Manuver Terakhir Setya Novanto


ilustrasi yang dibuat Yuyun Nurachman, sebagaimana dimuat Tempo, edisi 7 - 13 Desember 2015

JIKA politik, sebagaimana dikatakan Erving Goffman, ibarat panggung pertunjukan yang terdiri atas panggung depan sebagai tempat lakon dimainkan, serta panggung belakang sebagai tempat semuanya dipersiapkan, maka apakah gerangan peran yang akan dimainkan Setya Novanto dalam waktu dekat ini?

Jika dalam berbagai kasus ia selalu lolos, apakah dalam peristiwa ‘papa minta saham’ ini dirinya akan kembali lolos? Apakah kartu-kartu yang sedang dimainkannya? Siapakah yang paling diuntungkan dan dirugikan dalam kasus ini?

Marilah kita telaah berbagai lakon yang dimainkan politisi di jagad bernama politik Indonesia, lakon politik yang telah menjadikan semua liputan media dan kicauan di media sosial sebagai pengecoh perhatian dari kerja-kerja politik di dunia yang remang-remang.

***

DARI satu ruangan di gedung DPR RI, Setya Novanto nyaris tak pernah istirahat. Ia sibuk memperhatikan tayangan televisi yang sedang menampilkan suasana ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dicecar oleh anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Seorang teman menuturkan, kalau ekspresi Setya datar saja. Ia sedang memikirkan berbagai kartu politik yang akan dimainkannya.

Ia tahu, keputusan politik MKD tak banyak celah hukum yang bisa menjeratnya. Hanya saja, sikap Kejaksaan Agung yang masuk dalam kasusnya bisa menjadi bumerang bagi banyak hal. Setya sedikit geram lantaran beberapa kartu yang hendak dimainkan telah terendus oleh lawan politiknya. Ia berhadapan dengan pemain yang koppig, bahasa lain dari keras kepala.

Di depan panggung, Setya Novanto akan menolak semua tuduhan dan tudingan, sembari menyatakan dirinya sedang dizalimi. Tapi di belakang panggung ia menyiapkan berbagai siasat dan strategi untuk keluar hidup-hidup dari persoalan yangs sedang menjeratnya.

Kartu yang dimainkan Setya tak bergeser jauh dari apa yang sebelumnya saya prediksi. Pertama, ia memberikan klarifikasi bahwa dirinya tidak melakukan permufakatan jahat. Kedua, ia segera membentuk lingkar inti yang kemudian menjadi basis pertahananya. Sejumlah tokoh elite Koalisi Merah Putih (KMP) telah dilobinya untuk menjadi prajurit yang akan menamninya memasuki palagan pertempuran.

Ketiga, kuasai semua media, lalu turunkan sejumlah ‘prajurit’ untuk mengaburkan wacana sekaligus menyerang Sudirman Said. Peran-peran ini dimainkan sejak awal oleh Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Keduanya ibarat Lionel Messi dan Neymar di tim Barcelona yang bisa memorak-porandakan pergerakan lawan. Keduanya menghadirkan wacana lain kalau sesungguhnya kasus ini hanya kasus ecek-ecek yang tak harus disikapi dengan serius. Tak hanya duet Fadli-Fahri, beberapa cyber armies atau pasukan di media sosial juga disiagakan untuk membidik Sudirman. Lewat serangan atas dan bawah, diharapkan publik akan mendung Setya yang sedang dizalimi oleh Sudirman yang disokong Freeport.

Keempat, ia membangun lobi dengan beberapa pihak. Ia sempat mendekati semua anggota MKD agar bersetia dengannya. Lagi-lagi ia tak begitu berhasil. Tawarannya yang menggiurkan malah ditampik. Setelah lobinya ditolak Jusuf Kalla, ia lalu memaksimalkan Aburizal Bakrie untuk melobi Sudirman Said agar menarik gugatan. Sayangnya, lobi itu gagal total. Hanya saja, Aburizal dengan cepat menarik anggota MKD dari Golkar dan menggantinya dengan loyalis Setya. Sayang, ketiga orang yang ditunjuknya tak punya kemampuan lobi dan membangun jaringan. Ketiganya tipe penyerang di berbagai sidang, yang justru menjadi bulan-bulanan publik

Kartu terakhir yang dimainkan Setya adalah sesegera mungkin melobi presiden. Ia memilih ‘menyerahkan leher’ ketimbang membayangkan karier serta jejaknya di dunia politik akan porak-poranda. Ia akan menawarkan konsesi akan menjadi pengabsah semua kebijakan pemerintah, keputusan yang pasti akan disesali oleh Fali dan Fahri, namun paling tepat untuk menyelamatkannya. Ia akan melobi pihak istana agar mebatalkan semua gugatan pidana yang bisa menjeratnya.

