ilustrasi |
SAYA mencatat tahun 2015 sebagai tahun
yang penuh perjalanan. Sepanjang tahun saya berkunjung ke hampir semua
pulau-pulau besar di tanah air. Meskipun perjalanan itu melelahkan, saya selalu
berusaha untuk meng-update pengetahuan dengan cara membaca sebanyak-banyaknya.
Saya selalu tak punya target dalam membaca. Hanya saja, seiring dengan rasa
ingin tahu yang terus mendesak, maka membaca menjadi kewajiban.
Ada tiga keuntungan yang saya harapkan
ketika membeli buku. Pertama, intellectual
benefit (keuntungan intelektual). Saya berharap membaca bisa membawa
pencerahan atau minimal cara-cara baru memahami persoalan. Kedua, emotional benefit (keuntungan
emosional), yang mencakup aspek-aspek emosi yang mengayakan jiwa dan kepekaan
perasaan terhadap orang lain. Ketiga, spiritual benefit (keuntungan spiritual),
yakni harapan untuk melihat zaman dan peradaban yang lebih baik, keinginan
untuk menyerap hikmah, lalu membaca masa depan.
Mulai tahun 2015, saya rajin membaca National Geographic serta edisi Traveler. Saya menyukai gaya menulis
sains serta laporan perjalanan yang dikemas dengan sangat menarik. Gaya menulis
di majalah ini adalah kombinasi antara etnografi dan reportase investigatif,
dua gaya menulis yang sangat saya sukai. Saya juga suka foto-foto dahsyat yang
dengan melihatnya sekilas, kita bisa merasakan selaksa makna di baliknya.
Dengan membaca National Geographic, rasa haus atas pengetahuan akan pengetahuan
langsung terpuaskan.
Tak hanya itu, saya juga berusaha membeli
buku-buku baru, lalu menuliskan catatan. Memang, saya tak selalu mengikuti
semua buku, sebab postur keuangan saya sangat terbatas. Saya hanya membeli
buku-buku tertentu yang menarik buat saya, atau dibahas oleh beberapa teman. Ada
beberapa buku yang spesial mengendap di benak saya. Saya mencatat beberapa di
antaranya:
Mata Air Keteladanan (Yudi Latif)
Buku ini saya simpan di daftar paling atas
yang saya sukai. Memang, buku ini terbit tahun 2014, tapi saya belum lama
membacanya. Bukunya sangat memikat. Di dalamnya ada kisah-kisah berbagai
manusia dan pelaku sejarah, yang dengan caranya sendiri-sendiri telah membumikan
Pancasila sebagai nilai hidup yang digali dari bumi Indonesia. Ia membedah
berbagai keteladanan dari para founding fathers seperti Sukarno, Hatta, Tan
Malaka, maupun Sjahrir, hingga beberapa pahlawan zaman sekarang, seperti
Rabiah, suster apung di pulau-pulau sekitar Pangkajene Kepulauan, Sulawesi
Selatan. Saya mengagumi ketelatenan Yudi mengumpulkan berbagai arsip dan
catatan tentang manusia-manusia tidak biasa ini, yang mengamalkan berbagai sila
dalam Pancasila, dengan caranya masing-masing.
Self Driving (Rhenald Kasali)
Sepanjang tahun 2015, saya membaca banyak
buku Rhenald Kasali, Tak hanya Self Driving, saya juga membaca Agility, Cracking Zone, yang terbaru Change Leadership Non-Finito. Buku yang
ditulis Rhenald selalu memberikan hikmah-hikmah dan pembelajaran yang bisa
diterapkan secara praktis. Saya menyukai padatnya pengetahuan yang semuanya
digali dari pengalaman. Rhenald mengajarkan saya pentingnya melihat kasus-kasus
demi menjelaskan bahwa setiap teori dalam ilmu manajemen terus berubah dan
berkembang. Ada teori yang tak memadai untuk mengamati satu kenyataan, namun
ada pula yang bersesuaian. Buku-buku Rhenald selalu bergizi tinggi dan bisa menggerakkan
motivasi.
