Saat Dunia Mengagumi Simeulue


pemandangan di Simeulue


SIMEULUE, pulau kecil di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam itu sepintas tak berbeda dengan pulau lainnya. Siapa sangka jika pulau itu menyimpan keajaiban hebat saat tsunami. Dulu, di saat air tumpah ke daratan dan korban berjatuhan di banyak tempat, hampir tak ada korban di pulau itu Warganya selamat berkat kisah dan pesan turun-temurun yang melintasi generasi, serta menempati ruang istimewa dalam diri orang Simeulue. Kisah-kisah itu membuat dunia mengagumi Simeulue.

Beberapa tahun setelah tsunami, beberapa peneliti Jepang datang untuk menyerap kearifan Simeulue. Di pulau kecil itu, terdapat satu pelajaran berharga bahwa sebuah syair, sebuah hikayat, sebuah dongeng, punya kekuatan hebat untuk menyelamatkan manusia dari bencana dahsyat yang setiap saat datang menghadang.

Namun di pulau itu, ada pula rasa sedih yang tiba-tiba menyeruak saat mengingat nasib syair itu di masa mendatang.

***

BAPAK itu duduk di tepi pantai Simeulue Tengah. Ia duduk sembari melafalkan syair yang menyentuh hati. Seorang sahabat mengisahkan syair itu berisikan pesan-pesan nenek moyang kepada anak cucunya mengenai bencana besar yang bisa datang dan menghantam sewaktu-waktu.

Saya mendengarkan syair itu. Pesannya kuat. Bahwa jika suatu saat terjadi bencana, maka segeralah menyelamatkan diri dengan cara ke bukit. Bahwa jika air laut tiba-tiba surut, maka itu pertanda dari datangnya smong, atau tsunami. Carilah tempat yang tinggi. Jangan memunguti ikan di tempat surut, sebab tak lama lagi, air akan menyerbu ke daratan.

Saya menyaksikan bulir-bulir air mata menetes di mata bapak itu. Seusai bersyair, ia bercerita tentang korban-korban yang jatuh dan berguguran saat tsunami. Barangkali ia mengenang keluarganya yang tewas saat peristiwa itu. Peristiwa tsunami menyisahkan begitu banyak luka yang menggores hati.

Hari itu, 26 Desember 2004, tsunami menghantam Aceh dan pesisir Sumatera lainnya. Berawal dari gempa berkekuatan 9 skala richter, air bah menghantam semua pesisir. Air bah itu menyapu semua yang di depannya. Bangunan, kendaraan, monumen, patung, segala yang berdiri di atas bumi pada radius tertentu disapunya dengan rata. Air bah mengalir seperti pasukan malaikat maut yang menjemput semua nyawa. Semua dilibas. Semua ditelan.



Nun di Simeulue, sejumlah orang bergegas ke kampung-kampung. Anak-anak muda berteriak-teriak "Smong" lalu meminta semua penduduk berlarian ke bukit-bukit. Orang Simeulue membaca tanda-tanda alam, seperti air surut, iring-iringan kerbau yang ke pegunungan, serta suara yang gemeretak di kejauhan. Orang-orang menuju pegunungan karena dipandu oleh syair dan pesan turun-temurun dari nenek moyang. Mereka digerakkan oleh syair yang selalu diperdengarkan oleh orang-orang tua tentang bencana smong (tsunami) yang setiap saat bisa datang. Syair itu menggerakkan kaki-kaki mereka untuk menyelamatkan diri saat bencana datang. Tercatat hanya ada tujuh korban, dari jumlah penduduk 70.000 orang. Di seluruh dunia, jumlah korban lebih 500.000 orang. Jangan lupa, posisi pulau ini hanya sekitar 60 kilometer dari pusat gempa.


Enggel mon sao curito…
Inang maso semonan…
Manoknop sao fano…
Uwi lah da sesewan…
Unen ne alek linon…
Fesang bakat ne mali…
Manoknop sao hampong…
Tibo-tibo mawi…
Anga linon ne mali…
Uwek suruik sahuli…
Maheya mihawali…
Fano me singa tenggi…
Ede smong kahanne…
Turiang da nenekta…
Miredem teher ere…
Pesan dan navi da…

Dengarlah sebuah cerita
Pada zaman dahulu
Tenggelam satu desa
Begitulah mereka ceritakan
Diawali oleh gempa
Disusul ombak yang besar sekali
Tenggelam seluruh negeri
Tiba-tiba saja
Jika gempanya kuat
Disusul air yang surut
Segeralah cari
Tempat kalian yang lebih tinggi
Itulah smong namanya
Sejarah nenek moyang kita
Ingatlah ini betul-betul
Pesan dan nasihatnya


