Seusai Mengajar di Tanjung Pinang


di depan masjid bersejarah di Pulau Penyengat

BERKAT catatan-catatan lepas di blog ini, saya mendapat undangan untuk memberikan kuliah singkat di Universitas Maritim Raja Ali Haji (Umra) di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Perjalanan ke wilayah yang hanya sepelemparan batu dari Malaysia dan Singapura itu menghadirkan banyak berkah. Tak sekadar berkunjung ke Pulau Penyengat dan bisa melihat beberapa obyek wisata, tapi juga bisa mendapatkan teman-teman baik yang menawari saya untuk pindah dan berkarier di kampus negeri itu.

***

DI banyak kampus besar di Jawa, upaya mengasah nalar dan intelektualitas kerap menjadi rutinitas yang menjemukan. Generasi di kampus-kampus besar hanya dilatih untuk menjadi para penghafal berbagai teori, para pengejar nilai yang disiplin, serta generasi yang tak ‘melumuri tangannya’ dengan realitas sesungguhnya. Kampus memapankan rutinitas. Mahasiswa mengejar nilai, kandidat doktor mengejar publikasi jurnal, dosen mengejar status dan kenaikan pangkat, para peneliti sekadar mencari proyek, sedang kampus mengejar akreditasi hebat.

Kampus kehilangan satu gairah atau passion akademik dikarenakan semuanya jadi rutinitas. Tapi di kampus-kampus luar Jawa, kerap kali saya temukan situasi yang berbeda. Beberapa kampus serupa kembang yang baru saja tumbuh dan hendak menampakkan warna cerahnya. Kampus-kampus itu mulai menata ulang kelembagaan, membangun visi yang jauh ke depan, lalu menanam harapan melalui sumber daya pengajarnya yang sedang diasah.  Saya berharap kampus-kampus baru itu tidak mengikuti jejak kampus besar yang terlanjur mapan.

Saat menerima undangan untuk memberikan kuliah di Tanjung Pinang, saya antusias menyambutnya. Saya merindukan iklim kampus yang serba baru, di mana para pengajar dan mahasiswa sama-sama menganyam mimpi yang sama. Saya merindukan kampus yang menjadi taman ilmu dan kearifan. Maka berkelanalah saya ke Tanjung Pinang.

Memang, saya melihat ada keterbatasan. Tapi saya merasakan sendiri ada semangat dan idealisme untuk menjemput masa depan yang lebih baik. Minimal kampus bisa punya kontribusi bagi dunia sekitar, bisa mencerahkan masyarakat melalui ilmu pengetahuan, bisa memberikan makna. Melalui beberapa anak muda yang jadi pengajar, ada banyak harapan bersemi di kampus itu bahwa kelak akan menjadi gerbang ilmu pengetahuan yang mengubah dunia menjadi lebih arif.

***

PIHAK kampus memiliki jadwal rutin untuk mendatangkan pengajar dari luar demi menstimulasi mahasiswanya dengan gagasan-gagasan baru. Pengajar di kampus itu semata-mata memikirkan bagaimana menghadirkan sesuatu yang dianggap lebih dibutuhkan oleh mahasiswa. Sebelum saya, kampus mengundang Eko Prasetyo, penulis buku Orang Miskin Dilarang Sakit, dan buku Orang Miskin Dilarang Sekolah. Jika Eko diminta mengisi materi mengenai kapitalisme global serta dampaknya di tanah air, saya mendapatkan topik yang agak ringan.

saat mengajar

Saya diminta mengajari mahasiswa tentang bagaimana menulis kreatif yang bisa meningkatkan kapasitas mereka di ruang akademik. Syukur-syukur, kalau seusai diskusi, para mahasiswa terinspirasi untuk menulis buku. Bukankah buku adalah mahkota bagi kaum intelektual?

Sebagaimana biasa, saya selalu mengemasnya sebagai materi tentang bagaimana menemukan passion serta minat pada kenyataan sekitar, lalu membingkainya dalam aksara. Topik ini kelihatan simpel, tapi sesungguhnya tidak mudah. Saya dituntut untuk bisa lebih partisipatif, lebih engaging dengan mahasiswa, serta lebih dekat demi memahami apa saja hal-hal menarik yang diketahui mahasiswa, dan dianggap layak untuk dijerat dalam kata.

***

Di kota yang dikenal sebagai Negeri Gurindam Dua Belas itu, saya ditemani dua pengajar muda yakni Alfiandri dan Wayu. Keduanya mengajar di program Administrasi Negara. Keduanya mantan aktivis yang gelisah ketika menemui ketidakadilan. Saat bertemu mereka, saya mendengarkan kegelisahan mereka pada hal-hal yang dianggap tidak adil. Yang mencengangkan, mereka tak mau sekadar mengeluh. Mereka melakukan langkah-langkah kecil untuk perubahan. Salah satunya adalah mengundang orang luar untuk berdialektika.

