Mencari Nelayan Asli Papua di Merauke


perahu nelayan di Pantai Lampu Satu, Merauke, Papua

MATAHARI pertama kali terbit di Merauke, dan terbenam di Sabang. Saat berkunjung ke Merauke, titik paling timur di Indonesia, saya menyusuri pantai-pantai dan pesisir. Sekitar tiga kilometer dari kota, terdapat Pantai Lampu Satu yang pemandangannya sangat indah. Saya melihat cahaya senja memantul di genangan air surut, dengan latar perahu-perahu yang ditambatkan di pasir.

Di Pantai Lampu Satu, saya singgah untuk menyapa para nelayan yang sedang membersihkan perahu, merapikan jaring, atau sekadar bersenda-gurau dengan rekannya yang sedang bekerja. Yang mengejutkan, tak satupun saya temukan warga asli Papua di situ. Ke manakah mereka?

“Kebanyakan nelayan di sini adalah orang Buton, Bugis, dan Makassar. Jarang orang Papua yang jadi nelayan,” kata seprang bapak yang sedang merapikan jaring. Ia lalu menunjuk desa-desa pesisir di sekitar Pantai Lampu Satu. Katanya, perkampungan nelayan di situ kebanyakan adalah para pendatang dari tiga daerah itu yang sejak awal kedatangan telah memilih hidup di atas lautan.

Papua adalah wilayah yang amat luas, dengan populasi sedikit. Sejak dulu, para pendatang telah memenuhi Papua dan mengisi berbagai sektor yang tidak disentuh warga asli papua. Pada masa Orde Baru, pemerintah memiliki program untuk memindahkan penduduk dari daerah padat (dalam hal ini Jawa) ke Merauke dan beberapa wilayah lain di Papua. Pemerintah menyebut program itu sebagai transmigrasi, yang sejatinya merupakan program untuk memodernisasi Papua.

Orang-orang Jawa datang dengan semangat ulet, lalu membuka banyak sawah-sawah. Mereka punya kultur pekerja yang lalu membuat mereka sukses di lapangan ekonomi. Tak lama setelah sawah, selanjutnya berdiri banyak pertokoan, perumahan, serta berbagai sarana ekonomi lainnya. Di pasar-pasar Merauke, bisa saya saksikan dengan jelas kalau pemilik toko selalu pendatang, dan orang Merauke menjadi pedagang kecil yang menggelar tikar di pasar itu.

Perlahan, pendatang Jawa masuk ke ranah politik. Sekian tahun beranak-pinak, mereka lalu mendapat sebutan Jawa-Merauke. Bahkan Merauke lalu menjadi lumbung pangan. Apalagi pemerintah punya program lahan sejuta hektar. Lahannya diambil dari milik orang Marind Anim, suku bangsa di Papua. Petaninya didatangkan dari Jawa. Pantas saja jika orang Jawa mulai merambah politik. Saat saya berkunjung, dari semua baliho pasangan calon bupati, sosok wakil bupati selalu berasal dari etnis Jawa.


perahu nelayan

Di pesisir lautan, para pendatang Buton, Bugis, Makassar datang merambah. Pernah saya mengikuti presentasi sejarawan Richard Chauvel yang menyebutkan kedatangan orang Buton Bugis dan Makassar sudah dimulai sejak abad ke-17. Artinya, kedatangan mereka didorong oleh keinginan spontan untuk merambah banyak titik di tanah air. Mereka sudah lama menyatu dnegan warga Papua, memiliki garis keturunan yang bersahabat dengan warga lokal, serta menjadikan tanah Papua sebagai tanah airnya. Sebagaimana nenek moyangnya, mereka pelaut tangguh yang punya naluri untuk menghadapi gelombang dan samudera. Ditunjang darah pelaut yang mengalir, serta etos kerja di lautan, tak sulit bagi orang Buton, Bugis, dan Makassar menjadi penguasa lautan.

