Masjid di Pulau Penyengat yang menjadi saksi atas Raja Ali Haji |
DI Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, lelaki
keturunan Bugis, Raja Ali Haji, menulis syair demi syair. Di pulau yang
sejatinya adalah simbol cinta sebab dahulu menjadi mahar kawin dan pengikat
keabadian kasih, lelaki itu menyusun kata demi kata. Ia meniatkan kata sebagai refleksi
atas berbagai hikmah kehidupan yang diserapnya di berbagai tempat.
Tak disangka, pesan yang dituliskannya di
tanah Melayu itu menjadi abadi. Pesan itu melintasi berbagai pulau hingga ke
negeri-negeri yang jauh. Gurindam yang dituliskannya menjadi jejak-jejak
kearifan manusia yang hendak menyerap hikmah di sepanjang perjalanan. Gurindam
itu menjadi satu syair yang memecah kebekuan hati, melembutkan perangai, serta
menjadi setetes embun di tengah kerontangnya hati manusia yang tak mau menyerap
kebaikan.
Tak ada catatan kalau lelaki itu pernah
menelusuri jejak nenek moyangnya di tanah Luwu, sebelah selatan Sulawesi. Tapi
aksara yang dituliskannya menjadi jejak-jejak pencapaian filosofis orang Bugis,
yang sejak lama telah mencipta naskah sastra I La Galigo yang ditahbiskan
sebagai naskah terpanjang di dunia, yang dicatat oleh Unesco sebagai memory of the world. Pertautan antara
dirinya dengan nenek moyang Bugisnya justru terjadi pada setiap baris kata, ada
setiap baris syair, pada setiap pasal gurindam. Bahwa di dalam dirinya ada
Bugis.
***
SUARA mengaji terdengar dari masjid di
Pulau Penyengat. Saat itu, saya tengah berada di atas pompong (perahu kecil bermotor) yang membawa saya dari Tanjung Pinang
ke Pulau Penyengat. Dari kejauhan, pulau itu serupa mutiara hijau yag bertahta
di atas lautan biru. Terlihat jelas empat kubah masjid yang berkilau keemasan. Hati
saya berdebar-debar.
Rasanya tak sabar untuk segera menyaksikan
pulau yang sedemikian legendaris ini. Saya membayangkan pulau kecil ini menjadi
saksi dari jatuh-bangunnya berbagai peristiwa besar yang pernah
memorak-porandakan negeri, serta pernah pula membangkitkan kejayaan tentang
satu masa.
Namun keinginan terbesar saya adalah
menyaksikan kuburan Raja Ali Haji, seorang maestro sastra yang menjadikan kata
sebagai embun yang menyejukkan hati, sekaligus sebagai pedang yang menebas
pikiran mereka yang tak adil. Di masa kecil, saya mengenali penyair ini lewat Gurindam Dua Belas. Saya masih ingat
persis kalau di buku-buku mengenai sastra, Raja Ali Haji dicatat sebagai sosok
penting yang syairnya dibaca hingga Malaysia dan Singapura.
Suara mengaji masih mengalun saat saya
tiba di Pulau Penyengat. Bersama sahabat Alfiandri dan Wayu, keduanya adalah
pengajar di Universitas Maritim Raja Ali Haji, kami singgah mencicipi masakan
khas berupa ikan laut di tengah kedai yang menjorok ke laut. Sembari melihat
lautan tenang yang di kejauhan terdapat Pulau Bintan, kami bertukar pikiran tentang
sosok Raja Ali Haji.
Sejarah mencatat, Raja Ali Haji dilahirkan
di Selangor (Malaysia) pada tahun 1808. Akan tetapi, ada pula yang menyebutkan
kalau dirinya lahir di Pulau Penyengat. Ia adalah putra Raja Ahmad, yang
dikenal sebagai Engku Haji Tua. Ia adalah cucu Raja Haji Fi Sabilillah, yang
merupakan saudara Raja Lumu, sultan pertama di Selangor, Raja Haji Fi Sabilillah
adalah putra Daeng Cella’, prajurit Bugis asal Tanah Luwu yang datang pada abad
ke-18.
