DI
ajang Kompasianival 2015, saya sangat bahagia bisa bersua Seno Gumira
Adjidarma, penulis yang saya koleksi hampir semua karya-karyanya. Beberapa
cerpennya menancap kuat di benak saya, mulai dari Sepotong Senja untuk Pacarku,
Pelajaran Mengarang, hingga Sebuah Pertanyaan untuk Cinta. Saya juga menyenangi
novel yang dibuatnya, mulai dari Jazz, Parfum dan Insiden, Atas Nama Malam,
Kitab Omong Kosong, hingga Naga Bumi: Jurus Tanpa Bentuk.
Saya
mengagumi produktivitas serta kemampuannya menulis. Pengarang ini bisa menulis
dalam beragam genre dengan kadar yang sangat memikat. Mulai karya sastra
seperti cerpen, novel, catatan perjalanan, catatan ringan, reportase, hingga
opini. Reportasenya yang paling saya sukai adalah perjalanan menelusuri jejak
Wali Songo, para penyebar Islam di tanah Jawa. Ia menyajikannya dengan sangat
menarik, padahal ia sendiri seorang pemeluk Kristiani. Saya juga suka karya
ilmiah yang ditulisnya. Terakhir saya membaca disertasinya tentang Panji
Tengkorak. Sungguh memikat.
bersama Seno |
Hampir
semua penghargaan di bidang kepenulisan telah diraihnya. Bahkan, ia berani
menolak penghargaan bergelimang uang yakni Ahmad Bakrie Award sebagai bentuk
empati atas korban lumpur Lapindo. Ia juga punya fans di mana-mana, salah satu
di antaranya adalah Pramoedya Ananta Toer, yang menggemari cerpen Penembak
Misterius. Semua puncak kepenulisan telah diraih Seno. Hanya saja, ia belum
bisa menghasilkan satu masterpiece yang memberi kontribusi bagi tanah air,
sebagaimana diakukan Pramoedya dalam karya-karya tetralogi Pulau Buru, yang
meluruskan arah sejarah kebangkitan nasional.
Satu
lagi, di ajang Kompasianival 2015 yang merupakan ajang kopi darat para blogger
terbesar di tanah air, ia justru tak begitu populer. Ia tak banyak dikenal.
Saya menyaksikan sendiri bahwa tak banyak blogger yang lalu lalang, yang
menyempatkan diri untuk sekadar berjabat-tangan atau berpose dengannya. Saya
juga menyesalkan panitia Kompasianival 2015 yang tak menyediakan panggung besar
untuknya. Aneh, di ajang pertemuan para penulis, panggung besar malah diberikan
kepada Fatin, seorang penyanyi jebolan ajang pencarian bakat. Bukan berarti
saya menolak Fatin, namun di ajang yang mempertemukan para penulis, Seno harus
diperlakukan seperti raja yang harusnya berbagi kiat-kiat menulis serta
menggoreskan pedang kata di kanvas aksara.
Saya
juga memikirkan hal lain. Apakah ini gejala kalau kita meminggirkan sastra yang
sejatinya memanusiakan kita semua? Ataukah kita lebih terpukau dengan hal-hal
glamour dan penuh riuh tawa, lalu mengabaikan suasana sublim, reflektif, serta
kejernihan yang justru menjadi sahabat karib para penulis? Atau bisa juga ini
pertanda kalau minat baca, minat menjelajah di dunia kata, ataupun hasrat
mengenali para penulis besar di tanah air semakin terikis perlahan-lahan. Jika
fenomena ini benar, boleh jadi, Seno akan menjadi museum yang hanya dikenang
sedikit orang. Entah.
Apapun
itu, di mata saya, Seno Gumira Ajidarma adalah dewa. Ia adalah panutan bagi dunia
sastra dan dunia kepenulisan tanah air. Dahulu, saya sempat bersedih karena tak
sempat berpose dengan pengarang Pramoedya. Namun rasa sedih itu sedikit
terobati karena telah berpose dengan Seno, berjabat tangan dengannya, serta
berbincang dengan lelaki yang kharismanya seperti seorang pendekar senior di
jagad persilatan. Dengan rambut putihnya, ia seperti seorang suhu di rimba
kepenulisan. Ia serupa Pendekar Tanpa Nama, seorang pendekar tak terkalahkan
dalam kisah Naga Bumi yang ditulisnya.
Jakarta, 13 Desember
2015
7 komentar:
Saya juga hadir di acara itu...cuma berani bersalaman saja..sayang memang kehadiran penulis sekaliber beliau, nyaris terabaikan
Kukira tulisannya sudah cukup mempengaruhi pemikiran kaum muda ( yang membacanya )
silaturahmiku dikit banget ma kawan2 kemarin... termasuk ma bang yusran...ah cmn ngobrol bentar, padahal banyak ilmu yg mestinya bs kuserap langsung.... smg ada kesempatan bertemu lg...
Iya sih. Harusnya mendapat panggung besar.
betul. dan saya adalah salah satu yang dipengaruhinya.
Kmarn, abang Raheb kebanyakan fans. makanya gak sempat ngomong banyak.
Wah, senang sekali rasanya bisa bersua (ditambah berjabat dan berfoto) dengan beliau Pak Seno (Sukab) Ajidarma. "Sepotong Senja untuk Pacarku", "Pelajaran Mengarang" saya kira memang sulit buat hilang di kepala, juga cerita "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi", Pak. Hehehe
Oya, mengenai peristiwa atau mungkin sikap panitia terhadap beliau yang tidak menyediakan panggung untuknya--melainkan kepada Mba Fatin--itu saya rasa amat disayangkan betul, Pak.
Posting Komentar