Namu sanggupkah ia menembus istana saat Luhut Panjaitan, sosok yang sering disebutnya, juga tersandera oleh kalimat-kalimatnya?

***

SEBAGAIMANA pernah dicatat oleh petinggi Google, Eric Schmidt, dalam buku The New Digital Age (2014), pada era sekarang, publik dengan gampangnya mengecek reputasi dan integritas seseorang melalui kanal pencari di internet. Setya alpa melihat bahwa saat dua sosok terlibat dalam tengkar wacana, publik akan lebih melihat track-record serta integritas. Publik lebih suka menelusuri rekam jejak serta apa yang dilakukan dua pihak itu di masa silam. Saat rekam jejak Setya dan Sudirman ditelusuri, terpampanglah kenyataan yang serupa bumi dan langit. Inilah yang menjadi pembeda keduanya, yang lalu mempengaruhi dukungan publik.

Google mencatat Setya sebagai sosok pemilik reputasi yang licin dan selalu lolos dari berbagai kasus-kasus besar, seperti pengalihan hak tagih Bank Bali, penyelundupan beras dari Vietnam, korupsi PON Riau, pengadaan e-KTP, dan penyelundupan limbah beracun B-3. Hampir tak pernah terdengar nama Setya untuk sesuatu yang terkait integritas Ia sepi dari liputan tentang prestasi serta warisan bagi peradaban.

Sementara Sudirman justru mentereng dalam banyak hal. Sosok ini disebut-sebut sebagai pendiri Masyarakat Transparasi Indonesia (MTI) yang mendedikasikan dirinya untuk melawan korupsi. Ia meletakkan cikal-bakal organisasi yang kemudian tumbuh menjadi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sudirman juga menjadi orang yang paling dipercayai cendekiawan Muslim yakni Prof Nurcholish Madjid. Bahkan saat guru bangsa itu meninggal, ia meminta Sudirman menggantikannya sebagai rektor Universitas Paramadina. Ia relatif bersih dan tak pernah dikaitkan dengan kasus apapun.

Dengan perbandingan seperti ini, apakah publik akan mendukung Setya ketimbang Sudirman? Nampaknya tidak. Dari sisi integritas dan rekam jejak, Setya bukanlah tandingan Sudirman. Maka membangun wacana tentang “permainan Sudirman” di Freeport jelas salah besar. Demikian pula wacana kalau Setya dan pengusaha Riza Chalid sedang memperjuangkan kepentingan negara akan terdengar sangat lucu bagi publik yang tak menemukan prestasi atau sikap mereka atas kepentingan bangsa. Jelas terlihat di media kalau pendukung Setya kesulitan menyusun rangkaian argumen yang meringankan Setya dalam rekaman “papa minta saham.” Yang bisa dilakukan adalan menyerang Sudirman dan mengaitkannya dengan Freeport. Ini celah yang paling memungkinkan.

Langkah ini tak juga tepat sasaran. Sosok Sudirman cukup piawai menjelaskan argumentasi dari semua pilihan-pilihan politiknya. Malah saat dituduh melanggar hukum di sidang MKD, ia balik menantang agar ditunjukkan di sisi mana kesalahannya. Ia seorang gentleman yang siap berdebat. Sikap ini beda jauh dengan Setya yang memilih untuk bermain di belakang layar, dan menyaksikan kerja-kerja prajuritnya yang gagal untuk meyakinkan publik. Bahkan memimpin sidang dewan pun ia tak juga berani. Publik punya catatan berbeda dari apa yang direncanakannya.

Tapi kekuatan Setya adalah kemampuan membangun jejaring politik yang lalu digunakannya untuk membanun barisan kokoh. Kembali, ia kecele. Beberapa partai, anggota KMP, mulai ‘mencium’ aroma kesalahan pada kasusnya. Partai, yang sejak dulu bersikap pragmatis, jelas berhati-hati untuk menyatakan dukungan pada dirinya.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah mengevaluasi pilihan politik yang taklid buta pada semua yang dijalankan KMP. Partai ini bisa membaca kalau dukungan pada Setya tidak akan membawa manfaat pada partainya, malah akan semakin membuat partai itu terpuruk sebab mendukung seorang politisi yang meminta saham pada korporasi.