Pulau Penyengat |
Orang Bugis memang punya tradisi tentang sompe’ atau berlayar ke negeri-negeri
yang jauh. Melalui sompe,’ mereka
tersebar ke mana-mana, berdiaspora dengan berbagai budaya, lalu ikut membangun
peradaban. Tiga pusaka yang selalu dibawa kerap kali disebut tiga ujung (telu cappa’), yakni cappa lila’ (ujung lidah), cappa kawali (ujung badik), dan cappa lase’ (ujung kemaluan). Lidah
adalah personifikasi dari kemampuan diplomasi, badik adalah personifikasi
kemampuan bertempur, sedangkan kemaluan adalah personifikasi dari perkawinan
antar bangsa. Mereka memang harus berbaur dengan semua komunitas, lalu menjelma
jadi bagian komunitas itu.
Namun sejarah mencatat kalau cappa’ kawali (ujung badik) inilah yang
paling banyak ditemukan. Melalui badik dan keberanian, orang Bugis berkelana ke
banyak tempat, dan memenangkan berbagai pertempuran. Mereka melawan bajak laut
di Selat Malaka. Mereka melawan pasukan Trunojoyo di Jawa, mereka juga membantu
Sultan Banten. Pada tahun 1722, mereka merebut tahta Johor dan menaikkan Abdul
Jalil sebagai sultan. Selanjutnya, keturunan Bugis-Makassar yang memimpin Johor
selama beberapa generasi. Bahkan Selangor, yang lahir pada abad ke-18, juga
dipimpin seorang lekaki Bugis bergelar Sultan Salehuddin Syah, yang merupakan
saudara Raja Haji Fi Sabilillah, putra Daeng Cella’, keturunan dari Raja Luwu
yang terkemuka We Tenrileleang.
Dari sekian banyak kisah-kisah pertempuran
yang heroik dari orang Bugis di berbagai tempat, di manakah gerangan posisi
Raja Ali Haji?
***
AZAN berkumandang dari masjid kuning itu.
Saya lalu bergegas masuk ke dalam masjid untuk salat. Suasananya teduh. Di
dalam masjid itu, saya menyaksikan tembok-tembok putih, yang kata beberapa orang
dibangun dengan menggunakan perekat putih telur. Tak hanya itu, di dalamnya ada
empat pilar yang menyangga empat kibah masjid.
“Empat pilar itu adalah simbol dari empat
mazhab,” kata seorang bapak tua menjelaskan. Setelah saya membaca beberapa
referensi, empat pilar yang dimaksud bermakna tangga-tangga menuju Allah, yakni
syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Mengingat Raja Ali Haji seorang sufi,
ia melihat kehidupan sebagai proses untuk menyempurna, proses yang melalui
berbagai fase, sebelum akhirnya manusia melihat sesuatu sebagai ketunggalan,
sebagai titik kemenyatuan dengan semesta. Perjalanan kehidupan adalah
perjalanan untuk terus mengenali diri, mengamati setiap keping peristiwa,
menarik hikmah-hikmah, lalu digunakan untuk merefleksikannya kembali dalam
berbagai aktivitas. Ada proses gerak material yang kemudian diikuti gerak
spiritual, lalu kembali ke gerak material untuk membangun peradaban.
Seusai salat, saya bertemu keturunan Raja
Ali Haji yang telah berusia sepuh. Ia berbagi pengetahuan tentang moyangnya. Ia
mengaku sebagai keturunan Luwu yang juga banyak tersebar di Pulau Penyengat. Ia
mengutip pasal pertama syair gurindam dua belas:
Barang siapa tiada memegang agama,sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.Barang siapa mengenal yang empat,maka ia itulah orang yang ma'rifatBarang siapa mengenal Allah,suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.Barang siapa mengenal diri,maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri.Barang siapa mengenal dunia,tahulah ia barang yang teperdaya.Barang siapa mengenal akhirat,tahulah Ia dunia mudarat.
