Maumere, Keping Sejarah, dan Perjumpaan Pertama


bunga di Sikka

KETIKA pesawat yang saya tumpangi mendarat di Maumere, ibukota Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), udara terlihat sangat cerah. Langit nampak biru. Pesawat itu mendarat di Bandara Frans Seda (dulu bernama Bandara Wai Oti), pukul tiga sore. Bandara ini cukup besar untuk ukuran sebuah ibukota kabupaten. Bangunan utamanya dua lantai. Di sekitar bangunan, terdapat banyak bunga-bunga yang bermekaran. Saya memotret beberapa di antaranya untuk keperluan brosur wisata.

Saya menumpang pesawat jenis Wings Air dari Denpasar. Dalam sehari, ada dua pesawat yang singgah di sini. Selain wings, maskapai Nam Air juga dua kali singgah ke Sikka. Saya lalu menyewa sebuah mobil jenis Avanza. Warga Sikka menyebut mobil pribadi ini sebagai taksi. Saya lalu menuju Blue Ocean Cottages yang menjadi base camp selama tinggal di kota ini. Jalanan tidak terlalu ramai. Aspalnya mulus.

Sang sopir di sebelah saya bercerita sekilas tentang Maumere. Katanya 80 persen penduduk Maumere adalah Katolik. Makanya, di kota kecil itu banyak terdapat gereja katolik. Ia juga bercerita tentang beberapa bangunan yang menjadi landmark wilayah. Misalnya patung Kristus Raja, patung Bunda Maria, serta beberapa gereja-gereja tua.

“Dari sedemikian banyak kota yang mayoritas beragama katolik, hanya Maumere yang pernah dikunjungi langsung oleh Paus Yohannes Paulus,” kata sopir itu menambahkan. Nampaknya, kedatangan Paus cukup monumental di wilayah itu. Sampai-sampai, masih diingat dan dijadikan sebagai topik diskusi kepada seseorang yang baru menginjakkan kaki di wilayah itu.

pesawat Wings Air
bunga-bunga kuning

Saya akhirnya tiba di Blue Ocean Cottages. Saya bertemu beberapa anak muda yang tengah duduk bergerombol. Saya mencium bau alkohol yang pekat di situ. Seorang anak muda berambut gimbal menyambut saya. Namanya Ridho. Ia membawa saya ke satu pavilliun yang kosong. Sayang sekali, rekan Sofyan Sjaf dan fasilitator Kiki manis sedang tak berada di tempat. Mereka sedang berperahu ke Pulau Babi, yang jaraknya sekitar setengah jam perjalanan. Kata Ridho, mereka berencana untuk snorkeling di pulau itu. Huh, saya iri.

Sembari menunggu mereka, saya lalu berkeliling cottages. Tempat ini nampak sangat alami. Atapnya dibuat dari ijuk. Kamarnya dihiasi dekorasi ala Sikka. Pohon kelapa dan tanaman nampak rimbun di sekitar hotel. Kata Ridho, cottages ini cukup laris di kalangan wisatawan asing. “Hampir setiap hari ada tamu di sini,” katanya.

Ia juga menjelaskan beberapa obyek wisata di Sikka. Sayangnya, obyek wisata itu jaraknya cukup jauh. Menurutnya, untuk mencapai gereja tua Sikka, butuh waktu sekitar 45 menit. Saya melirik jam di tangan yang telah menunjukkan pukul 5.30 sore. Saya memilih untuk tidak ke mana-mana sambil menunggu Pak Sofyan dan Kiki. Saya lalu membaca beberapa informasi tentang Maumere.

Menurut satu informasi, Maumere adalah kota terbesar di Flores. Kota ini lebih besar dari Lauan Bajo. Kota ini pernah tercatat sebagai daerah wisata yang cukup populer di tanah air. Dahulu, kota ini terkenal dengan taman bawah lautnya. Tapi sejak ada tsunami yang menerjang Maumere pada tahun 1992, wisata bawah laut langsung tiarap. Tak ada lagi turis-turis yang datang. Tak banyak lagi hotel dan homstay. Kalaupun ada wisatawan yang singgah ke kota ini, maka biasanya wisatawan itu sedang transit dalam perjalanan ke Taman Nasional Komodo.

Keberadaan Maumere tidak lepas dari Keuskupan Larantuka. Sebelum datangnya kekuasaan Hindia Belanda, Maumere dikenal dengan nama Sikka Alok atau Sikka Kesik. Di sinilah pedagang Cina, Bugis, dan Makassar saling barter hasil bumi dengan penduduk setempat. Mereka hilir mudik dan menetap tak jauh dari pelabuhan air yang disebut Waidoko. Pemerintah Hindia Belanda kemudian yang membuka kantor pemerintahannya di Sikka dan memberi nama-nama baru seperti Maunori, Mautenda, Mauwaru, Maurole, Mauponggo, Maulo’o, dan terakhir Maumere yang merupakan daerah di Sikka.




Menurut Ridho, agama Katolik sendiri pertama kali hadir di Maumere dikenalkan dua orang pastor Dominikan tahun 1566, yaitu P. Joao Bautista da Fortalezza. Keduanya mengenalkan agama ini di Paga, sebuah kota kecil sekitar 45 km arah Barat Maumere. Ada juga pastor Simao da Madre de Deos yang menjadi juru agama di Sikka. Mereka berdua dikirim oleh P. Antonio da Cruz dari Larantuka, di Timur Flores. Larantuka sendiri merupakan kota yang ternama dengan ritual agamanya yang disebut Semana Santa, minggu yang khidmat sebelum Minggu Paskah.

Saya masih ingin mencatat banyak hal tentang Maumere. Namun di pesisir laut sana, saya melihat satu perahu telah sandar. Tak lama kemudian, turun Sofyan Sjaf dan Kiki dari situ. Saya lalu mendekat sembari memotret. Kiki menyapa. Ada yang berubah. Kulitnya agak gelap di banding sebelumnya. Tapi tetap manis.


Maumere, 17 November 2014

0 komentar:

Posting Komentar