buku Islam di Mata Orang Jepang karya Hisanori Kato |
SIAPA sih yang tak mengenal Fadli Zon?
Hampir tiap hari wajahnya tampil di layar kaca. Sepanjang pilpres, ia selalu
tampil dan menjadi ‘pendekar berpedang’ untuk membela Prabowo. Ide-idenya
kontroversial, termasuk mengembalikan Orde Baru dan membela Soeharto. Ia
diapresiasi secara berbeda. Ada yang sangat mengaguminya sebagai pembela
jenderal paling hebat, namun banyak juga yang justru membencinya ketika muncul
di televisi. Namun, bagaimanakah sosoknya di mata seorang peneliti Jepang?
Apakah ia bisa memesonakan?
CERITA tentang Fadli Zon saya temukan
dalam buku Islam di Mata Orang Jepang karya Hisanori Kato, terbitan Kompas
2014. Sebagaimana lazimnya para antropolog, dalam buku ini, Kato bercerita
pengalamannya ketika melakukan riset tentang Islam di Indonesia. Dalam riset
itu, ia tidak fokus pada ajaran dan teks keislaman. Ia fokus pada bagaimana
Islam dipersepsi, dihayati, dan dijelmakan dalam sikap hidup para penganutnya.
Kato menuliskan beberapa sosok yang menurutnya
inspiratif serta menjadi representasi Islam di Indonesia. Ia menulis
pertemuannya dengan Gus Dur, Mohamad Sobary, Ismail Yusanto (Jubir HTI), Ulil
Abshar Abdalla, Abu Bakar Ba’asyir, hingga beberapa sosok muda seperti Eka Jaya
(anggota FPI) dan Fadli Zon. Pada beberapa tokoh itu, ia mengaku tidak sekadar
wawancara. Ia sedang belajar dan menyerap pengetahuan.
Saya tertarik membaca kisah perkenalannya
dengan Fadli Zon. Sebelumnya, saya memang tak punya banyak gambaran tentang
sosok ini. Pernah, saya membaca bukunya Politik Huru-Hara 1998, namun saya tak
begitu terkesan. Bagi saya, buku itu tidaklah sedahsyat karya sejarawan John
Roosa berjudul Pretext for the Mass Murder. Buku John Roosa sungguh mengagumkan karena
menyajikan fakta dan data yang detail tentang peristiwa 1965. Sementara buku
Fadli Zon tak meninggalkan jejak sebarispun dalam pikiran, kecuali di situ ada
pembelaan atas posisi Prabowo yang disudutkan.
Kato menggambarkan Fadli sebagai sosok
penting di balik peristiwa demonstrasi besar-besaran anti SDSB. Pada tahun
1980-an, pemerintah memiliki program Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah
(SDSB). Bentuknya adalah semacam lotere di mana setiap orang memiliki
iming-iming untuk kaya. SDSB ibarat taruhan memasang sejumlah nomor. Jika
tbakannya benar, maka akan mendapatkan hadiah. Jika tidak, maka bisa pasang
nomor lagi pada kesempatan lain. Bagi Fadli, kebijakan memasang SDSB itu ibarat
judi. “Hukumnya adalah haram,” katanya.
Rumah Budaya Fadli Zon |
Yang menarik buat saya, penggambaran
tentang Fadli adalah sosok generasi muda Muslim yang getol memperjuangkan
agama. Di saat wawancara itu, Fadli menginginkan agar Islam bisa diakomodasi di
ranah politik. “Seharusnya Islam terlibat aktif dalam politik. Saya memimpikan
Indonesia menjadi negara yang demokratis. Seperti anda ketahui, Indonesia
adalah negara yang mayoitas warganya beragama Islam. Dalam hal ini keterlibatan
warga Muslim sangat diperlukan,” kata Fadli kepada Kato.
Wawancara ini penting untuk memahami bahwa
pada mulanya Fadli memang tokoh yang berniat untuk menempuh jalan politik
melalui wacana keagamaan. Padahal, jalan hidupnya agak berbeda. Sebab ia pernah
menjalani sekolah menengah di Amerika Serikat (AS), pernah pula memiliki
keluarga angkat yang beragama Kristen. Makanya, dua tahun setelah Soeharto
turun, Fadli lalu bergabung dengan Partai Bulan Bintang (PBB) demi membumikan
gagasannya tentang Islam. Sayangnya, ketika terjadi perpecahan di tubuh partai
itu, Fadli lalu hengkang ke Inggris untuk belajar di London School of Economic
(LSE).
