ilustrasi |
Saat seseorang sahabat melakukan hal yang
tidak berkenan di hatimu sekalipun,
dia tetaplah sahabatmu.
INI kisah tentang pemimpin bangsa Mongol
bernama Jengis Khan. Dalam setiap pertempuran, ia selalu datang dengan memakai
baju zirah terbuat dari besi, pedang panjang yang amat tajam, serta seekor
burung rajawali. Baju zirah melindunginya dari tebasan musuh, pedang tajam membantunya
mengalahkan musuh, dan rajawali menolongnya untuk mengenali musuh dari
kejauhan.
Dalam satu pertempuran, ia terpisah dari
rombongannya. Ia lalu berjalan seorang diri ke dalam hutan dalam keadaan
kehausan. Ia lalu melihat ada tetes-tetes air mengalir di satu tebing. Ia lalu
melepas cawan perak dari pelana kuda yang kerap dibawanya. Ia lalu mengambil
air melalui cawan itu, kemudian mendekatkan ke bibirnya demi untuk diminum.
“Tring...!”
Rajawalinya tiba-tiba saja mematuk cawan
peran itu hingga airnya tumpah lalu jatuh. Jengis Khan terheran-heran. Ia
kembali mengambil cawan itu lalu menadah air yang menetes. Ia lalu bersiap
meminumnya.
“Tring...!”
Kembali rajawali mematuk. Jengis Khan
mulai murka. Emosinya naik hingga ubun-ubun. Wajahnya memerah karena menahan
marah. Rajawali itu telah bertindak kurangajar. Rajawali itu tak tahu bahwa
dirinya tengah kehausan setelah lama berjalan dalam keadaan lelah.
Rajawali itu tak tahu kalau nyawanya sangat bergantung pada tetes demi tetes dari air menetes itu. Daripada dirinya tewas kehausan, maka lebih baik rajawali itu yang tewas. “Mampus kau rajawali,” gumamnya.
Rajawali itu tak tahu kalau nyawanya sangat bergantung pada tetes demi tetes dari air menetes itu. Daripada dirinya tewas kehausan, maka lebih baik rajawali itu yang tewas. “Mampus kau rajawali,” gumamnya.
Ia kembali mengambil cawan perak itu lalu
menghimpun air. Saat hendak minum, kembali Rajawali itu mendekat dan mematuk
tangannya.
“Tring...!”“Crash...”
Cawan perak itu jatuh. Namun, kepala
rajawali tiba-tiba saja terpenggal akibat ditebas dengan pedang tajam Jengis
Khan. Ternyata, kesabaran pemimpin Mongol itu ada batasnya. Di tengah rasa haus
serta lapar yang melilit perutnya, ia memutuskan untuk memenggal rajawali itu
yang telah tiga kali menghalanginya untuk meminum air.
Kini, ia mengambil cawan itu. Aneh, sebab
air tiba-tiba saja berhenti menetes. Ia curiga. Ia lalu menaiki tebing itu demi mendatangi sumber
airnya. Astaga, ia sungguh terkejut saat melihat bahwa di atas tebing itu, ada
ular besar yang mati dalam keadaan terbuka mulutnya. Bisa yang keluar dari
taring ular itu telah mencemari air yang lalu menetes ke bawah.
Jengis Khan seketika sadar. Bahwa rajawali
itu berniat untuk melindunginya. Andaikan ia meminum air itu, maka pastilah ia
yang tewas seketika. Ia lalu dicekam rasa bersalah. Ia lalu terduduk sembari
sesunggukan saat mengingat rajawali kesayangannya yang malang.
Dibawanya bangkai rajawali itu ke
kerajaannya. Ia lalu meminta seorang seniman untuk membuat patung rajawali
besar yang terbuat dari perunggu. Pada satu sayap rajawali, tertera tulisan, “Saat
seseorang sahabat melakukan hal yang tidak berkenan di hatimu sekalipun, dia
tetaplah sahabatmu.”
Sementara di sayap satunya tertera
kalimat, “Tindakan apa pun yang dilakukan dalam angkara murka hanya akan
membuahkan kegagalan.”
***
Kisah Jengis Khan itu saya temukan dalam
buku karya Paolo Coelho yang berjudul Like the Flowing River. Pesannya sangat
kuat yakni tidak semua tindakan yang nampak jahat terhadap kita adalah jahat.
Boleh jadi, tindakan itu justru berniat positif untuk menyelamatkan diri kita. Sebaliknya,
tak semua puja-puji dan kagum pada kita bertujuan positif. Boleh jadi, ada niat
jahat yang bersemayam di baliknya.
Kehidupan seringkali punya banyak kejutan.
Kita kerap marah besar saat sahabat atau orang terdekat kita menyodorkan rasa
pahit dalam mulut kita. Kita kesal dan mengeluarkan semua makian dan kalimat
kasar.
Namun, keesokan harinya, kita terkejut saat tubuh kita, yang sedang sakit, berangsur sehat. Ternyata rasa pahit itu adalah rasa obat yang menyembuhkan. Dipikir pahit adalah rasa yang tak nyaman, ternyata malah menyembuhkan kita.
Namun, keesokan harinya, kita terkejut saat tubuh kita, yang sedang sakit, berangsur sehat. Ternyata rasa pahit itu adalah rasa obat yang menyembuhkan. Dipikir pahit adalah rasa yang tak nyaman, ternyata malah menyembuhkan kita.
Pribadi yang sehat selalu bisa menyerap
setiap pengalaman untuk membangkitkan kekuatan dahsyat bagi dirinya. Hal
negatif sekalipun bisa menjadi kekuatan penyembuhan yang dahsyat bagi tubuhnya.
Sementara pribadi yang sakit adalah pribadi yang selalu melihat segala hal dari
sisi negatif. Bahkan hal positif sekalipun, bisa saja menjadi negatif di
matanya.
Semuanya berpulang pada kemampuan kita
mengolah dan memaknai setiap keping realitas secara utuh. Semuanya kembali pada
kekuatan kita untuk mengolah segala tindakan menjadi energi positif. Seorang
biksu pernah berujar bahwa pikiran akan menentukan realitas. Di saat kita
melihat sesuatu secara positif, maka realitas akan mengikuti gerak pikiran
kita. Demikian pula sebaliknya.
Di tanah Mongol, Jengis Khan mengajarkan
hal lain yang juga penting. Bahwa tindakan apapun yang diambil dalam keadaan
marah, maka pasti akan berujung pada kegagalan. Di tanah lain, orang-orang arif
telah lama mempraktikan ajaran leluhur tentang pengendalian amarah.
Para sufi telah lama mengenal bacaan dalam kitab untuk menstabilkan aliran darah yang mengalir tak menentu. Para biksu membacakan berbagai mantra dan mengatur napas untuk menemukan inner peace.
Para sufi telah lama mengenal bacaan dalam kitab untuk menstabilkan aliran darah yang mengalir tak menentu. Para biksu membacakan berbagai mantra dan mengatur napas untuk menemukan inner peace.
Saat emosi mengepung pikiran, maka itulah
saat untuk bermeditasi. Itulah saat untuk mengendalikan pikiran agar tidak liar
dan menerabas ke mana-mana. Itulah saat tepat untuk salat agar pikiran kembali
jernih dan terang. Itulah saat untuk sesaat melakukan refleksi sehingga gerak
pikiran menjadi lebih tertata. Itulah saat-saat merenung sehingga manusia
mengalami pencerahan.
Itulah saat-saat bagi kepompong untuk menjadi kupu-kupu yang sayapnya mengerjap indah dan bebas ke mana-mana.
Itulah saat-saat bagi kepompong untuk menjadi kupu-kupu yang sayapnya mengerjap indah dan bebas ke mana-mana.
Baubau, 6 Oktober 2015
Seusai membaca buku yang ditulis biksu Ajahn Brahm
0 komentar:
Posting Komentar