Kuasa Jepang di Jawa (Aiko Kurasawa)
Mulanya, saya tertarik membeli buku ini
karena ketebalannya yang serupa kitab-kitab. Setelah membacanya, saya
tercengang atas kemampuan riset, mengumpulkan arsip sejarah, lalu melakukan
analisis atas semua catatan. Penulisnya, Aiko Kurasawa, membahas tentang masa
singkat pendudukan Jepang yang membawa dampak luas bagi Indonesia. Dikarenakan
kebutuhan Jepang untuk Perang Pasifik, masa singkat di Indonesia digunakan
seefektif mungkin untuk mengumpulkan sumber daya, sekaligus memobilisir para
pemuda, tokoh pergerakan, untuk membentuk angkatan perang. Di buku ini, saya
temukan bahasan menarik tentang bagaimana propaganda, serta pengaruh Jepang
pada pengaturan kelembagaan pemerintah hingga level Rukun Tetangga (RT).
The Will to Improve (Tania Li)
Barangkali, inilah buku ilmu sosial paling
bagus yang saya baca di tahun 2015. Saya sempat membaca buku ini dalam edisi
bahasa Inggris, tapi terjemahan juga tak kalah memikat. Saya deg-degan saat
mengikuti alur argumentasi penulisnya yang memaparkan bagaimana pembangunan
dilaksanakan. Penulisnya, Tania Li, memaparkan data-data etnografis yang sangat memukau. Ia menunjukkan
bahwa sejak zaman kolonial hingga masa kini, pembangunan selalu saja menyisakan
perbedaan konsepsi antara pembangun dan yang dibangun. Dari dulu hingga
ini, pembangunan tak pernah membawa kemakmuran. Sebab niat baik untuk membangun
(the will to improve) selalu membawa kesengsaraan sebab program itu sendiri tak
pernah bebas nilai. Pihak pembangun selalu merasa lebih tahu apa yang sedang
dilakukan, lalu memosisikan masyarakat sebagai ruang kosong yang harus diisi,
serta tak perlu didengar keinginannya. Buku yang sangat layak dibaca.
Identitas dan Kenikmatan (Ariel Heryanto)
Ini juga buku berlatar ilmu sosial dan
cultural studies yang paling saya sukai di tahun 2015. Saya sangat menikmati
uraian penulisnya yang renyah tentang bagaimana kaum muda perkotaan merumuskan
ulang identitas mereka pada dekade abad ke-21. Buku ini menarik sebab
memaparkan benak kaum muda kita yang serupa kanvas putih, yang lalu dihiasi
dengan berbagai warna-warni yang merupakan representasi dari berbagai ideologis
dan budaya pop. Di kanvas itu, terdapat tarikan kuat globalisasi dan tafsiran
lokalitas, dan juga terdapat tarikan rezim yang hendak merekayasa sejarah. Bagi
saya bab-bab terbaik adalah bab yang membahas bagaimana rezim merekayasa
peristiwa 1965 dan menjejalkannya dalam budaya layar demi mengendalikan pikiran
kaum muda. Membaca bagian ini serasa mengingat kembali tesis saya tentang
mereka yang dituduh komunis dan berusaha bertahan. Sangat menarik.
Nasionalisme, Laut, dan Sejarah (Susanto Zuhdi)
Tema-tema sejarah dan laut selalu menjadi
minat saya belakangan. Apalagi, penulis buku ini, Prof Susanto Zuhdi, adalah
pembimbing tesis saya di Universitas Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan
tulisan yang memiliki satu benang merah yakni nasionalisme, laut, dan sejarah.
Saya menyukai argumentasi penulisnya yang mengatakan bahwa kemunduran bangsa
ini disebabkan oleh sikap yang ‘memunggungi lautan.’ Ia lalu mengeksplorasi
sejarah, tradisi kelautan, kearifan bahari yang dahulu menjadi tulang punggung
berbagai etnik dan budaya. Agak terkejut juga karena penulisnya menyebut nama
saya serta mengutip tesis yang saya buat. Hehehe.