Inspirasi Fadli
SATU hal yang saya saluti pada Fadli.
Sosok ini cukup konsisten pada ranah kebudayaan. Ia rajin berburu koleksi
publikasi, kartu pos, dan segala hal menyangkut Indonesia di luar negeri.
Bahkan, ia juga mengumpulkan foto-foto bersejarah untuk dipajang di rumah
budaya dan perpustakaan yang didirikannya.
Dua tahun silam, seorang sejarawan yang
saya temui di negeri Paman Sam menyampaikan kekagumannya atas upaya Fadli Zon mendapatkan
koleksi foto saat Kartosuwiryo, pemimpin gerakan DI/TII, dieksekusi
pemerintahan Soekarno. Dokumen foto itu amat bernilai bagi para sejarawan yang
hendak memahami kejadian tersebut demi menyerap tetes-tetes hikmah.
Fadli mendirikan Rumah Budaya di Tanah
Datar, Sumatera Barat, daerah kelahiran Fadli. Di situ, ia memang sekitar 100
koleksi keris Minangkabau yang dikumpulkannya selama bertahun-tahun. Ia juga
mengoleksi lebih 700 buku bersejarah yang bertema Minangkabau, serta beberapa
koleksi bersejarah di antaranya keris Luk Sembilan asal pagaruyung yang dibuat
pada abad ke-18, songket lama, dan lukisan kuno. Ia juga memajang fosil kerbau
berusia dua juta tahun di rumah budaya itu.
Kecintaan Fadli pada ranah budaya dan
literasi juga diwujudkan dengan pendirian Fadli Zon Library di Jakarta. Ia
memiliki perpustakaan dengan koleksi buku sebanyak 40.000, koleksi koleksi
naskah kuno, dan koleksi koran tempo dulu. Beberapa koleksi lainnya adalah:
koleksi keris, tombak, pedang dan bandik dari berbagai kerajaan Nusantara,
koleksi perangko, koleksi uang logam (coin), koleksi patung dan lukisan
dari berbagai maestro seniman Indonesia, koleksi piringan hitam (long play)
dari musisi atau penyanyi Indonesia, koleksi rokok yang di produksi di
Indonesia, koleksi tekstil dan kain tua dari berbagai daerah, serta koleksi
kaca mata dari beberapa tokoh.
Sayangnya, artikel Hisanori Kato tentang Fadli
tidak menyajikan diskusi atau kisah-kisah mengapa Fadli lalu berbalik haluan
dan mendampingi Prabowo Subianto. Saya menyayangkan mengapa hal ini tak dibedah
lebih jauh. Sebab kisah perjumpaan dengan Prabowo serta pilihan politik Fadli
untuk mendampinginya pastilah menyimpan cerita yang menarik bagi semua
sejarawan dan pemerhati ilmu sosial.
Meskipun bulan termasuk pemilih Prabowo di
ajang pilpres, saya selalu penasaran untuk mengetahui alasan Fadli berada di sisi
jenderal itu. Sebagai budayawan dan pengkaji sejarah, barangkali ia punya sisi
lain yang tak banyak diketahui publik. Apakah sang jenderal membiayai
sekolahnya serta menjamin kehidupannya, sebagaimana rumor yang berseliweran di
dunia maya?
Jika benar sang jenderal itu membiayai
semua sekolah dan kehidupannya, maka pilihan politik Fadli akan menjadi cacat
di mata banyak orang. Sebab ia bergerak secara oportunis demi pemenuhan
kebutuhan pribadi, serta menjadikan kebudayaan dan kebenaran sebagai alat legitimasi
bagi seseorang. Namun jika pilihan itu didorong oleh pengenalan karakter, masa
silam, serta visi ke depan Prabowo, maka Fadli akan menjadi bagian penting bagi
sejarah masa depan. Mengapa? Sebab saya meyakini bahwa semua kebaikan pastilah
akan mendapatkan ruang terhormat di rumah sejarah kita. Kebaikan kadang kalah,
namun ia akan selalu memenangkan hati dan nurani banyak orang.
Semoga saja Fadli Zon berada di titik itu.
Entah.
Bogor, 3 November 2014
0 komentar:
Posting Komentar