. Mereka saling belajar, menyerap
hikmah pengetahuan, lalu saling sanggah melalui buku dan hasil penelitian.
Ben memang membangun satu menara gading
pengetahuan. Karya-karyanya tentang Indonesia ibarat menara yang selalu coba
diruntuhkan dengan pedang argumentasi oleh para akdemisi lainnya. Perdebatan
itu malah positif. Ben melahirkan banyak karya-karya mengenai Indonesia, dengan
pencapaian yang tak banyak dijangkau akademisi lain.
Sebagaimana dicatat Ariel Heryanto, Ben
memasuki ranah yang tak sembarang dimasuki oleh akademisi ilmu politik. Ia
memperkaya kajian politik dengan tafsiran budaya, sesuatu yang tak lazim
dilakukan pada masa itu. Ia melihat politik dan segala ekspresinya dari tepian,
lalu secara perlahan bergerak ke jantung topik yang hendak dipahaminya.
“Ia mendalami dan membahas pelik-pelik sastra dan bahasa, jauh lebih kreatif dan mencerahkan ketimbang sebagian besar ulasan sarjana dan kritikus dalam bidang ini. Dalam langkah berikutnya, wawasan Ben yang segar tentang pelik-pelik sastra dan praktik kebahasaan itu dijadikan landasan (bukan contoh ilustrasi) untuk membangun sebuah teori yang sangat segar dan provokatif tentang politik dalam sejarah moderen,” kata Ariel
Dengan cara berpikir demikian, Ben telah
menembus berbagai sekat displin ilmu. Ia tak bisa dengan mudahnya dipetakan
sebagai ilmuwan di satu bidang. Ia sering pula disalahpahami sebagai
antropolog, sosiolog, atau malah dianggap sebagai pengkaji budaya Jawa. Saya
tak terlalu terkejut melihat seorang antropolog memposting duka cita atas
kematian Ben, yang disebutnya sebagai antropolog. Bagi yang membaca
buku-bukunya, pasti mengira beliau seorang antropolog yang menekuni budaya
hingga lapis paling mikro.
Padahal, latar belakang pendidikannya
adalah ilmu politik, namun ia justru memperkaya politik dengan tafsiran
humaniora sehingga memiliki dimensi yang kaya. Makanya, ia tak bersetia dengan
tradisi politik yang membahas tentang elite, kelembagaan, struktur, ataupun
hubungan antar lembaga negara. Ia masuk ke jantung budaya, memahami konsepsi
berpikir dalam setiap budaya, lalu berupaya memasuki ranah politik dengan
tafsiran kebudayaan.
Akademisi yang lahir dari rahim perguruan
tinggi Indonesia, barangkali akan sukar memahami posisi Ben. Sering saya
terheran-heran menyaksikan pihak kampus yang sedemikian ortodoks menjaga
benteng setiap disiplin ilmu. Katakanlah, seseorang sedang mendalami ilmu
komunikasi. Saat kuliah, ia hanya akan belajar ilmu komunikasi, tanpa sempat
berinteraksi dengan berbagai disiplin ilmu lain. Saat ia hendak menyusun riset,
pertanyaan yang kerap muncul dari akademisi adalah: “Hey, apakah relevansi
kajian itu dengan ilmu komunikasi?” Atau bisa juga muncul keraguan, “Lho, itu
kan kajian politik atau sosial, bukan kajian komunikasi?”
Padahal, di beberapa kampus luar negeri,
kajian lintas disiplin ini mendapatkan apresiasi sebab dianggap bisa memperkaya
disiplin ilmu. Perangkat epistemologis menjadi sesuatu yang lentur, sepanjang
dia bisa membantu seorang untuk memahami realitas sejelas-jelasnya. Tugas riset
adalah menggali satu kenyataan sedalam-dalamnya demi membuka lapis-lapis
pengetahuan baru yang mencerahkan kabut pengetahuan. Demi tugas suci itu,
seorang periset bisa mengembangkan berbagai strategi serta menyerap energi
riset dari berbagai disiplin ilmu demi mematangkan apa yang hendak
ditemukannya.
***
DARI Malang, terhembus berita duka cita.