Lautan Arafura, lautan di sekitar Merauke, adalah salah satu fishing ground atau daerah penangkapan terbaik di dunia. Wilayah ini telah lama menjadi incaran dari para pencari ikan yang datang dengan label korporasi internasional. Kedatangan mereka untuk menjarah ikan, lalu menjualnya ke pasaran internasional.

Namun sejak tahun lalu, pemerintah mulai bersikap tegas. Kontrol ketat atas pengawasan laut telah mulai diberlakukan. Penjarahan ikan berkurang secara drastis. Pada saat bersamaan, pemerintah hendak memperkuat nelayan lokal agar tangguh menangkap ikan dan mengisi kekosongan pasokan di level dunia. Tapi pertanyaannya, mampukah nelayan lokal menjadi pengumpul dalam jumlah besar? Bagaimanakah kondisi nelayan hari ini? Bagaimanakah posisi warga lokal Papua sebagai tuan di atas tanah dan lautnya?

***

LELAKI itu bernama Nasruddin. Wajahnya tampan, dan mengingatkan saya pada aktor Hollywood, Denzel Washington. Ia bekerja sebagai fasilitator di Destructive Fishing Watch (DFW), lembaga yang memfokuskan dirinya untuk memantau illegal fishing. Sebagai fasilitator, Nas betugas di Pulau Kolepon, yang masih wilayah Kabupate Merauke.

“Para nelayan di sini rata-rata pendatang. Bahkan yang di pulau-pulau juga demikian. Memang, ada warga setempat yang jadi nelayan, tapi biasanya tidak berlayar. Mereka hanya menangkap ikan dnegan jala di sekitar pesisir. Area jelajahnya sangat terbatas,” katanya.

Saya tak yakin dengan penjelasannya. Ia lalu mengajak saya untuk menelusuri beberapa wilayah pesisir. Mulanya ia mengajak saya ke beberapa pasar ikan. Bisa saya lihatkalau warga Papua hanya menjual ikan air tawar. Jarang saya temukan ikan laut. Selanjutnya kami lalu menelusuri Pantai Lampu Satu. Di ujung pantai, kami bertemu seorang kakek yang memegang jaring. Di sekelilingnya, ada seorang ibu, serta anak kecil yang tengah bermain. Dari fisik, saya bisa menebak kalau mereka asli Papua.

“Bapa, ini udang dijual kah?” tanya saya.
“Iya. Tadi saya dapat di jala,”
“Berapa harganya?”
“Cuma 30 ribu saja,” katanya.

Satu hal yang saya kagumi dari orang-orang Papua adalah keramahannya. Mereka selalu menyenangi percakapan dengan orang baru. Kata Nas, kalau kita menyiapkan pinang dan rokok, mereka bisa tahan ngobrol sampai berjam-jam. Mereka menyenangi pembicaraan bersama orang-orang baru, serta topik mengenai hal-hal baru.

Kakek yang saya temui mengaku sebagai warga Kampung Onggari, Distrik Malind. Saya lalu memperhatikan jala yang dibawanya. Ia bercerita kalau dirinya tidak memiliki perahu. Ia hanya berjalan kaki sejauh lebih kurang empat kilometer ke area tangkapan. Kalau air laut lagi pasang, ia jelas tidak mendapatkan ikan. Saat saya tanyai, apakah berniat memiliki perahu agar bisa menangkap ikan di lautan lepas, ia terdiam. “Saya tidak pernah melaut,” katanya.

Selama ini, pemerintah selalu melihat masalah yang dihadapi nelayan akibat keterbatasan sarana dan prasarana. Makanya, banyak bantuan sarana dan prasarana yang dikucurkan kepada nelayan. Sayangnya, bantuan itu tidak bisa berjalan efektif sebab warga setempat tak punya tradisi melaut. Mereka hanya terbiasa menjadi penangkap ikan di pesisir, tanpa memiliki keberanian untuk mengarungi samudera.

“Yang saya tahu selama tinggal di sini. Orang Malind, sebagai warga asli Merauke, tak punya tardisi melaut. Tradisi mereka adalah berladang. Makanya, dalam setiap acara adat, semua benda yang diperlihatkan adalah ubi, talas, dan berbagai produk ladang. Tak ada unsur laut dalam ritual adat mereka,” kata Nasruddin.

