Orang Buton Mengenang Asyura


anak-anak di Pulau Buton

EMPAT belas abad silam, satu nestapa dan kengerian sedang terjadi di Karbala. Satu kelompok dalam Islam telah membantai cucu Rasulullah dengan amat memilukan. Kisah pembantaian itu diuraikan dengan penuh air mata bercucuran oleh para sufi di sepanjang sejarah. 

Berbagai lembar syair dilahirkan demi merekam kesedihan atas peristiwa itu. Melalui syair, refleksi atas peristiwa itu menyebar ke mana-mana.

Di berbagai zaman, peristiwa itu dikenang dalam berbagai ritual. Di tanah air, berbagai suku bangsa mengenang peristiwa itu dalam ritual adat, yang bertujuan untuk me-refresh ingatan, menyerap makna, serta melakukan refleksi atas situasi zaman yang terus mengulangi berbagai kebiadaban di masa silam.

Di Pulau Buton, kami merayakan peristiwa itu dalam ritual bernama pekandeana ana-ana maelu, yang secara harfiah bisa dimaknai sebagai “memberi makan anak-anak yatim.” Bagi orang Buton, ritual ini adalah bagian dari haroa atau ritual tradisi mengundang orang-orang untuk makan bersama sembari berdoa pada hari-hari besar Islam.

Ritual ini dilakukan sebagai upaya mengenang Hasan dan Husain, dua yatim yang terbunuh. Ritual ini juga untuk mendoakan Ali Zainal Abidin, putra Husain yang masih hidup seusai peristiwa Karbala. Dicekam kesedihan atas kematian ayahnya, Ali Zainal Abidin mesti tetap hidup untuk terus mengobarkan kebenaran.

Di mata orang Buton, memberi makan anak-anak yatim adalah tradisi indah yang tak sekadar dilakukan untuk mengenang cucu Rasulullah, tapi juga pesan kuat tentang solidaritas dan kekuatan komunitas melalui sikap saling menyantuni.

Hingga kini, ritual adat ini masih dirayakan. Saya masih mengingat persis bahwa setiap kali menjelang 10 Muharram, anak-anak yatim di sekitar rumah akan merasa bahagia. Semua anak yatim akan diundnag ke rumah-rumah. Mereka diperlakukan bagai raja yang harus dilayani dan dikuatkan batinnya.

Anak-anak yatim itu akan dimandikan dengan air asyura, atau air yang telah dibacakan doa sehari sebelumnya. Mereka dimandikan sepasang-sepasang. Bagi orang Buton, sepasang ini bermakna satu dari kelompok bangsawan (kaomu), dan satu lagi dari kelompok rakyat kebanyakan (walaka). Sepasang yatim itu dibasahi rambutnya, diusap-usap, dan dikenakan pakaian yang bagus.

Kata seorang pande lebe, atau seorang ulama yang membacakan doa, makna sepasang ini  adalah di hadapan Allah, semua umat itu satu. Tak ada dikotomi. Tak ada perbedaan. Di hadapan Allah, tak ada satupun yang lebih tinggi. 

Yang lebih tinggi adalah mereka yang lebih bertakwa, mereka yang bisa membumikan indahnya ajaran dalam segala tindak dan tingkah laku.

Tapi, salah satu keluarga saya punya penjelasan lain. Katanya, jumlah sepasang itu bisa pula bermakna dua sosok yatim yakni Hasan dan Husain, keduanya cucu Rasulullah. Satu di antaranya yakni Husain tewas secara mengenaskan di karbala, ratusan tahun silam.

suasana di depan Masjid Agung Keraton Buton

Setelah dimandikan, anak-anak itu lalu disuapi. Semua yang hadir, bergantian mengambil makanan dari nampan, kemudian menyuapi anak yatim itu. Biasanya, orang-orang akan berdesakan untuk ikut memberikan makan, sebab diyakini kalau tindakan itu akan membawa berkah bagi penyuap dan yang disuap.

Seusai menyuapi, anak-anak yatim itu lalu diberikan santunan. Mereka yang hadir biasanya menyelipkan sedekah dan bantuan sesuai kemampuannya. Bagian ini adalah bagian paling indah di mata saya. Bahwa melalui tradisi ini, kepedulian pada anak yatim serta kaum miskin kembali diasah demi menguatkan komunitas. 