Saya mendengarkan syair itu dengan seksama. Selalu saja saya terkesima dengan kata-kata yang bisa menggerakkan orang lain. Syair ini punya pesan kuat yang melintasi zaman. Entah siapa yang membuatnya, namun maknanya bisa mempengaruhi manusia-manusia zaman kini, menyelamatkan mereka dari bencana, serta bisa memprediksi kejadian besar yang akan terjadi. Syair itu bisa menyelamatkan banyak kehidupan, sekaligus merawat masa depan.

Syair ini disampaikan orang tua kepada anak-anaknya, dengan beberapa cara. Ketika di meja makan, atau setelah makan, atau di ruang keluarga, bercerita saat kejadian smong datang satu abad silam, banyak keluarga tewas, ada pula yang jatuh dari gendongan orang tua, lalu tersangkut di atas pohon bambu dan selamat. Cerita itu terus berulang hingga akhirnya mengendap di benak banyak orang.

***

SEORANG sahabat muda menemani saya berkunjung ke Pulau Simeulue Cut. Namanya Irda Kusuma. Ia bekerja sebagai fasilitator di lembaga Destructive Fishing Watch (DFW). Kata Irda, syair itu kira-kira bermula sejak letusan gunung di awal tahun 1900-an. “Pada saat itu ada tsunami besar yang merendam pulau ini. Makanya, syair itu muncul agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang,” katanya.

Kenyataan ini sungguh menarik, sebab ternyata dalam syair itu tersembunyi satu hikmah dan pembelajaran atas apa yang sebelumnya terjadi. Saya berpandangan bahwa apa yang kita sebut sebagai kearifan lokal sejatinya adalah himpunan-himpunan pengetahuan yang lahir sebagai upaya manusia memahami alam semesta dengan segala isinya. Saat manusia memahami semesta, saat itu juga manusia mencipta sains dan segala pengetahuan sebagai mutiara berharga yang lalu diterbar ke masyarakat, diwariskan turun-temurun, serta menjadi api yang menerangi berbagai zaman.

Nampaknya, peristiwa Tambora itu menjadi pelajaran berharga bagi nenek moyang Simeulue. Mereka tak ingin kejadian serupa terjadi di masa mendatang. Syair-syair lahir sebagai jembatan untuk memberikan early warning system bagi generasi mendatang agar selalu waspada apa berbagai kemungkinan. Syair itu mencakup pengetahuan yang sejatinya lahir dari social learning process, proses belajar masyarakat yang lalu menjadi tradisi dan kebudayaan. Di saat krisis, kebudayaan lalu menyediakan berbagai protokol demi menyelamatkan masyarakat.



Yang membuat syair itu sedemikian bertenaga adalah masyarakatnya yang masih memegang tradisi dan penghormatan pada nenek moyangnya. Saya merasakan satu pandangan dunia yang menganggap bahwa segala bencana tak harus dipandang sebagai sesuatu yangharus dihindari. Bencana adalah sahabat yang harus diakrabi dan dikenali, demi tindakan-tindakan preventif yang bisa membuat kita terhindar darinya. Pandangan itu muncul saat saya mendengar syair berikut;

Anak-Ö
SMONG, Dumek-dumekmo
LINON, Uwak-uwakmo
AHOI, Ralang-ralangmo
ELAI,Kedang-kedangmo
KILEK, Sulu-sulumo

Anakku
Tsunami, Mandi-mandimu
Gempa, Ayun-ayunanmu
Api, Penghangat tubuhmu
Guntur, Gendang-gendangmu
Kilat, Cahaya penerangmu

Kata Irda, syair-syair itu dilagukan untuk menguatkan mental. Pesan itu dituturkan kepada anak-anak agar tidak takut menghadapi perubahan alam. Bahwa guntur dan kilat tak perlu ditakuti. Bahkan tsunami pun tak perlu dikhawatirkan. Manusia harus berselancar dan melintasi berbagai tanda-tanda alam itu, berdamai dengan semuanya, lalu mencari cara-cara kreatif untuk menyelamatkan kehidupan.