Partai ini memilih sikap yang realistis, bahwa mendukung Setya sama halnya dengan mengkhianati sikap rakyat kebanyakan, yang jelas bisa berimplikasi pada tergerusnya dukungan publik di ajang pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) di banyak daerah. Demi menyelamatkan pilkada, langkah ini bakal diikuti oleh partai-partai lain, kecuali Golkar.

***

Di atas kertas, posisi Setya jelas di ujung tanduk. Dengan posisi sebagai Ketua DPR yang mulia, polemik yang memperhadapkan dirinya dengan seorang menteri jelas tak akan mendongkrak namanya. Seharusnya, ia berhadapan dengan presiden, membangun posisi tawar, lalu mengendalikan politik dari Senayan. Tapi yang terjadi adalah ruang gerak Setya malah mengecil, serta semakin kehilangan arah.

Apapun ending dari lakon ini, semuanya tak menguntungkan bagi Setya. Jika lolos dari sanksi MKD, sebagaimana telah diprediksi banyak kalangan, ia akan menerima sanksi yang jauh lebih berat. Ia telah kehilangan nama baik, integritas, serta dedikasi pada negara sebab publik terlanjur mencap negatif sikapnya saat melobi saham dan mencari keuntungan pribadi.

Ia akan menerima sanksi sosial, berupa hilangnya kewibawaan. Hukuman ini jauh lebih memalukan, sebab bisa berakibat pada sikap apatisme serta munculnya rasa tidak percaya kepada dirinya. Di panggung depan politik, ia masih bisa menampilkan diri sebagai figur yang membela kepetingan rakyat, tapi ingatan publik segera mencurigai perannya di panggung belakang. Publik akan langsung menautkan berbagai kepingan informasi tentang perannya yang mencari celah untuk kepentingan pribadi, dengan memanfaatkan posisinya sebagai Yang Mulia Ketua DPR RI.

Secara politik, pergerakan Setya akan semakin ‘terkunci.’ Tindakan Sudirman yang membawa rekaman percakapan Setya ke panggung depan politik telah mematahkan sayapnya untuk terjerembab ke bumi. Ruang-ruang gelap yang dibangunnya bersama pengusaha Riza Chalid telah dibuat terang-benderang sehingga dirinya, dengan sangat terpaksa, akan membatasi sendiri semua langkahnya, jika ingin selamat. Maka semakin berkuranglah jumlah ruang gelap yang semula ini mengatur republik ini.

***

FILSUF Marc Bloch pernah mengatakan, politik adalah soal bagaimana menempatkan posisi. Pemenangnya bukanlah siapa yang paling banyak berteriak, namun dia yang tenang dalam diam, mengamati satu per satu pergerakan lawan yang telah diatur lintasannya, lalu menunggu kapan saat yang tepat untuk melumpuhkan. Bukan soal siapa yang paling cepat melobi, namun siapa yang paling senyap, memetakan strategi, lalu menunggu saat yang tepat. Kuncinya adalah positioning.

Di ruang yang senyap itu, Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla menjadi dua sosok yang akan menentukan ending dari segala drama ini. Keduanya cukup berdiam diri saat Setya harus berjumpalitan dan melakukan segala cara untuk lolos dari tengkar politik yang semakin memanas ini. Keduanya menyaksikan dengan tenang, sembari menandai garis-garis yang tak mungkin dilalui Setya. Dengan cara yang cerdik, keduanya akan menentukan kapan saat tepat untuk segera menghentikan kegaduhan politik ini, lalu mengunci Setya pada satu lingkaran yang tak mungkin bisa dilewati.

Kasus ini ibarat sorot lampu yang mencerahkan publik tentang siapa yang sedang bekerja, dan siapa yang sedang bermain dengan api. Tanpa perlu mengeluarkan belanja iklan, publik langsung tahu bahwa ada permainan belakang layar yang dimainkan Setya sehingga sikap-sikap politiknya harus selalu diragukan. Ahli siasat Sun Tzu pernah berkata, “Kenali dirimu, kenali lawanmu, maka kamu akan memenangkan pertempuran.”

Nah, kita bisa mengajukan satu pertanyaan. Bisakah seseorang memenangkan pertempuran ketika pihak lain tahu persis apa siasat serta permainannya di balik layar? Barangkali Sun Tzu akan tersenyum.


7 Desember 2015

BACA JUGA:







0 komentar:

Posting Komentar