BERKUNJUNG ke makam mereka yang
dikeramatkan selalu memberikan sensasi tersendiri. Saya merasakan ada energi
kuat yang pancarannya masih terasa, menggerakkan ribuan orang untuk berziarah,
serta menjaga satu komunitas agar tetap hangat, meskipun nyala api yang
menyatukan mereka telah menjadi kisah yang dituturkan dengan bibir bergetar.
Kemarin, saya berkunjung ke Masjid Noer
Alatas di kawasan Empang, Kota Bogor. Masjid ini sering disebut masjid keramat di Empang, Bogor. Di belakangnya, terdapat makam Al Habib
Abdullah bin Mukhsin Alatas, seorang warga Yaman yang datang ke Bogor pada
tahun 1828. Beliau seorang penyebar dan pengamal Islam yang amat dicintai warga
sekitar. Sampai-sampai, puuhan tahun setelah kematiannya, ia tetap dikunjungi
dan didoakan. Energinya masih terasa. Bahkan mereka yang tak mengenalnya,
datang melepas rindu, sekaligus menyerap kembali ilmunya yang dilantunkan para
murid.
Para habib, yang merupakan keturunan
rasul, sering datang berkunjung. Para pengikut habib juga datang sehingga
masjid itu semarak dengan doa yang selalu dikumandangkan. Di sekitar masjid,
bisa saya saksikan bagaimana komunitas Arab membuka lapak-lapak, dan menjajakan
kurma, tasbih, pewangi, serta kuliner khas Timur Tengah. Kampung itu menjadi
kampung Arab.
Kata seorang sahabat, para habib berdoa di
masjid ini dengan tangisan yang dikeraskan. Air mata mereka menetes-netes saat
menyebut nama Tuhan. Saya membayangkan kecintaan yang begitu dahsyat. Saya
membayangkan kerinduan yang amat sangat untuk bertemu dengan Sang Pencipta,
mereguk nikmatnya pertemuan, kemudian mencerahkan batin, lalu mengisi kehidupan
sebagai pribadi yang penuh makna.
Add caption |
Tentu saja, saya tak sanggup untuk berdoa
dengan air mata menetes. Saya rasa, berdoa di level itu membutuhkan sikap
melepaskan semua kenikmatan dunia, demi membiarkan udara spiritual merasuk dan
memenuhi jiwa. Barangkali hanya mereka yang lembut dan menyirami batinnya
dengan kecintaan yang bisa melakukannya. Saya adalah seorang pendosa yang hanya
bisa berkunjung dan menyaksikan para manusia setengah awliya sedang berdoa dan meratapi dunia yang serupa belenggu bagi
seluruh manusia.
“Kamu dari mana?” Seorang bapak yang penampilannya serupa pengemis tba-tba bertanya.“Saya dari jauh, Kebetulan saja tinggal di kota ini.” Jawab saya.“Saya mendoakanmu supaya kamu selalu selamat dan jadi orang besar,” katanya.
Dia lalu berdoa. Saya pun memejamkan mata.
Setelah doa selesai, tangannya terbuka diacungkan ke saya sebagai tanda sedang
meminta sesuatu. Saya sempat tak paham, sebelum akhirnya memasukkan tangan ke
dalam dompet lalu mengeluarkan beberapa lembar ribuan. Pepatah tak ada sesuatu
yang gratis berlaku juga di sini. Bapak itu rupanya mendoakan saya demi
beberapa lembar sedekah. Untung saja, saya punya sesuatu. Andai tak punya,
entah apa yang akan dikatakannya.
Apapun itu, saya agak sedih dengan perilaku
mengemis itu. Jika ia mengklaim dan meyakini doanya bisa menghadirkan rezeki
dan nasib baik untuk saya, mengapa dia tidak mendoakan dulu dirinya sehingga
tidak perlu mengemis di tempat itu dengan bibir bergetar karena menyebut
nama-Nya? Mengapa ia tak meminta langit membukakan pintu rezeki untuknya
sehingga tak perlu melakukannya demi gemerincing koin rupiah?
Ah, andai saja Habib Abdullah bin Mukhsin Alatas bisa bangkit dari
kuburnya, apakah gerangan yang akan dikataannya? Jika ia melihat masjid yang
didirikannya dipenuhi para peziarah, serta warga yang menadahkan tangan demi
sedekah, apakah gerangan reaksinya? Apakah ia akan segera terdiam mengingat
nilai-nilai yang diajarkannya? Ataukah ia akan seperti Muhammad Yunus di
Bangladesh sana yang lalu membumikan indahnya agama dalam sikap berbagi pada
sesama, membantu yang miskin dan papa, atau menolong mereka yang membutuhkan
bantuan.
beberapa foto Habib |
pedagang di masjid |
pewangi dan tasbih yang dijajakan |
Tanggung jawab besar yang harusnya diemban
setiap Muslim adalah bagaimana menjadikan indahnya Islam sebagai sukma yang
menggerakkan komunitas, membangun rumah perekenomian yang kokoh, menguatkan
sendi-sendiri kemandirian umat di segala level kehidupan. Harusnya umat tak
hanya menangis saat berdoa, tapi juga meratap saat melihat saudaranya masih
terjerat kemiskinan, lalu mencari cara untuk mengatasinya dengan
bergotong-royong daam spirit religiusitas.
Harusnya umat menjadi umat paling unggul,
bukan unggul dalam hal jumlah, tapi kualitas kehidupan yang mencakup
kemandirian ekonomi, kekuatan secara politik, serta bisa menjadi rahmat bagi
seluruh alam yang ada di sekitar. Harusnya umat Islam bisa memberikan bahagia
bagi semua orang, mengelola alam dan seisinya sebagai warisan bagi umat
mendatang, membangun peradaban yang penuh kedamaian, kebahagiaan, serta diikat
oleh ilmu pengetahuan yang mencintai semua aspek kemanusiaan.
Bisakah Islam mengentaskan semua ketidakberdayaan,
mengubah barisan umat menjadi parade para dermawan yang memiliki kepedulian
untuk membangkitkan sesamanya demi masa kini dan masa depan yang sama-sama
indah? Bisakah umat memiliki gerak bersama, tidak menindas sesama, teguh
seperti karang saat ditawari segepok uang hasil korupsi, serta menyebar
kebaikan dalam setiap inchi kehidupannya? Bisakah agama menjadi nilai-nilai
untuk menjaga manusia agar tidak tamak dan serakah pada sesamanya, menjadi
cahaya yang menerangi banyak orang di sekitarnya?
“Om, bisa minta sodakoh?” beberapa anak berbaju kotor datang mengerubungi saya.
Kali ini saya tak bisa berkata apa-apa. Ada banyak getir di hati saya.
Bogor, 25 Desember 2015
3 komentar:
Fenomena di semua makam keramat
iya nih. saya juga menemukan hal yang sama di beberapa makam keramat lain.
Berpikiran positif aj,mungkin bisa jadi pengemis tersebut wali majdub yang menyamar untuk menguji keiklasan hati kita.
Posting Komentar