Pesannya adalah jangan sesekali menghindari segala yang ada di alam dengan penuh kebencian, tetapi dekati, pahami, lalu mengalir bersamanya. Hanya dengan mengalir bersama semesta, seseorang bisa memahami tabiat alam, lalu menyerap saripati pengetahuan di tengah semesta itu. Pandangan ini menegaskan posisi manusia Simeulue yang berselancar di tengah bencana demi menyelamatkan diri.

Maka ketika tanda-tanda alam menunjukkan adanya tsunami, masyarakat telah siaga dengan berbagai kemungkinan. Mereka lalu bergerak ke pebukitan untuk menyelamatkan diri. Mereka membaca tanda alam, memahami makna di balik setiap realitas, lalu menentukan langkah-langkah terbaik. Kearifan inilah yang membuat dunia begitu mengagumi Simeulue.

***

KISAH di Simeulue ini sebelumnya pernah saya baca dari publikasi Yoko Takafuji, seorang peneliti di Jepang. Ia membandingkan syair di Simeulue itu dengan syair Inamuranghi di daerah Wakayama, Jepang. Ada juga tsunami tendenko dari daerah Iwate. Di dua daerah ini, bila terjadi tsunami, korbannya lebih sedikit." "Isi cerita agak beda, tapi intinya sama. Tsunami tendenko misalnya, dari cerita ini warga diminta untuk langsung lari dan tidak perlu memikirkan keluarga, “ katanya, sebagaimana dikutip satu media.

Yang menarik, kisah-kisah kearifan itu telah dikemas menjadi beragam media komunikasi, mulai dari komik, buku, hingga pembacaan syair. Tentu saja, upaya itu dtempuh agar cerita-cerita itu bisa abadi dan terus memberikan sukma bagi masyarakat di tengah wilayah yang rentan bencana. Hanya dnegan merawat kisah, maka masyarakat bisa terhindari bencana yang terjadi di masa mendatang.

Tenyata, ada pelajaran berharga di Simeulue yang kemudian menginspirasi dunia. Yoko Takafuji memiliki misi untuk menyebarkan cerita-cerita Simeulue di berbagai belahan bumi lain yang rentan tsunami, termasuk Jepang dan negara-negara Pasifik. Setidaknya, pengalaman warga Simeulue bisa menjadi inspirasi bagi orang-orang untuk menyusun satu protokol atau panduan penyelamatan yang berbasis pada kearifan lokal.

Namun apakah syair-syair Simelulue akan terus-menerus bertahan di masa mendatang?

***

SUATU hari, Irda mengajak saya mengelilingi beberapa sudut Pulau Simeulue. Ia memperlihatkan saya pada prilaku anak-anak muda yang kerap berpacaran di sudut-sudut pulau. Anak-anak muda itu saling pangku di atas motor. Di satu tempat wisata, saya menyaksikan dua orang yang asyik berpelukan, tanpa peduli dengan keadaan di sekitarnya.

Modernisasi tentang merambah pulau itu. Televisi hadir dengan membawa berbagai kisah dan syair baru tentang kehidupan yang serba glamour. Nilai-nilai baru mulai bersemi. Orang-orang sedang gandrung kepada beragam cerita dari sinetron yang secara perlahan menggantikan syair-syair lokal yang dahulu menjadi kisah-kisah pengantar tidur.

saya di Simeulue

Secara ekonomi, Simeulue kian berubah. Dahulu, Simeulue terkenal dengan kebun cengkih. Cerita itu disampaikan para orang tua ketika memetik cengkih, di mana anak-anak dan sanak saudara turut membantu memanen. Cerita itu lalu melekat di hati generasi penerus masyarakat Simeulue, untuk menyampaikan pesan leluhur soal smong. Kini, penduduk mulai menjadi pekerja perkebunan kelapa sawit yang mulai ditanami di banyak tempat. Interaksi tak sedekat dulu saat semua keluarga berkumpul di rumah pada malam hari sembari bercerita.

Jalan-jalan utama di Simeulue dipenuhi warung kopi yang menjadi tempat bersosialisasi, sekaligus ruang-ruang publik untuk membahas berbagai topik. Di beberapa tempat, saya mendengar orang-orang bercerita tentang politik lokal, tentang pejabat yang dahulu penceramah, kemudian setelah menjabat, tiba-tiba saja meminta bagian atau persen dari semua proyek.

Kepada Irda, saya menitipkan pertanyaan, “Masihkah syair-syair hebat Simeulue akan bertahan melewati zaman yang terus berubah?"

Ia terdiam dan merenung.



Simeulue, November 2015


BACA JUGA:





0 komentar:

Posting Komentar