BARANGKALI, Pulau Simeulue di Nanggroe
Aceh Darussalam bukanlah destinasi wisata menarik bagi yang suka hiburan malam.
Selama berkunjung di sana, saya tak menemukan satupun tempat hiburan malam,
seperti bar, warung remang-remang, lapak-lapak penjual bir, hingga karaoke.
Lantas, apakah gerangan hiburan bagi warga di malam hari? Mereka ramai-ramai datang
ke warung kopi.
Orang Simeulue bisa tahan berbincang
hingga berjam-jam di warung kopi. Ditemani secangkir kopi Aceh, serta kue-kue,
mereka bisa bertemu banyak pihak yang berdatangan, memperkuat solidaritas serta
meng-update informasi. Entah kenapa, saya tiba-tiba saja melihat satu kekuatan
tradisi dalam dialog dan percakapan lepas, sebagaimana pernah disaksikan
Profesor Amartya Sen, peraih nobel ekonomi asal India, dalam buku Argumentative
Indian (2005). Yang mesti dilakukan adalah menyerap spirit warung kopi yakni
kesetaraan itu untuk menggerakkan banyak ide-ide besar tentang perubahan.
Mengapa tak lahir satu peraih nobel di
pulau kecil itu?
***
ANAK muda itu bernama Irda Kusuma. Selama
di Pulau Simeulue, ia menemani saya untuk berkunjung ke pulau-pulau kecil. Kami
selalu bertemu di warung kopi (warkop) sembari mencicipi kopi khas Aceh. Saat
di warung kopi, kami sama-sama menjadi “ahli hisap”, sebutan yang saya berikan
pada para perkokok. Bagi kami, kombinasi antara kopi dan rokok ibarat candu
yang bisa membuat kami tahan selama berjam-jam.
Di warkop kami memulai perjalanan.
Sepanjang perjalanan ke pulau, selalu saja kami singgah ke warkop. Tak hanya
itu, saat kembali dari perjalanan seharian, kami akan menghabiskan hari di
warung kopi. Selama di Simeulue, warung kopi menjadi tempat memulai dan
mengakhiri hari, tempat bertemu banyak orang, tempat untuk menyerap berbagai
informasi.
Suatu siang, kami singgah untuk ngopi.
Baru beberapa menit duduk, ada beberapa mobil dan motor yang parkir di depan
wakop. Saya melihat beberapa orang turun dengan mengenakan jas serta songkok.
Mereka mendatangi kami sembari tersenyum. Irda lalu berjabat tangan dengan
mereka, lalu berkata, “Selamat ya.” Saya belum tahu apa yang terjadi. Irda lalu
berbisik kalau pada hari itu ada pelantikan pejabat baru di lungkungan
Pemerintah Kabupaten Simeulue. Mereka yang berjas itu adalah para PNS yang baru
dilantik di posisi atau jabatan baru.
Bertambah lagi fungsi warkop. Bisa pula
menjadi tempat untuk merayakan pelantikan pejabat baru di lungkup PNS.
teh tarik plus telur serta pisang goreng khas Simeulue |
menuang kopi |
Warung kopi memang selalu identik dengan
komunitas. Demikian pula di Sumeulue. Irda bisa memetakan komunitas mana saja
yang singgah di warung kopi. Dia tahu persis di warkop mana para PNS suka
mangkal saat jam kerja. Ia tahu di mana para politisi atau kontraktor bertemu
dan bahas proyek dengan anggaran hingga miliaran rupiah. Ia juga tahu di warkop
mana para polisi suka duduk-duduk dan berbincang santai.
Tak hanya itu, para petani kopi, pekebun
cengkih dan peternak kerbau juga sama-sama bertemu di warkop. Mereka berbaur
dengan siapa saja, termasuk politisi yang sama-sama menikmati kopi dan melepas
kepulan asap rokok. Di warkop, saya benar-benar melihat satu ruang egaliter
yang menjadi simpul bagi semua kelompok. Semua sama-sama konsumen. Tak ada
kelompok yang dominan dan berkuasa di
wakop manapun.
“Di sini, warkop sekaligus tempat
hiburan. Sekali duduk, bisa berjam-jam. Bahkan laporan pekerjaan bisa
tertunda,” katanya terkekeh saat bercerita tentang laporan fasilitasi dan
profil pulau-pulau kecil yang dikerjakannya kerap terbengkalai. Tentunya, Irda tak sedang menyalahkan warkop.
Ia menjelaskan kalau di situ, ada banyak hal yang bisa terjadi, ada banyak
pertemuan, topik-topik baru yang menarik, serta kenikmatan merokok sembari
terpapar angin pulau yang sepoi-sepoi meniup. Ah, nikmatnya.