Saving the World: A Brief History of Communication for Development and
Social Change (Emile G. McAnany)
Di tahun 2015, saya membaca beberapa buku
teks kajian komunikasi. Saya beruntung sebab seorang kawan di Amerika Serikat
mengirimkan saya tiga buku menarik. Selain buku Saving the World, ia juga mengirimkan buku Evaluating Communication for Development: A Framework for Social
Change. Saya juga masih berjuang untuk menghabiskan satu lagi buku Communication Power yang dibuat Manuel
Castells. Nampaknya, kajian-kajian komunikasi terus mengalami pergeseran, hanya
saja tak semua kampus di tanah air bisa meresponnya dengan cepat. Kebanyakan
kampus hanya fokus pada jurnalistik, media studies, dan public realtions.
Padahal, ada banyak perkembangan baru. Yang mendesak adalah perlunya pendekatan
multi-disiplinier dalam memahami komunikasi, serta perlunya menguatkan aspek
emansipatoris pada kajian itu.
Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Kemiskinan (Lies Marcos)
Yang saya sukai dari buku ini adalah
hadirnya suara-suara dari kaum perempuan di berbagai pelosok. Buku ini berbeda
dengan kajian perempuan lain yang terasa kering sebab membahas perempuan dari
perspektif peneliti. Buku ini merekam suara, serta memosisikan para perempuan
sebagai subyek utama yang berkisah tentang dunianya yang sering diposisikan
tidak adil. Buku ini semakin bertenaga karena hadirnya foto-foto yang dibuat
foto yang dibuat Armin Hari, yang tak hanya membuat buku semakin berwarna, tapi
juga bisa menyampaikan banyak makna dari sisi lain. Bab-bab dibuat meengalir,
dan di akhir bab selalu ada catatan refleksi yang berisi pembelajaran serta
rekomendasi apa yang harus dilakukan. Saya merasa senang bisa mengoleksi buku
yang dijual agak mahal ini.
Wow Selling (Hermawan Kertajaya)
Di tahun 2015, saya juga rajin membaca
buku-buku yang ditulis Hermawan Kertajaya. Saya menyukai gaya menulisnya yang
mengalir serta produktivitasnya melahirkan buku-buku bagus. Saya menyukai topik
tentang Marketing 3.0 sebab tidak menekankan pada penjualan, melainkan pada pentingnya
membangun relasi dan hubungan emosional dengan siapa saja. Hermawan adalah guru
marketing yang selalu belajar hal baru, memperkaya pengetahuannya, lalu
menerapkannya dalam berbagai krisis yang dihadapi berbagai produsen. Melalui
proses belajar ituah, Hermawan bisa terus eksis dan mengembangkan ilmu
pemasaran.
Cahaya, Cinta, dan Canda M. Quraish Shihab
Dari beberapa biografi yang saya baca,
biografi Quraish Shihab ini yang membekas di benak saya. Yang hadir di sini
adalah gambaran tentang sosok ulama yang pada dasarnya manusia biasa,
sebagaimana orang lain. Ia lahir di Sidrap, dari ayah keturunan Arab, dan ibu
asli orang Bugis. Ia pernah bekerja sebagai penjaga kios milik ayahnya, suka
bolos dan nonton film Hollywood, hingga akhirnya mendapatkan beasiswa ke Mesir.
Di negeri fir’aun, ia menjadi penggila berat Real Madrid, dan terobsesi menjadi
pemain bola. Buku ini kian menarik sebab di dalamnya terdapat argumentasi
tentang beberapa hal kontroversial yang dituduhkan padanya. Apapun itu, Quraish
adalah aset tanah air kita.
Menerjang Badai Kekuasaan (Dhaniel Dhakidae)
Sejak membaca buku berjudul Cendekiawan
dan Kekuasaan yang ditulis Dhaniel Dhakidae, saya selalu ingin membaca apapun
yang ditulisnya. Selain kolom di jurnal Prisma, saya juga menyukai buku ini.
