Dia yang Datang dengan Rasa Bersalah


ilustrasi

ANAK muda itu datang sembari membawa rasa bersalah. Ia mengaku telah melakukan satu hal yang menyakitkan orang lain. Ia lalu dikepung berbagai perasaan yang membuatnya tak enak hati. Sehari setelah kejadian itu, ia lalu mengajukan pengunduran diri dari berbagai kerja-kerja bersama yang dilakoninya. Ia berpikir bahwa dirinya pantas mendapatkan hukuman sosial.

Saya menyaksikan anak muda itu dari dekat. Senyum dan keceriaan yang kerap menghiasi wajahnya sirna seketika. Ia kebanyakan menunduk. Mata yang dahulu penuh kelucuan tiba-tiba muram. Ia kehilangan cahaya yang kerap dipancarkannya. Dalam perjumpaan terakhir, ia beberapa kali melepaskan napas panjang, serta menyesali diri yang dianggapnya melakukan kesalahan.

Melihat rasa bersalahnya, saya teringat pada biksu Ajahn Brahm. Ia pernah mengatakan bahwa mereka yang merasa bersalah, sejatinya mengalami dua kali pukulan telak. Pertama, pukulan telak atas rasa bersalah terhadap tindakan yang pernah dilakukan. Kedua, terjebak dalam lembah duka dan nestapa dikarenakan terus-terusan merenungi rasa bersalah itu. Demikianlah cara kerja pikiran kita yang seringkali rumit bagi diri kita sendiri.

Perasaan bersalah pada hakikatnya berbeda dengan penyesalan. Dalam budaya kita, kata “bersalah” adalah keputusan yang diketok seorang hakim di pengadilan. Dalam banyak kasus, hakim paling kejam adalah diri sendiri yang lalu mengetuk palu untuk memvonis diri telah melakukan kesalahan. Vonis paling kejam diberikan oleh pikiran pada diri yang selamanya dipaksa untuk menanggung rasa bersalah itu.

Kebanyakan orang, yang saya lihat, bisa dengan segera menemukan kesalahan, lalu memahami di mana posisinya. Akan tetapi, tak semua orang bisa berdamai dengan kesalahan itu. Jauh lebih banyak yang memendam rasa bersalah itu, mengutuki diri sendiri sebab telah melakukannya, lalu membiarkan perasaannya terombang-ambing dalam duka dan kesedihan.

Terhadap kebanyakan orang ini, rasa bersalah telah mengendalikan nalar dan pikiran jernihnya. Terhadap anak muda itu, saya mengingatkannya bahwa setiap setiap jalan keluar yang lahir dari rasa bersalah serta emosi, pastilah bukan jalan keluar. Emosi dan amarah bisa menggiring seseorang ke dalam berbagai pilihan yang justru bisa menarik tubuhnya hingga kembali terjebak dalam lembah kesedihan yang paling dalam.

Tak heran jika banyak yang depresi, lalu kehilangan tujuan dan hari-hari ceria sebagaimana sebelumnya. Rasa bersalah itu menjadi pisau yang menikam dirinya, menjadi onak dan duri atas hari-harinya yang penuh kedamaian.

Rasa bersalah serupa setitik nila yang bisa merusak susu sebelanga. Bayangkan, ada berbagai kebaikan dan kebenaran pada diri anak muda itu, namun tiba-tiba saja, satu kesalahan telah menghempaskan dirinya dalam kesedihan. Harusnya, dia segera menemukan ribuan kebaikan dalam dirinya untuk bangkit, menjadikannya sebagai dahan untuk bergantung, menjadikannya sebagai sayap untuk terbang tinggi-tinggi.

Yang harus dilakukannya adalah menenangkan diri, berdamai dengan kesalahan itu, lalu kembali tersenyum dalam memandang kehidupan. Ketimbang meratapi rasa bersalah, jauh lebih baik jika dia segera melupakannya, lalu kembali pada keceriaan, sesuatu yang memang identik dengan dirinya. Jauh lebih baik jika dirinya memikirkan kerja-kerja positif yang bisa dilakukannya sebagai penghias hari-harinya yang mulai kelam. Merenungi kesalahan itu hingga terdiam selama beberapa hari bisa menenggelamkannya dalam duka. Kepadanya juga saya titipkan pesan bahwa mundur dari semua aktivitas lalu menghindari orang lain bukanlah jalan yang bijak.

Yup, tak semua orang bisa berdamai dengan dirinya. Banyak orang hanya ingin melihat dirinya, sebagaimana disaksikan orang lain. Tak semua orang bisa tersenyum saat melihat potret dirinya yang retak.  Padahal, melalui kesalahan, kita harusnya menyadari bahwa kita hanyalah manusia biasa yang penuh dengan khilaf dan dosa-dosa. Kesalahan adalah sahabat baik yang menyadarkan bahwa kaki kita masih memijak bumi, kita hanya manusia biasa yang bisa tergelincir, sekaligus menjadi tanda bahwa saatnya bagi jiwa untuk memasuki pit stop demi merenung dan membasuhnya lalu kembali melesat ke arena kehidupan.

Berdamai dengan diri sendiri adalah titik balik untuk melihat kehidupan dengan cara pandang sendiri. Saya percaya bahwa pada banyak titik, kita harus menjadi diri kita, lalu menggunakan nurani kita sebagai cermin. Berpikir dengan menggunakan kerangka pikir orang banyak memang positif dalam banyak hal, namun pada hal tertentu, kita juga harus berdamai dengan diri, memuliakan diri, serta mendengarkan suara-suara diri yang sejatinya selalu ingin kedamaian.

Kepada anak muda itu, saya menitipkan pesan untuk tidak terlampau lama dalam lembah sedih dan gulana. Bahagiakan diri dengan berkunjung ke banyak tempat, jalani berbagai petualangan yang yang menaikkan adrenalin, nikmati berbagai kesenangan, isi masa mudamu dengan penuh penjelajahan, bertemulah dengan banyak orang baik yang bisa berbagi pengalaman.

Kuatkan diri dengan cara menguatkan orang lain. Senangkan diri dengan cara berbagi pengetahuan serta niat baik kepada banyak orang. Basuh diri dengan selalu menyaksikan kebaikan-kebaikan, kerja-kerja untuk orang banyak, serta menyerap berbagai ketulusan dan keikhlasan dari orang baik yang bertebaran di tengah masyarakat kita.

Pada akhirnya, semua peristiwa dalam hidup akan selalu mendewasakan. Hanya dengan damai dan tenang, semua persoalan bisa diselesaikan. Saatnya mengubah diri sebagai figur yang selalu menemukan embun dan solusi di balik setiap kejadian. Saatnya jadi kupu-kupu dan terbang tinggi. Saatnya merenungi petuah Bunda Theresa, “Ketimbang mengutuk kegelapan, jauh lebih baik jika menyalakan lilin.”


Bogor, 13 Oktober 2015



0 komentar:

Posting Komentar