Alfiandri menginginkan agar kampusnya memiliki satu karakter yang kuat. Kosa kata maritim tidak sekadar disematkan begitu saja sebagai nama kampus, tapi harus menjadi sukma yang menggerakkan semua aktivitas perkuliahan. Maritim harus menjadi sungai filosofis yang mengaliri semua sungai-sungai pengetahuan.

Sedangkan Wayu banyak bercerita tentang bagaimana nasib kampus-kampus yang baru merintis, namun tiba-tiba dipaksa untuk satu jalur dengan kampus besar seperti UGM dan UI. Padahal, kampusnya belum lama berdiri. Bahkan kampus itu masih mengimpor beberapa dosen dari kampus lain, dan diharapkan bisa menata kelembagaan. Dosen impor itu digaji dengan anggaran yang cukup mahal.

Kata Wayu, harusnya, ada kebijakan khusus yang memahami kondisi di daerah, terus ada upaya untuk mengatasinya secara perlahan-lahan. Satu idenya yang saya sukai adalah perlunya menyebar profesor ke berbagai penjuru tanah air secara berkala. “Profesor hanya identik dengan satu kampus. Akan sangat baik kalau pemerintah memiliki regulasi untuk ‘menggilir’ para profesor ke banyak kampus, agar terjadi transformasi yang seimbang di banyak tempat tanah air,” katanya.

Saya rasa ide ini brilian, sebab seharusnya para guru besar menjadi milik bangsa, bukannya milik satu institusi. Mudah-mudahan di masa depan, kita tidak lagi bicara gap antar universitas, sebab semua guru melakukan transformasi pengetahuan di mana-mana, dan semua siswa mendapatkan kualitas pengajar yang sama. Lagian, amanah universitas tidak sekadar pengajaran, tapi juga penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Nah, harusnya para profesor bisa turun gunung dari kampus besar, lalu menyebar ke banyak tempat untuk mencerahkan pengetahuan.

Selalu membahagiakan bisa berdialog dengan dua sahabat muda ini. Setiap ada kesempatan, kami akan berdiskusi dan membahas berbagai hal. Kami mengunjungi banyak lokasi, menyaksikan hal-hal menarik, sembari terus berdiskusi. Saya tidak saja menemukan kawan diskusi yang menyenangkan, tapi juga me-refresh banyak pengetahuan baru yang bisa memperkaya wawasan.

Dalam banyak kesempatan, keduanya mengajak saya untuk pindah ke situ. Mereka menjelaskan tentang kebutuhan kampus itu di masa mendatang, serta prospek wilayah itu yang terus bertumbuh. Kepada mereka, saya belum bisa menjanjikan apa-apa. Bagaimanapun juga, soal pindah tempat karier bukanlah perkara sederhana. Saya mesti mendengarkan bagaimana pendapat keluarga, serta istri yang selalu ikhlas menemani saya ke manapun bergerak. Tapi saya punya harapan kuat agar kelak bisa bersama dua sahabat hebat itu. Semoga.

***

Di hadapan saya, ada puluhan mahasiswa Unram. Saya berharap bisa menemukan ide serta gagasan, kemudian mengalirkannya ke berbagai kanal kepenulisan. Dunia kepenulisan ibarat air jernih yang berdiam di dalam sebuah sumur. Semua orang memiliki akses serta kesempatan yang sama untuk menimba air dari sumur itu. Hanya saja, tak semua orang memiliki kemampuan untuk mengulurkan tali lalu menimba mata air gagasan tersebut.

di makam Raja Ali Haji

Para mahasiswa itu sedang berlatih untuk menemukan satu cahaya demi menelusuri gagasan-gagasan penting yang tersimpan di gua-gua kenyataan. Mereka mesti dibangkitkan rasa percaya dirinya bahwa mereka sanggup menghasilkan sebuah kerja kepenulisan, sesuatu yang sebelumnya dianggap sukar.

Saya menemukan antusiasme hebat. Para  mahasiswa itu dengan penuh semangat bercerita tentang kisah-kisah yang menginspirasi mereka, setelah itu, mereka sangat senang ketika diajak bercerita tentang segala hal yang menarik di sekitarnya. Meskipun cuma sehari di kampus itu, saya berharap bisa memiliki jejak di hati para mahasiswa itu.

Beberapa hari setelah mengajar di kampus itu, saya sering menerima email dari beberapa mahasiswi yang mengajak saya untuk berdiskusi berbagai topik. Seorang di antaranya mengirimkan pesan singkat yang membahagiakan.

“Dear kakak yang baik. Terimakasih telah menguraikan ketakutan-ketakuan saya dalam mengalirkan gagasan. Terimakasih karena telah memberikan larik cahaya untuk melihat di tengah pekatnya ketidaktahuan untuk mencari jalan di rimba kehidupan.”

Tiba-tiba saja, hati saya mekar. Mudah-mudahan suatu saat bisa kembali ke Tanjung Pinang. Amin.

2 Desember 2015

BACA JUGA:





0 komentar:

Posting Komentar