Tradisi ini bisa pula dimaknai sebagai pengikat solidaritas sosial bahwa setiap anak yatim adalah tanggung jawab komunitas. Bahwa keberkahan atas satu komunitas terlihat pada seberapa peduli seseorang dengan lingkungannya.

***

DI Bogor, Walikota Bima Arya Sugiarto, melarang perayaan asyura. Lelaki yang konon katanya sosok muda dan intelektual ini tak kuasa menahan desakan kelompok mayoritas yang melihat tradisi atau perayaan asyura itu sebagai bagian dari ritual kaum syiah. Dengan kuasa di tangannya, ia melarang sebuah perayaan tradisi yang barangkali dianggapnya sesat.

Tentu saja, saya tak hendak memperdebatkan sesat tidaknya perayaan ini. Bagi saya, debat sunni-syiah itu sama tuanya dengan peradaban Islam itu sendiri Debat itu sudah terjadi di sepanjang zaman. Para ulama dan cendekia telah mengeluarkan berbagai kitab untuk saling menguji kebenaran itu. Saya tak hendak masuk dalam perdebatan klasik itu. Jauh lebih baik jika saya menyerap dua khasanah kearifan berbagai tradisi demi menguatkan zaman hari ini.

Di mata saya, asyura adalah momen untuk mengenang satu peristiwa sejarah yang memilukan di masa silam. Mereka yang mengenang asyura sama halnya dengan mereka yang melakukan refleksi sejarah atas peristiwa silam. 

Substansinya tak jauh beda dengan Bima Arya yang menggelar upacara mengenang hari kesaktian pancasila. Bedanya, yang dikenang dari asyura adalah nestapa atas keluarga Nabi yang dibantai secara mengenaskan. Yang dikenang di situ adalah satu momen sejarah ketika sesama saudara bisa dibantai demi menegaskan kuasa.

Refleksi itu harusnya menjadi momen yang harus dihormati. Sebab refleksi selalu bermakna positif untuk menguatkan hati, serta komitmen untuk tidak mengulangi kejadian serupa di masa depan.  Jika pun refleksi itu dianggap sesat, maka tentunya jauh lebih sesat berbagai praktik minum miras di bar-bar kota Bogor yang bertebaran di Jalan Padjajaran, atau di jalan menuju Parung. Mengapa harus takut dengan refleksi dan perenungan?

Yang kerap membuat saya terhenyak adalah betapa peristiwa itu telah lama merasuk ke dalam tradisi dan menjadi sumsum dari kebudayaan kita. Orang Ternate membuat bubur asyura untuk dimakan anak yatim. Orang Bengkulu mengenalnya dengan tirual Tabot. 

Orang Pariaman mengenalnya dengan ritual Tabut.  Dan kami orang Buton mengenalnya dengan ritual pekande-kandeana ana-ana maelu. Haruskah kita melarang berbagai ritual ini dengan dalih kepentingan politik serta kuasa kita menentukan kebenaran di masa kini?

Barangkali, inilah takdir zaman kita. Hari ini, kita hidup tanpa membaca sejarah. Kita hidup tanpa menyerap kearifan atas segala yang terjadi di masa silam. Kita hidup tanpa peta berupa segala kejadian dan peristiwa yang bisa memurukkan peradaban hari ini. 

Kita hidup tanpa menggunakan nalar sejarah, sebagaimana dikatakan penyair Jerman Goethe, “Mereka yang hidup tanpa menyerap pelajaran dari masa 3.000 tahun adalah mereka yang hidup tanpa menggunakan akalnya.”


26 Oktober 2015

3 komentar:

Mumox mengatakan...

Betul kakanda, setiap peristiwa mesti diserap hikmahnya jadi bahan pembelajaran bagi kita semua, bukan malah saling menjatuhkan.. Saya juga demikian, mengalami kontradiksi Sunni-Syiah walaupun tak kentara.. 10 Muharram kemarin orang tua berpuasa, sementara mertua mengundang anak yatim makan bareng.. Saya? Makan-makanlah, itu kan hobi.. hehehe

Anonim mengatakan...

sy suka artikelnya.... adakah referensi atau buku tentang ritual pakandeana ana ana maelu?

Anonim mengatakan...

apakah ada buku-buku mengenai pakandeana ana ana maelu... klau ada bgmana mendapatkannya, makasih...

Posting Komentar