Saya merenungi apakah gerangan warisan Ben bagi studi keindonesiaan. Bagi saya
sendiri, saat membahas warisan seorang akademisi, maka pembicaraan hanya berada
pada dua ranah: (1) kontribusi pada the
body of knowledge atau tubuh pengetahuan, (2) kontribusi pada perangkat
analisis atau cara-cara memahami kenyataan. Dua sisi ini laksana dua kepak
sayap yang membuat pengetahuan membumbung tinggi. Dari dua sisi itu, kontribusi
Ben Anderson bisa dilacak di banyak aspek.
Hanya saja, saya mencatat warisan paling
berharga dari beliau, yakni keberanian untuk menyatakan sesuatu benar atau salah. Ia tak hendak memihak atau memuja-muja satu rezim. Ia menyampaikan sesuatu apa adanya, sesuai dnegan temuan data yang dikumpulkannya. Itu dilakukannya saat memublikasikan Cornell Paper yang mengungkap analisisnya tentang peristiwa G.30S. Pada titik ini, ia meyakini bahwa pengetahuan yang jernih harus bersih dari berbagai kepentingan, tanpa intervensi dari rezim manapun. Untuk publikasi ini, ia dicekal pemerintah Orde Baru dalam waktu lama. Padahal, sebagai peneliti, ia memaparkan tantangan yang harusnya direspon di lapangan riset pula. Bukannya menggunakan palu godam kekuasaan.
Warisan lain darinya adalah ketekunan melakukan riset, mengumpulkan setiap kepingan data, lalu menyusunnya menjadi satu mozaik pengetahuan. Bayangkan, setelah melahirkan karya-karya besar seperti Java in a Time of Revolution, Language and Power, Imagined Communities, The Spectre of Comparison, ia tak berdiam diri. Bahkan di akhir hayatnya, ia masih menghasilkan satu buku berjudul Under Three Flags: Anarchism and Anti-Colonial Imagination. Ini belum termasuk proyek buku otobiografi yang sedang dikerjakannya.
Warisan lain darinya adalah ketekunan melakukan riset, mengumpulkan setiap kepingan data, lalu menyusunnya menjadi satu mozaik pengetahuan. Bayangkan, setelah melahirkan karya-karya besar seperti Java in a Time of Revolution, Language and Power, Imagined Communities, The Spectre of Comparison, ia tak berdiam diri. Bahkan di akhir hayatnya, ia masih menghasilkan satu buku berjudul Under Three Flags: Anarchism and Anti-Colonial Imagination. Ini belum termasuk proyek buku otobiografi yang sedang dikerjakannya.
Daya jelajah dan nalar pengetahuan yang
dimilikinya sukar ditandingi oleh akademisi di tanah air, yang sering hanya
berpuas diri dengan menerbitkan disertasi, melupakan tanggung jawab untuk
merawat pengetahuan, membesarkannya, lalu kelak akan menelurkan dan menetaskan
berbagai pengetahuan-pengetahuan baru. Inilah kutukan bagi akademisi kita yang
seringkali hanya berpuas diri seusai menerbitkan satu buku, lalu setelah itu
berharap mendapatkan posisi basah di birokrasi.
Pada akhirnya, gelar-gelar akademis hanya
melahirkan kelas-kelas sosial baru yang hampa makna, hampa nilai, serta hampa
kualitas. Pada titik ini, saya bisa memaklumi keresahan Ben menjelang akhir
hayatnya. Di satu media, menyampaikan rasa masygulnya atas ketiadaan satu wacana
atau topik penelitian yang fresh dan orisinil dari para sarjana kita.
Ah, mungkin Ben tidak tahu bahwa di tanah
air kita sedang berkembang sikap anti pada segala yang berbau asing. Padahal,
dalam konteks ilmu pengetahuan, wacana asing dan pribumi ini menjadi tidak
produktif. Yang relevan dibahas adalah sejauh mana satu kajian bisa menjelajah,
serta memberikan kontribusi pada pohon rindang pengetahuan, serta bisa membuat
pandangan mata menjadi lebih jernih untuk memahami realitas.
Pada titik ini, para akademisi seperti Ben
Anderson terlanjur berada di ketinggian, dan kita di bawahnya hanya bisa
mencari cara untuk mendaki apa yang telah mereka capai. Entah apa akan sampai
di posisinya, ataukah hanya sekadar meneriakkan puja-puji, atau barangkali gugatan, dari bawah pohon. Entah.
14 Desember 2015
0 komentar:
Posting Komentar