Bagi saya, pernyataan ini sangat menarik. Apalah gunanya berbagai bantuan kapal dan teknologi kepada nelayan, ketika warga setempat justru tidak punya tradisi melaut. Yang harusnya dilakukan adalah menyelesaikan persoalan pada aras budaya, menggelar program transfer pengetahuan dan saling belajar antara nelayan pendatang dan warga Malind sehingga pada masanya kelak, nelayan Malind bisa menguasai berbagai kecakapan terkait laut dan penagkapan ikan sehingga bisa menajdi tuan di atas lautanny sendiri. Ini harus terjadi seara simultan, tak hanya di sektor kelautan dan perikanan.

Belakangan ini, pemerintah pusat menjadikan Merauke sebagai daerah persawahan. Tentu saja, ini sangat berbeda dengan tradisi yang hidup dan berdenyut di masyarakat. Dibangunnya sawah meniscayakan satu ketekunan untuk menanam, merawat, mengairi, hingga memanen. Ketika warga setempat tidak punya budaya pertanian, maka pemerintah mengambil jalan pintas yakni mendatangkan banyak tenaga dari Jawa. Di masa mendatang, pendekatan ini bisa menjadi bumerang ketika orang Papua semakin tersisih dari tanah dan lautnya sendiri.

senja di Pantai Merauke
 
dua anak Papua sedang melintas

Padahal, budaya setempat adalah meramu, memangkur sagu, menjaring ikan, berburu dan berkebun dengan metode sederhana, yakni wambat (membuat deretan bedeng setinggi lutut orang dewasa untuk ditanami umbi-umbian dan pisang), sudah lama berdenyut di komunitas. Aktivitas itu melengkapi keseharian suku Marind yang asli, yaitu keluar-masuk berburu rusa, babi, buaya, dan kanguru. Tradisi berburu dengan bekal busur dan tombak pun mulai jarang mereka lakukan. Demikian pula menokok (mengikis) daging pohon sagu dengan kahanggat, hanya dilakoni di waktu-waktu tertentu, seperti menjelang upacara adat. Semoga saja semua tradisi itu tetap bertahan dan tak lekang oleh waktu.

Harusnya, semua tradisi ini harus dipahami, lalu sama-sama dicarikan satu jalan keluar agar tetap menjadi bagian dari masyarakat, sembari menguatkan ekonomi mereka. Yang bisa ditempuh adalah memperbanyak program yang memperkokoh budaya ladang, sebagai garda terkuat untuk ketahanan pangan, sembari memperkuat ekonomi lokal. Kemampuan perladangan harus ditingkatkan, sembari terus memperluas cakrawala pengetahuan, memperkenalkan cara-cara baru untuk merawat alam, serta menjaga kelangsungan ekosistem.

Jika kita sepakat terhadap tesis tentang budaya, maka yang dibutuhkan adalah proses pendampingan secara berkelanjutan untuk bergelut dengan perubahan keadan dan budaya. Diperlukan pendekatan budaya dan religi, dengan melibatkan berbagai pihak seperti pemerintah, masyarakat, dan pihak ketiga.

***

“Kaka, mau beli udang?”

Seorang anak datang menawarkan udang kepada saya dan Nas. Saya memperhatikan anak Suku Marind ini. Saya membayangkan kelak anak ini menjadi pemilik dari berbagai pabrik pengolahan ikan terbesar di dunia yang akan dibangun di pesisir Merauke, yang berhadapan dengan Laut Arafuru. Saya membayangkan anak ini akan menghiasi berbagai media sebagai sosok yang berdaulat di atas lautan, memiliki kuasa yang digunakan untuk merawat alam, menjaga keseimbangan ekosistem laut, serta menjadikan laut sebagai rumah yang memberikan kesejahteraan bagi warga-warga sekitar.

Jika mimpi itu hendak diwujudkan, ada banyak kera keras yang harus dilakukan di sana.


 29 November 2015

BACA JUGA:







0 komentar:

Posting Komentar