Buku ini tak biasa sebab memotret beberapa tokoh yang melawan kuasa. Mulai dari
Bung Karno dan Bung Hatta, hingga anak muda seperti Soe Hok Gie. Ada juga
bahasan tentang Pramoedya, serta gembong pencuri Kusni Kasdut. Semua pihak bisa
menjadi jendela untuk memahami banyak hal. Saya senang dengan argumentasi
mengapa ia menuliskan kumpulan biografi dari beberapa sosok. Ia mengutip C
Wright Mills dalam buku Sociological Imaginations yang menekankan keterkaitan
antara tiga aspek yakni biografi, struktur sosial, dan sejarah. Ketiganya
saling merasuk satu sama lain, sehingga memahami satu biografi bisa membawa
kita pada pemahaman atas sejarah dan struktur sosial.
Senja dan Cinta yang Berdarah (Seno
Gumira Adjidarma)
SEPANJANG tahun 2015, ada tiga buku karya
Seno Gumira Adjidarma yang saya koleksi. Selain buku Senja dan Cinta yang Berdarah, yang merupakan kumpulan semua cerpen
Seno sejak pertama mengarang di tahun 1970-an, hingga dua buku lain yang
merupakan kumpulan esai yakni Tak Ada
Ojek di Paris, serta Kartun dalam
Politik Humor. Saya menyukai kumpulan cerpen Seno sebab selalu ada rasa bahasa
yang khas di situ. Beberapa cerpen yang pernah membuat saya susah tidur adalah
Manusia Kamar Pelajaran Mengarang, Sepotong Senja untuk Pacarku, Atas Nama
Malam, dan Dodolit.. Doddolit..Dodolitbret. Pada setiap karya Seno, saya
menemukan butiran pelajaran berharga, empati yang kuat pada realitas sosial,
serta sisi lain kehidupan yang seringkali terabaikan oleh rutinitas yang
menjerat.
***
TENTU saja, buku di atas hanyalah 12 dari
beberapa yang saya koleksi dan baca. Saat mengamati koleksi buku, saya
menemukan satu hal penting yakni minat saya tak fokus pada satu aspek. Minat
saya merentang ke beberapa topik, mulai dari sains, ilmu sosial, filsafat, juga
sejarah. Saya justru menikmati bacaan yang tidak fokus itu, sebab saya bukan
akademisi yang memfokuskan diri pada satu kecakapan. Lagian, seorang akademisi
sekalipun dituntut untuk meluaskan perspektif, mengayakan pahaman, sehingga
bisa memahami sesuatu secara holistik.
Satu hal yang harus dicatat. Ketika
membaca buku, saya tak selalu membacanya sampai tuntas. Kadang-kadang, saya
memilih bagian-bagian tertentu yang saya anggap menarik, lalu meresepainya.
Saya pun belajar dari orang lain yang juga membaca buku itu. Saya berusaha menyiasati waktu yang menyempit oleh keharusan mengerjakan rutinitas, serta aktivitas mencari nafkah untuk keluarga.
Kebanyakan dari buku di atas telah saya
resensi di blog ini. Tujuannya bukan untuk menampilkan ‘kemewahan’ bacaan, tapi
semata-mata niatnya untuk berbagi ilmu, serta mendapatkan kesan dan komentar
dari orang lain yang juga tertarik membacanya.
Yang pasti, seusai membaca buku bagus,
saya selalu terkenang-kenang, dan terobsesi untuk melahirkan karya serupa.
Entah kapan bisa fokus untuk melahirkannya. Kali ini saya tak ingin apologi
atau pembelaan. Barangkali saya hanya bisa menanam obsesi bahwa kelak saya pun
bisa melahirkan sesuatu yang bisa mengendap di benak banyak orang, menggerakkan
pikiran, serta kelak bisa abadi dan menyapa berbagai generasi. Semoga.
Bogor, 27 Desember 2015
1 komentar:
Catatan yg mencerahkan
Posting Komentar