Bermula dari Menyibak Kabut




Seseorang bertanya tentang sukses terbesar dalam hidup.

TERDAPAT banyak hal yang saya anggap sebagai sukses terbesar dalam kehidupan. Saya melalui banyak peristiwa penting yang memberikan pelajaran berharga tentang makna kesuksesan. Namun jika harus memilih satu hal, maka saya akan menyebut sukses terbesar saat pertama kali bisa menghasilkan buku bersama masyarakat Pulau Buton, yang kemudian sukses menginspirasi banyak orang.

Pada tahun 2009, saya kembali ke kampung halaman di Pulau Buton, setelah lama merantau ke berbagai kota besar. Saya lalu membangun komunitas demi merencanakan banyak hal-hal baik bagi masyarakat. Saya merasakan ada energi besar dari banyak orang untuk membahas tema-tema budaya, hanya saja, tak ada wadah untuk menyalurkan energi besar tersebut.

Memang, ada media lokal serta radio komunitas. Hanya saja, media itu tak memadai untuk menampung berbagai diskusi serta wacana mengenai budaya dan tradisi. Padahal, di banyak tempat, saya menemukan banyak diskusi menarik mengenai wacana lokal yang bisa memicu debat panjang. Saat itu, saya semakin yakin bahwa upaya untuk menampung energi berpikir akan sangat baik jika diimplementasikan dalam bentuk publikasi.

Hal lain yang mendasari niat saya untuk membuat buku adalah hampir tak pernah saya temukan penulis di level masyarakat lokal. Yang hilang adalah tafsir dari dalam, khususnya mengenai tema-tema budaya dan sejarah. Yang banyak muncul adalah penafsiran ilmuwan bangsa lain, khususnya Belanda, mengenai budaya serta wacana lokal di sekitar kami.

Didorong oleh hasrat untuk merekam dan menyalurkan energi besar itu, saya lalu merancang terbitnya buku. Saya mengajak teman-teman yang baru kembali ke daerah. Kami lalu mengundang beberapa orang yang kami anggap mumpuni untuk sama-sama bergabung dalam proyek buku bersama. Masalah demi masalah datang. Banyakw arga lokal yang tak terbiasa menulis. Banyak pula yang merasa tak percaya diri sehingga enggan bergabung.

Demi menyiasati persoalan itu, saya lalu merancang pelatihan menulis. Pesertanya adalah warga kampung, mulai dari imam masjid, tokoh masyarakat, budayawan lokal, serta beberapa orang tua yang suka mencatat-catat sejarah. Pelatihan itu bertujuan untu mengalirkan berbagai tema-tema yang mengendap di kepala. Saya percaya bahwa semua orang bisa punya style atau gaya sendiri dalam menulis. Pelatihan hanya menjadi arena untuk mengeluarkan semua gagasan-gagasan itu, bukan untuk menyeragamkan cara menulis.

Masalah lain mencuat lagi. Saya dan teman-teman belum punya pengalaman menerbitkan satupun buku. Makanya, kami juga ragu-ragu dan bertanya dalam diri, apakah kami bakal bisa menerbitkannya. Hebatnya, di tengah situasi itu, kami selalu optimis dan yakin. Tak ada ruang untuk pesimisme, sebab pesimisme bisa mempengaruhi semangat masyarakat yang sedang kami latih.

Buah pelatihan dan diskusi intens itu mulai nampak setelah dua bulan. Saya terkejut melihat antusiasme serta semangat semua orang yang kemudian melahirkan buku berjudul Menyibak Kabut d Keraton Buton. Saya bahagia sekali bisa menjadi editor serta menuliskan beberapa catatan penting tentang sejarah dan budaya Buton.

Buku ini menjadi awal dari beberapa buku yang dihasilkan bersama komunitas. Setelah buku itu, saya lalu mengeditori buku Naskah Buton Naskah Dunia, yang isinya adalah berbagai tulisan tentang naskah Buton yang nyaris tenggelam di lipatan sejarah. Buku lain adalah Negeri Seribu Benteng, lalu Tafsir Ulang Sejarah Buton. Semua buku-buku ini menjadi bestseller di tingkat lokal dan mengalahkan penjualan buku-buku laris di Jakarta, seperti Laskar Pelangi. Tak hanya itu, buku saya lalu dikoleksi banyak perpustakaan di luar negeri, sebagai publikasi tentang Buton yang terbaru.

Berkat buku ini, saya lalu mendapat banyak hal-hal baik. Mulai dari kesempatan mendapatkan beasiswa ke Amerika Serikat (AS), mengedit buku yang ditulis oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, hingga pengalaman menjadi pembicara mengenai topik budaya dan sejarah lokal. Semuanya dimulai dari buku pertama yang dengan susah payah dilahirkan bersama masyarakat lokal.

Yah, demikian sekelumit kisah tentang sukses terbesar.

0 komentar:

Posting Komentar