Di mata saya, pasal ini sungguh dalam
maknanya. Ia mengingatkan pada hadis, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia
akan mengenal Tuhannya.” Semesta dalam diri hanyalah satu refleksi dari semesta
yang jauh lebih agung. Pesan Raja Ali Haji itu lebih menekankan betapa semunya
realitas dunia, dan betapa abadinya realitas di alam sana. Dikarenakan dunia
begitu fana, maka semua orang harusnya melakukan perjalanan spiritual,
memperkaya dimensi batinnya, lalu berusaha mendekati diri-Nya. Semua orang
harusnya melakukan erak substansial demi menggapai diri-Nya.
saat berkunjung |
Seingat saya, beberapa syair sufistik
ditulis sebagai rintihan seorang sufi saat melihat manusia lain yang terlampau
menuhankan dunia. Betapa syair-syair seperti ini menjadi pesan-pesan dan petuah
yang hendak menyampaikan sesuatu yang lebih sejati. Syair seperti ini
mengingatkan saya pada kisah “manusia gua” yang digambarkan Plato. Bahwa
sejumlah orang duduk dalam gua dalam keadaan terikat. Mereka hanya menyaksikan
pantulan cahaya atas diri mereka di dinding gua. Mereka mengira itulah
kesejatian, hingga akhirnya seorang di antara mereka lolos dari tali itu. Ia melihat
dunia luar dan matahari benderang. Saat kembali dan mengingatkan yang lain, ia
lalu diabaikan. Ia dianggap berimajinasi.
Mungkinkah Raja Ali Haji membaca syair
yang ditulis Mansyur Al Hallaj, sufi asal Persia, yang dieksekusi sembari
berteriak “akulah kebenaran?’ Mungkinkah ia membaca syair Ibnu Arabi, sufi asal
Andalusia di Spanyol, yang memperkenalkan konsep penyatuan mistis dengan Tuhan?
Di Pulau Penyengat, saya hanya bisa
mereka-reka. Kisah Raja Ali Haji memang selalu memukau. Tentu saja, jelajah
aksara itu bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Menggunakan bahasa filsuf
Paul Ricoeur, selalu saja ada dialektika antara ekspresi (expression) dengan kenyataan (reality),
serta pengalaman pembuatnya (experience).
Selalu saja ada pergulatan emosi, pertarungan ide, serta ikhtiar untuk menafsir
berbagai keping-keping kenyataan yang berpusar di kepalanya, sebelum akhirnya
menjelma sebagai kata yang menjejak hati.
Saya menangkap satu keyakinan tentang
jalan sufistik yang serupa kapal phinisi telah berlayar di samudera kehidupan.
Di Pulau Penyengat, perahu phinisi itu memang telah berlayar sampai jauh. Raja
Ali Haji mengetahui persis tentang perang besar antara kakeknya, Raja Haji Fi
Sabilillah, dengan VOC demi tegaknya kedaulatan. Ia tahu tentang para prajurit
Bugis-Makassar yang dengan sengaja menyebar ke mana-mana, menjauh dari tanah
airnya, demi menyatakan sikap tak sudi di bawah ketiak Belanda, setelah
Pelabuhan Sombaopu jatuh dikalahkan pasukan koalisi yang dipimpin Cornelis
Speelman. Ia jelas lebih tahu dari sejarawan Anthony Reid yang pernah
menuliskan bahwa perang Makassar adalah perang paling mengerikan yang pernah
dihadapi VOC di tanah Nusantara.
Ia menyaksikan berbagai peperangan dan perlombaan
demi meraih kejayaan itu telah menyeret konflik dan dinamika antar bangsa yang
senantiasa saling mencabut badik dan memburai usus. Di Johor, orang saling
mengkudeta demi memperebutkan supremasi. Di tanah Tumasik (Singapura), ia
melihat bendera East Indian Company (EIC) dan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) berkibar di atas kapal-kapal
yang membawa hasil bumi ke tanah Eropa yang selama sekian tahun terus berkelahi
demi menjadikan negaranya kaya raya dan gilang-gemilang. Ia merefleksikan
berbagai realitas yang disaksikannya di sepanjang sekujur tbuh sejarah. Ia
pernah pula menyaksikan kemajuan-kemajuan. Ia mengenal banyak bangsa, menyerap
saripati makna dari berbagai manusia, lalu menyusun pasal-pasal gurindam.
Dirinya punya pengalaman sebab pernah berpindah-pindah.
Ia ke tanah Batavia dan bersahabat dengan orang Belanda yakni Christian van
Angelbeek dan Herman von de Wall. Ia juga ke tanah Mekah dan bergru pada
beberapa cendekia di sana. Persahabatannya lintas bangsa telah mengasah
kepekaannya untuk keluar dari segala sesuatu yang membedakan manusia dari
manusia lainnya.
Ia menulis syair sebagai senjata untuk
menyatakan sikap. Ia menulis puisi, gurindam, serta pantun demi membumikan
gagasannya tentang dunia yang seharusnya menjadi ruang bersama di mana semua
orang bisa berbagi ilmu dan kearifan. Ia menulis syair sufistik sebagai jalan
pembebasan. Ia tak mau memilih jalan kawali
(badik). Ia memilih jalan lila
(lidah), yang merupakan personifikasi dari seseorang yang menggunakan kata
untuk menyampaikan pesan kuat. Ia memilih jalan yang pernah dipilih Syekh Yusuf
Al Makassar yang berkelana hingga tanah Afrika Selatan demi membumikan ajaran
Islam, yang kemudian menginspirasi Nelson Mandela, seorang pejuang kebebasan.
Tak berhenti pada menulis syair. Ia lalu
menulis buku Tuhfat al-Nafis yang berisikan pengalamannya selama berada di
Batavia, yang juga berisikan sejarah dan peradaban. Ia juga menulis Siilah
Melayu dan Bugis demi mencari jati diri serta nenek moyangnya. Bukunya, Kitab
Pengetahuan Bahasa yang ditulis tahun 1851 M dinyatakan sebagai dokumen resmi untuk
menentukan bahasa persatuan saat Kongres Pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928.
Lewat aksara-aksara yang dtuliskan itu, ia
abadi. Ia bisa hidup melintasi berbagai generasi. Suaranya akan jauh lebih
nyaring dan menyentuh generasi-generasi yang tak bersentuhan pemikiran
dengannya. Ia menelusuri jejak nenek moyang Bugis yang membuat syair I La
Galigo yang sarat kisah tentang dinamika antara manusia dan langit. Melalui
syair, ia menuliskan pandangan sufistiknya tentang kesementaraan dunia, serta
betapa indahnya kehidupan jika dihiasi dengan perangai.
***
“Bang, inilah kuburan Raja Ali Haji,” kata
sahabat saya Alfiandri saat tiba di kompleks pemakaman. Bersama sahabat Wayu
Eko Yudiatmaja, kami sengaja menelusuri jejak maestro sastra ini. Saya
merasakan ada haru yang memenuhi diri saya saat menyaksikan nisan yang ditutupi
kain berwarna kuning ini. Di nisan itu tertera kalimat, Raja Ali Haji
(1808-1873), pengarang Gurindam Dua Belas. Di sekitar makamnya, terdapat makam
kerabatnya yang lain. Di dinding makan, terdapat marmer yang lalu dipahatkan
secara lengkap naskah Gurindam Dua Belas yang pernah ditulisnya.
bersama sahabat Alfiandri di makam Raja Ali Haji |
Ada banyak kata yang memenuh benak saya.
Perjalanan hidupnya memiliki titik akhir, sementara naskah-naskah yang
ditulisnya tak akan pernah berakhir. Naskah itu terus bergerak, terus menyapa
semua yang membacanya, terus menjadi embun bagi kering-kerontangnya jiwa.
Naskah dan syair itu punya takdir sendiri untuk terus abadi dan membisikkan
pada banyak orang tentang dunia yang sementara, dan perlunya menghiasi jiwa
dengan perangai dan ahlak yang baik. Naskah dan syair itu menjadi spirit zaman
yang menandai setiap fase perkembangan zaman.
Di Pulau Penyengat, saya menyimpan banyak
keharuan untuk lelaki Bugis yang menulis demikian banyak syair ini. Jika saja
dia masih hidup, apakah ia bahagia saat melihat manusia mengikuti jalan
kebaikan yang ditulisnya? Ataukah ia kembali dicekam sedih yang lalu
menginspirasinya untuk menulis berlembar-lembar syair sebagai pernyataan sikap?
5 November 2015
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar