Di Jakarta sana, seorang anggota DPR
ditangkap dalam satu operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Publik hanya fokus pada sang politisi, tanpa melihat lebih jauh
bahwa sebenarnya yang terjadi adalah upaya lobi untuk kepentingan daerah yang
ditempuh melalui cara-cara tak terpuji. Yang sedang terjadi adalah negosiasi
orang daerah untuk mengalirkan dana ke wilayahnya, yang kemudian disambut oleh
semangat mencari rente dari orang pusat.
Publik hanya melihat operasi tangkap
tangan, tanpa melihat substansi betapa sulitnya orang daerah ‘memaksa’ orang
pusat untuk sesaat berpaling pada satu titik dalam peta Indonesia yang maha
luas dan penuh kepentingan. Di tengah situasi begini, para politisi kerap menawarkan
satu jalan tol demi memuluskan lobi sehingga pembangunan bisa bergerak. Sayang,
jalan tol itu diperlicin oleh sejumlah dollar yang bisa berujung ke jeruji
tahanan.
Bagaimanakah membaca fenomena ini?
***
HARI itu, saya melintas jalan dari Polewali
Mandar menuju ke Mamasa yang terletak di pegunungan Sulawesi Barat. Sepanjang
jalan menanjak itu, saya melihat jalanan yang kondisinya rusak parah. Padahal,
di kiri kanan jalan terdapat banyak jurang yang siap menelan kendaraan yang
lengah.
Di satu dangau dekat bukit, saya meminta
sopir sesaat menepi. Saya lalu melemaskan badan yang pegal-pegal menempuh rute
yang berat itu. Saya lalu menyalakan kretek, lalu menghembuskan asapnya secara
lepas demi menghalau penat serta hawa dingin. Seorang kawan dari Pemda Mamasa
lalu datang mendekat dan bergabung. Saya menyodorkan sebatang rokok kretek.
“Mengapa jalan ini tak juga diperbaiki?” tanya saya.“Ini jalan nasional. Yang berkewajiban untuk memperbaikinya adalah pemerintah pusat”“Trus, kenapa pemerintah pusat tidak memperbaikinya?“Kami sudah beberapa kali mengajukan anggaran. Yang kami terima hanya janji-janji”“Mengapa tak melalui politisi Sulbar di DPR RI?”“Mereka sudah coba. Tapi gagal. Mereka hanya berjumlah tiga orang. Jelas kalah lobi,” katanya.
Saya memikirkan kalimat sahabat itu.
Begitu luasnya provinsi ini. Tapi dikarenakan jumlah penduduknya yang tidak
besar, maka hanya diwakili oleh tiga orang saja di parlemen. Bandingkan dengan
kabupaten di Jawa Barat yang kadang diwakili oleh sembilan anggota DPR RI. Bagi
orang daerah, jumlah yang sedikit bisa berpengaruh pada sejauh mana lobi dalam
hal mengalirkan dana pembangunan. Setidaknya, jumlah banyak bisa mempengaruhi
wacana dan sesaat membuat pihak pusat berpaling, Jumlah yang sedikit tak
leluasa berbuat banyak untuk sekadar mengubah wacana daerah menjadi wacana
penting yang harusnya bisa mengulurkan tangan negara di tingkat pusat.
Tentu saja, ada banyak faktor yang bisa
mempengaruhi mengapa jalan itu mangkrak. Yang saya pikirkan adalah jarak yang
cukup lebar antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hampir setiap saat
orang daerah datang ke Jakarta untuk sekadar melobi-lobi anggaran. Mereka
berharap bisa mendapatkan remah-remah dari proyek-proyek strategis dan
pembangunan yang kesemuanya didesain dan ditentukan dananya oleh orang pusat.
Memang, sejak era otonomi daerah, ada
banyak dana yang mengalir ke daerah. Perimbangan keuangan pusat dan daerah
merupakan konsekuensi dari desentralisasi penyerahan urusan pusat dan daerah.
Prinsip money follow function yang
bermakna pendanaan harus mengikuti pembagian urusan dan tanggung jawab dari
masing-masing tingkat Pemerintahan. Yang terjadi, tak semua daerah bisa
mengelola dana alokasi umum (DAU) dengan bijak. Banyak daerah yang menghabiskan
lebih 50 persen anggarannya untuk belanja pegawai. Malah ada yang sampai 75
persen.
Biasanya, daerah-daerah ini akan sesegera
mungkin mencari lobi demi mendapatkan dana pemerintah pusat. Apalagi, sejak
lama menjadi pertanyaan besar, apakah kebijakan perimbangan keuangan antara pemerintah
dan pemerintah Daerah terkini, sudah dilakukan secara proporsional, adil,
demokratis dan sesuai dengan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah?.
Riset FITRA menunjukkan betapa banyaknya
dana yang dipegang pemerintah pusat serta membuka peluang untuk lahirnya
praktik mafia anggaran. Salah satu kasus yang masih hangat adalah dana
penyesuaian infrasturktur, yang sarat dengan kepentingan politik dan membuka
ruang praktek mafia anggaran.
Banyak daerah yang kemudian berjibaku
untuk mendapatkan dana perbaikan infrastruktur ini. Mereka mengoptimalkan
berbagai kanal untuk mendapatkannya. Teman-teman di daerah sering bercerita
tentang betapa banyaknya pintu yang harus dilewati agar bisa bertemu orang
pusat. “Mulai dari pos satpam, saya sudah harus siapkan uang pelicin. Semakin
ke atas semain besar pelicin yang disiapkan,” kata seorang kawan dari daerah.