Hanya saja, warkop di Simeulue belum
dilirik oleh pemerintah ataupun praktisi gerakan sosial sebagai basis untuk
perubahan sosial. Idealnya warkop bisa menjadi embrio bagi demokratisasi di berbagai
lapangan kehidupan. Sebab tak ada yang dominan di situ, sehingga seharusnya bisa
dikelola menjadi ruang-ruang yang mempertemukan publik dan pemerintah, sembari
sama-sama berbincang tentang daerah di tengah kepulan uap harum kopi.
Di beberapa kota, seperti Makassar,
Surabaya, dan Jakarta, saya merasakan semangat kuat untuk berdialog di warkop.
Pengelola dialog amat bersemangat menggelar dialog publik di warkop, sebab bisa
diakses siapa saja, serta menjadi ruang yang mempertemukan banyak pihak.
Harusnya, warkop bisa didesain sebagai
pusat informasi tentang gerakan sosial yang dikemas dengan cara atraktif dan
menarik, sebagaimana pernah saya saksikan di satu warkop di Amerika
Serikat. Warkop harusnya menjadi tempat
menyalakan api revolusi, menyemai kesadaran tentang satu isu publik, lalu
menggalang dukungan semua komunitas untuk memulai perubahan sosial pada skala
yang lebih sederhana.
pantai di Simeulue |
Kembali, saya teringat pada buku Argumentative Indian yang ditulis Prof
Amartya Sen, peraih nobel ekonomi asal India. Dalam buku itu, Sen membahas
tentang tradisi debat publik dan keragaman pandangan di India yang kemudian
dijadikan sebagai basis untuk merancang perubahan sosial. Buku itu
menggarisbawahi pentingnya memahami seluruh semesta wacana tentang India pada
keseluruhan tradisi yang telah lama berurat akar dalam kebudayaan India.
Pemahaman atas dialog-dialog dan percakapan ini sangat penting untuk memahami
bagaimana India membangun fundasi demokrasi, memberantas kemiskinan, serta
memahami debat tentang kelas, kasta, gender, dan komunitas.
Bagi saya sendiri, tradisi yang disebut
Amartya Sen itu bukanlah sesuatu yang baru. Telah lama, tradisi bersilang kata,
berbalas pantun, berbalas syair serta duduk sejajar menjadi darah daging
kebudayan kita. Hampir semua budaya punya tradisi musyawarah di mana semua
pihak duduk bersama lalu mendiskusikan berbagai isu publik. Jika kita sama-sama
bersepakat bahwa demokrasi adalah nilai yang substantif dan bisa ditemukan
dalam budaya kita, maka sudah waktunya kita menghidupkan tradisi musyawarah dan
dialog di berbagai lapangan kehidupan.
Jika saja diskusi dan wacana warkop
merefleksikan pemikiran masyarakat kebanyakan, harusnya warkop bisa menjadi
sentrum untuk mengelola gerakan sosial. Harusnya warkop diposisikan sebagai public sphere (ruang publik) yang
digambarkan filsuf Jurgen Habermas. Tak ada satupun yang dominan sebab semua
dialog berlangsung egaliter dalam satu atmosfer komunikasi bebas dominasi.
Sayangnya, gagasan tentang warkop sebagai
pusat perubahan itu belum seberapa dilirik oleh para aktivis di Simeulue. Tapi
ini bukan sesuatu yang mustahil. Seiirng dengan semakin banyaknya cerdik
cendekia serta orang kritis di Simeulue, jalan terang ke arah itu sedang
dibangun secara perlahan. Bukan tak mungkin jika pulau kecil itu kelak akan
menjadi role model persemaian gagasan perubahan sosial yang menjadi inspirasi
bagi dunia. Potensi itu sangat besar mengingat wilayah ini pernah mengejutkan
dunia melalui tradisi nandong yang secara ajaib menjadi penyelamat warganya
saat tsunami.
Bukan tak mungkin sosok sekelas Amartya
Sen akan muncul di tengah kita, yang kemudian menyerap tradisi, lalu
memformulasinya untuk melahirkan gagasan tentang pembangunan dan perubahan yang
lahir dari rahim budaya kita, tanpa harus meniru-niru pola yang ditempuh barat.
Bukan tak mungkin kita menemukan energi dan daya dobrak atas perubahan yang
sejatinya bersumber dari dalam rahim budaya kita. Dan harap dicatat, semua hal
hebat tersebut dimulai dari warung kopi!
20 November 2015
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar