KALI ini saya ingin bercerita tentang
bahasa Inggris. Di media sosial, banyak orang yang mencela kemampuan presiden
kita berbahasa Inggris. Dugaan saya, para pencela itu tak pernah merasakan
bagaimana tinggal di negara berbahasa Inggris.
Jika pernah, pastilah mereka akan sadar
bahwa bahasa hanyalah satu medium untuk menyalurkan gagasan. Di luar bahasa,
ada aspek yang jauh lebih penting yakni sedalam apa kita bisa menyelam di
lautan gagasan, seberapa banyak mutiara pengetahuan yang kita kumpulkan, serta sejauh
mana kita berenang di samudera ide-ide lalu menghamparkannya untuk menyampaikan
maksud.
Tanpa bermaksud narsis, saya ingin berkata
bahwa saya pun pernah kuliah di satu kampus di negara yang berbahasa Inggris. Dahulu,
saya pernah merasa amat minder dengan kemampuan bahasa. Bahkan ketika pertama
kuliah, saya sempat pesimis bahwa boleh jadi saya akan terusir dari kampus dikarenakan
persoalan bahasa.
Saya masih bisa mengingat hari pertama
kuliah. Hari itu, kuliah perdana di mulai. Saya belajar tentang Communication
and Development yang diasuh Vilbert Cambridge. Kelas sudah ramai dengan
mahasiswa dari berbagai bangsa. Dengan langkah gontai, saya menuju kelas. Di
depan kelas, saya bertemu dengan seorang mahasiswa asal Afganistan, Latvia, dan
Jerman. Mereka sedang berbincang-bincang dan bercanda. Bahasa Inggrisnya amat
fasih. Saya minder.
Kelas dimulai. Cambridge bercerita tentang
aspek penting dalam komunikasi dan pembangunan. Ia fasih membedah teori Wilbur
Scramm hingga beberapa sosok seperti Paolo Freire dan Amartya Sen. Presentasinya
menyihir. Semua terkesima. Saya tak paham secara detail apa saja yang
dikemukakannya. Tapi saya paham gambaran-gambaran besar yang hendak
disampaikannya. Saya paham ke mana arah pembicaraan, meskipun akan bingung
ketika diminta menerjemahkannya kata demi kata.
Sesi diskusi dimulai. Mahasiswa Amerika
dan Eropa amat suka berbicara. Mereka tak peduli idenya nyambung atau tidak,
yang penting berbicara. Saya tak bisa menangkap kata-kata mereka. Saat kelas
usai, saya bertemu dengan seorang mahasiswa asal Cina. Dengan kemampuan bahasa
pas-pasan, kami saling curhat tentang kemampuan kami yang hanya bisa menangkap
sekitar 20-an persen dari presentasi dosen. Baru saya tahu kalau ternyata ia
pun agak minder di kelas dengan kemampuan bahasa rekan-rekan lain. Saya tak
sendirian.
Minggu selanjutnya, jantung saya berdetak
lebih kencang. Hari itu, Cambridge meminta kami bercerita tentang memori
kolektif atas kolonialisme di negeri masing-masing. Saya deg-degan sebab seisi
kelas mesti berbicara. Mau tak mau, saya pun harus berbicara. Saat itu, saya
tak punya pilihan. Prinsip saya, apapun yang terjadi, terjadilah. Kalaupun
ngawur, yang penting saya telah mencoba. Saya tak ingin lari dari masalah.
Seorang teman asal Colombia bercerita
tentang bagaimana Spanyol mencengkeram negeri itu, serta hilangnya tradisi dan
budaya. Saya mendapat inspirasi. Tadinya saya hanya mau cerita tentang tahapan
penjajahan Belanda dan Jepang. Saya sudah menghafal tanggal dan tahun semalam
suntuk. Kalimat sahabat tadi membuat saya tertegun. Ketika diminta bicara, saya
memutuskan untuk tak menyampaikan bahan yang sudah saya hafalkan.
Saya memilih memaparkan ide tentang bagaimana
kolonialisme di Nusantara justru dimulai dari berpijarnya api ilmu pengetahuan.
Bangsa Eropa menemukan peta ke dunia timur, yang lalu menjadi kompas bagi
pelautnya untuk menggapai Nusantara. Penjajahan itu dimulai dari ekspedisi
untuk menemukan sumberdaya alam demi menjadi energi bagi mesin kemajuan di negeri-negeri
Eropa. Semua terdiam.
Saya tak tahu seberapa kuat gagasan itu.
Saya berpikir yang penting bicara. Saya tak peduli apakah kalimat itu memenuhi
kaidah bahasa Inggris yang baik ataukah tidak. Seusai berbicara, saya lalu
menutup kalimat dengan mengatakan, “Mohon maaf atas bahasa Inggris yang buruk
ini. Saya hanya coba berbicara yang saya ketahui, dengan kosa kata terbatas.”
Semua orang menampilkan wajah protes.
Bahkan Cambridge langsung berteriak, “Apa kau bilang? Justru bahasa Inggrismu
sangat bagus. Saya serasa mendengar siaran radio yang penyiarnya berbicara
dengan fasih.” Hampir semua mahasiswa di kelas mengiyakan. Padahal saya yakin
kalau kemampuan bahasa saya pas-pasan. Guru bahasa Inggris saya di Indonesia
mengatakan bahwa saya perlu banyak mengasah diri. Aneh, di negeri yang warganya
berbahasa Inggris itu, semua orang justru mengangguk ketika saya berbicara.
Mereka paham. Saya terharu.
Kelas perdana itu mendatangkan banyak
inspirasi. Saya mulai bersahabat. Bahkan seorang teman asal Afganistan yang
bahasa Inggrisnya fasih itu mulai menjadi sahabat akrab. Kami banyak mengambil
kelas yang sama. Pada setiap kelas, ia akan banyak berpendapat dan melontarkan
ide. Sementara saya hanya sesekali.
Di kelas Media Theory, pengajarnya agak
aneh. Setiap minggu, ia akan memberikan ujian tulis. Kami diminta menjawab soal
yang diberikannya berdasarkan bahan bacaan. Hasilnya akan diketahui seminggu
berikutnya. Ajaib, setiap minggu, nilai saya lebih tinggi dari sahabat itu.
Padahal, saya menjawab soal dengan kemampuan menulis bahasa Inggris yang
pas-pasan.
Ketika nilai-nilai mata kuliah lain
diumumkan, saya kembali tercengang. Nilai-nilai saya lebih tinggi darinya.
Bahkan ketika kami sama-sama lulus, nilai saya jauh melebihi dirinya. Saya
lulus dengan nilai yang baik, sementara sahabat itu lulus dengan nilai
pas-pasan. Padahal, ia sangat rajin, suka diskusi, dan tak pernah telat
mengumpulkan tugas.
Lantas, apa rahasianya?
Seorang profesor di kelas filsafat
membocorkan rahasianya. Dalam satu perbincangan di satu kafe saat kami
sama-sama menghangatkan badan dari salju, ia bercerita tentang kebijakannya
memberi nilai. “Saya tak pernah melihat kemampuan bahasa. Saya tidak sedang
mengajar tata bahasa. Saya jauh lebih peduli pada substansi. Biarpun bahasanya
ngawur, tapi jika yang disampaikan adalah substansi, saya akan memberikan
apresiasi. Ide-ide jauh lebih bernilai dari sekadar kefasihan bahasa,” katanya.
Saya terkesima. Sungguh, betapa bedanya
cara pandang kita dengan bangsa lain.
Kita seringkali lebih suka mengolok-olok kemampuan orang lain, tanpa mau
melihat sisi-sisi positif dari orang tersebut. Kita lebih suka mencela, padahal
boleh jadi kita pun berada di posisi yang sama dengan orang itu. Kita mencela
kemampuan bahasa Inggris seseorang, di saat bersamaan kita pun tak sefasih
orang yang dicela, atau jangan-jangan kita justru tak menemukan satu sisi
positif dalam diri kita sehingga kita lalu mengalihkannya dengan mencela orang
lain.
Banyak dari kita yang seringkali merasa
lebih sempurna. Kita menghina sembari menyembunyikan betapa banyaknya
kelemahan. Kita lebih suka bergunjing, mencela, atau menghina orang lain, tanpa
mengaktifkan seluruh indra kita untuk menyerap hikmah dan kearifan. Kita selalu
ingin melihat sesuatu sempurna, tanpa pernah mau menghargai proses setapak demi
setapak menuju kesempurnaan itu. Pada titik ini, kita lebih suka nyinyir, tanpa
pernah mau menunjukkan prestasi yang kita hasilkan. Tiba-tiba saya teringat
kata-kata mutiara yang dituliskan seseorang.
Great People Talk about IdeasAverage People Talk about ThingsSmall People Talk about Other People.
Nah, di manakah posisi kita?
Bogor, 10 November 2014
tengah malam saat susah bobo
BACA JUGA:
4 komentar:
wah, memotivasi banget, kang :)
semoga saya juga bisa study ke luar.amiin
Wah amazing. Rahasianya apa kang. Kok bisa lulus tapi bhs inggris kurang fasih.
Pakai beasiswa kan hrs dpt score IELTS/TOEFL yg tinggi : ( ingat itu jadi sedih.
Alhamdulillah trimksh ini sngt menginspirasi sy, dgn bhsa inggrs yg pas2an , sy akan tetap mantap melangkah menuju impian sy , aamiin
Terima kasih atas cerita yang anda buat saya sangat terinspirasi, saya juga sering minder dekat temen teman saya yang bisa berbahasa inggris. semoga saya bisa seperti anda . AMIN...
Posting Komentar