Tak hanya itu, saat melobi dan membawa
proposal di kementerian, orang daerah diarahkan untuk melobi para key person yang dianggap bisa membuka
kunci anggaran. Boleh jadi mereka adalah pejabat, atau barangkali sejumlah
keluarga pejabat yang dengan lihainya bisa mengatur urusan APBN negara dan
memasukkan proposal itu sebagai prioritas negara. Jika besar dana yang
disiapkan, maka besar pula kemungkinan menang persaingan dengan demikian banyak
daerah lain yang juga mengincar dana yang sama.
***
DI satu kafe mewah di sudut Jakarta, saya
bertemu lelaki itu. Ia adalah seorang bupati dari satu daerah di kawasan timur.
Ia datang ke Jakarta sembari memebawa beberapa stafnya di daerah. “Tujuan kami
hanya satu. Kami ingin menjolok anggaran di pusat supaya turun ke daerah,”
katanya.
Di beberapa daerah yang saya datangi, ternyata
ada istilah “jolok anggaran di pusat.” Orang daerah berasumsi bahwa anggaran
itu serupa buah manis yang berada di pucuk pohon, sehingga membutuhkan penjolok
untuk mendapatkannya. Bagi mereka, salah satu keberhasilan pemerintah daerah
adalah ketika banyak dana yang masuk, ketika banyak infrastruktur yang dibangun
di tengah keterbatasan, serta banyaknya pihak yang diuntungkan oleh satu rezim
pemerintahan.
Biasanya, pola yang ditempuh adalah melobi
melalui sejumlah politisi atau anggota DPR RI yang dianggap punya akses ke
anggaran ataupun kementerian teknis. Komunikasi intensif dibangun dengan staf
ahli anggota dewan, lalu perlahan membangun deal-deal dengan beberapa pihak.
Biasanya, ada dana yang dikelyarkan sebagai awal. Pada saat seperti ini,
pengusaha lokal lalu menalangi dana awal dengan harapan agar kelak dirinya yang
mengelola proyek. “Istilahnya, itu semacam penyertaan modal,” kata sang bupati.
Dana itu lalu bergerak ke banyak pihak
yang menjadikan politik kita serupa praktik berjamaah yang melibatkan banyak
orang. Dana itu akan menjadi jalan tol yang bisa membuat proposal bergerak maju
demi mendapatkan anggaran infrastruktur yang besar. Lobi dengan anggota dewan
ini adalah kunci untuk mendapatkan banyak proyek yang lalu bergerak ke daerah.
Tentu saja, yang diuntungkan adalah kedua
belah pihak. Orang pusat dan orang daerah sama-sama mendapatkan “dana bagi
hasil.” Semua pihak-pihak yang mengurus proyek-proyek ini akan kebagian jatah
pula. Logikanya, tak mungkin ada air mengalir melalui keran, tanpa membuat pipa
itu basah. Praktik ini menjadi lingkaran yang terus direproduksi, menguntungkan
banyak pihak, hanya saja merugikan negara yang tiba-tiba saja mengeluarkan
biaya politik dari praktik percaloan ini.
***
KEMARIN, saya menyaksikan televisi dan
melihat berita tentang tertangkapnya seorang anggota dewan dari Partai Hanura.
Namanya Dewi Yasin Limpo. Ia bersikukuh bahwa dirinya tak bersalah. Ia tidak
menerima uang sepeserpun. Ia mengaku bersih dari segala tuduhan. Ia ditahan KPK
terkait tuduhan dirinya yang terlibat kongkalikong untuk menggolkan proyek
listrik mikro hidro di Kabupaten Deiyai, Papua. Ia ditangkap bersama tenaga
ahli, rekanan pengusaha, serta pejabat Kabupaten Deiyai, Papua. Melihat mereka yang tertangkap, saya hanya bisa menduga-duga bagaimana jejaring itu bekerja. Polanya banyak sama dengan kasus-kasus lain.
Rasanya tak adil jika dirinya disalahkan
seorang diri. Dia memang layak dibela dalam hal melihat mata rantai persoalan
secara lebih luas. Bukan berarti kita membelanya tidak bersalah, melainkan menjamin hak-haknya untuk memastikan bahwa siapapun jaringan yang bekerja dengannya harus terungkap. Jika memang salah, maka tindakannya tentu melibatkan banyak orang, serta jejaring yang bekerja
untuknya. Dirinya harus dilihat sebagai pemantik dari jejaring yang lebih besar,
yang selama ini menggunakan cara-cara sedikit licin untuk meneguhkan kuasa.
Saatnya berrefleksi tentang bagaimana cara
membagi pembangunan agar merata di seluruh daerah. Marilah kita melihat cermin
diri kita apakah kita memang berniat melayani ataukah berniat mencari rente
dari satu proses politik. Marilah kita merenungi sisi terdalam diri kita.
Marilah kita mengeja aksara yang setiap hari kita catat di buku kehidupan kita,
yang kelak akan diaudit Yang Maha Pencipta.
22 Oktober 2015
BACA JUGA:
2 komentar:
Keren.... alurnya ceritanya enak, dan mudah dipahami...
Membuka wawasan sy pribadi. Terhentak, teenyata sebegitu parah jalur kita untuk "menbangun" daerah.
Posting Komentar