BOCAH itu datang bermain ke pantai.
Bersama rekan-rekannya, ia berlarian. Saya menyaksikan dari jauh. Ketika mereka
lelah dan beristirahat, saya mendekat. Menyaksikan kamera yang saya bawa,
bocah-bocah itu lalu merapat sembari berkata, “Om, foto kita dulu.”
Saya lalu memotret. Seorang anak perempuan
paling bersemangat difoto. Saya pun menyenangi ekspresinya yang natural.
Biasanya, seusai memotret, mereka ingin melihat hasilnya. Saat menemukan
wajahnya di layar kamera, mereka langsung tersenyum dan berteriak kegirangan.
Mereka adalah anak para nelayan di pesisir
Raja Ampat, yang terletak di Papua Barat. Mereka bergembira atas banyaknya para
turis yang berkunjung ke wilayahnya. Mereka riang karena wilayahnya ramai.
Sayang, mereka tak tahu apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Mereka tak banyak
bertanya pada ayah mereka, betapa kehidupan tidak menjadi sederhana seiring
dengan kian banyaknya turis yang berdatangan.
Di tepi pesisir Pulau Waigeo, seorang
nelayan nampak memandang laut. Di hadapannya, terdapat perahu jenis kole-kole yang sering digunakannya untuk
ke laut. Ia sangat bersemangat ketika saya datang untuk mengajaknya berbincang.
Ia bercerita tentang limpahan ikan di beberapa titik di laut sana. Saat diminta
membandingkan pendapatan antara dahulu dan kini, ketika Raja Ampat jadi surga
wisata, ia tiba-tiba saja terdiam.
Ia berkisah, dahulu Raja Ampat adalah
surganya para nelayan yang setiap melempar kail, pasti akan mendapatkan ikan
besar. Laut adalah semesta yang selalu menyediakan semua hal yang menunjang
kehidupan. Lautan amatlah ramah sebab menyediakan apapun yang dibutuhkan para
nelayan. Tak hanya itu, lautan adalah lanskap tempat para nelayan melukis
hari-harinya. Laut adalah simbol eksistensi.
Seiring waktu, Raja Ampat menjadi
destinasi wisata. Para turis dan peneliti berdatangan. Kampanye konservasi
dimulai. Pada wilayah tertentu, para nelayan dilarang menangkap ikan. Jika
dahulu ikan hanya difungsikan sebagai pangan, maka kini ikan menjadi penghias
agar bawah laut tetap cantik.
Nelayan itu bercerita bahwa wacana
konservasi justru menjauhkan nelayan dari laut. Area tangkapan menjadi
terbatas. Para nelayan itu harus menangkap ikan di laut dalam. Sementara mereka
justru tak punya banyak akses pada teknologi menangkap ikan di lautan dalam.
Di sisi lain, banyaknya nelayan asing yang
datang dengan membawa teknologi penangkapan ikan yang canggih, kian menjauhkan
para nelayan dari lautan. Mereka hanya mendapatkan remah-remah dan sisa-sisa yang
justru tak banyak mendatangkan hasil bagi mereka. Kisah para nelayan hari ini
adalah kisah getir di tenga wacana konservasi dan semakin populernya Raja Ampat
sebagai destinasi wisata dunia.
Dahulu, Raja Ampat adalah surga bagi para
nelayan. Kini, Raja Ampat tetap menjadi surga, namun bukan buat nelayan. Raja
Ampat telah menjadi surga bagi para wisatawan dan turis asing yang melihat
pulau-pulau itu dengan penuh kekaguman. Ketika pertama memasuki wilayah ini,
saya banyak melihat tulisan “Raja Ampat:
A Piece of Paradise.” Benar, tempat ini adalah kepingan surga yang jatuh ke
bumi. Para turis itu melihat eksotisme. Mereka lalu tinggal, membeli resort,
lalu mempromosikan tempat itu ke mana-mana, sekaligus melarang nelayan untuk
mengambil ikan.
Para nelayan itu tak paham tentang wacana
bahwa pulau itu adalah surga. Mereka juga tak banyak tahu apa itu konservasi.
Mereka dipaksa menerima pesan kampanye bahwa konservasi kelak akan menjamin
kesediaan ikan di wilayah itu. Tapi tetap saja ada suara getir yang bermunculan.
“Bukankah area tangkapan yang menyempit hari ini telah memasung segala
aktivitas dan daya jelajah nelayan di laut sama? Siapakah yang paling
diuntungkan dengan wacana surga dan koservasi itu? Apakah nelayan ataukah para
turis dan pengusaha resort sana?”
Saya tak bisa menjawab. Saya sedang
memikirkan kultur dan tradisi yang dibawa para pendatang berlabel wisata itu.
Barangkali ada benturan budaya di situ, di mana warga setempat akan melihat
contoh tentang kemodernan, lalu memandang dirinya tradisional. Barangkali ada
anggapan tentang standar-standar kemajuan melalui pariwisata, yang kemudian
menjadi standar untuk dikejar.
Barangkali, para nelayan itu lalu
berkeinginan agar anaknya sebagaimana para turis yang datang itu. Tak ada lagi
yang menjaga lautan dan seisinya. Tak ada lagi yang hendak melanjutkan marwah
nelayan, yang memiliki tradisi hebat yang terukir di ombak dan buih lautan.
Kian tahun, jumlah nelayan akan semakin berkurang. Kelak, para nelayan
tradisional itu hanya menjadi jejak yang dituturkan turun-temurun
Saya hanya bisa menatap anak-anak nelayan
yang bermain dengan penuh riang gembira. Mereka masih terlampau muda untuk
memahami betapa banyaknya hal yang berubah belakangan ini. Semoga saja
keceriaan mereka adalah sesuatu yang terus bertahan, seiring dengan kian
membaiknya kehidupan para nelayan. Semoga saja mereka bisa menghidupkan asa
kita sebagai bangsa maritim.
Di saat membayangkan para nelayan itu,
bocah perempuan yang tadi dipotret kembali datang. “Om, apa bisa foto saya
sekali lagi? Saya ingin bikin foto yang paling cantik.”
Raja Ampat, 23 November 2014
0 komentar:
Posting Komentar