apartemenku yang dipenuhi salju |
DAHULU
aku membayangkan salju sebagai kapas-kapas putih empuk yang turun dari langit.
Sering kubayangkan salju seempuk sofa, yang kemudian bisa diduduki sesuka hati.
Aku juga membayangkan betapa nikmatnya jika salju itu ditampung dalam wadah
lalu ditetesi syrup DHT (ala Makassar), kemudian disajikan sebagai es krim.
Yummy!
Jika
saja salju turun di kampungku, maka pastilah para penjual es pisang ijo akan
menjadi mahluk paling bergembira sejagad. Mereka tak perlu kesulitan memarut es
batu. Tak perlu menyiapkan papan persegi yang ditancapi paku, lalu digunakan
sebagai pengenggam es batu, yang kemudian diparut hingga keluar es. Salju akan
meringankan kerja para penjual es pisang ijo.
Dahulu,
kubayangkan salju sebagai musim yang romantis. Aku membayangkan duduk di
beranda rumah sambil menyeruput teh hangat yang ditaburi kayu manis. Kulihat
salju turun satu demi satu, lalu aku akan merangkai puisi. Aku membayangkan
seorang samurai bernama Katsumoto dalam film The Last Samurai, yang di saat
kematian hendak menjemput, ia masih bisa menyelesaikan satu bait puisinya.
Bukankah akan sangat romatis jika menulis puisi di tengah salju turun ke bumi?
Dahulu,
aku membayangkan salju sebagai saat-saat menyatakan perasaan. Dalam serial drama Korea berjudul
Winter Sonata, kebanyakan adegan romantis dibuat di tengah salju yang turun
bagai gerimis. Sang pria akan memandang sang perempuan di kejauhan sambil
menyeka air mata yang turun satu demi satu. Di tengah hamparan salju dan
sayatan biola yang melengking hingga mengiris-ngiris hati, sang wanita lalu
mengikatkan syal di lehernya, lalu berjalan di tengah pepohonan. Pria itu
memanggilnya, namun perempuan itu bersembunyi di dekat bukit salju sambil
meneteskan air mata. Biola lalu berbunyi dan menyayat hati. Bukankah itu sangat
romantis?
***
KINI,
aku melihat salju dengan cara lain. Di luar sana, salju sedang lebat. Aku
tertahan di kamar sempit yang terbantu oleh pemanas ruangan. Suhu udara minus
sepuluh. Aku tak mungkin ke mana-mana sebab salju akan menutupi jalanan,
membuat transportasi publik tak bisa bergerak, membuat semua toko dan kampus
akan tutup.
Kini,
salju mendatangkan kekhawatiran baru. Aku jadi rajin memantau ramalan cuaca.
Sebagaimana orang-orang bule lainnya, aku mulai khawatir dengan badai salju.
Ketika badai itu datang, pohon-pohon bisa bertumbangan. Kamu tak bisa ke
mana-mana. Ketika bahan makanan habis, kamu hanya bisa menahan lapar. Salju itu
telah mematikan aliran nadi lalu lintas.
Salju
membuat alam tak lagi indah. Sebelum salju turun, pohon-pohon terpaksa
menggugurkan daunnya. Bunga-bunga langsung lenyap ditelan bumi. Semua pohon
menjadi meranggas. Bahkan rumput pun enggan untuk tumbuh. Salju merusak lukisan
semesta yang warna-warni menjadi satu warna yakni putih.
kolam renang yang tertutup salju |
kampus jadi seperti kastil yang tertutup salju |
Kameraku
tak lagi melihat warna-warni alam berupa pohon-pohon hijau, danau biru,
bunga-bunga merah. Salju memaksa semuanya jadi berwarna putih. Baru kutahu
kalau salju itu seperti penguasa diktator yang memaksa warganya menjadi satu
warna.
Yang
paling kukhawatirkan adalah sakit asma yang bersarang di dadaku. Salju ini
seakan mempersilakan sakit itu untuk keluar dan menyiksa diriku. Salju itu
telah bersekongkol dengan sakit asma demi membuat diriku remuk di tengah
dingin. Aku membayangkan sbeuah horor. Jika sakit ini menikam dadaku, dan di
luar sana jalanan tak bisa dilalui, apa yang harus kulakukan? Haruskah aku
menggapai-gapai karena napas tertahan dengan langkah tertatih menuju pusat
rehabilitasi? Inikah saat untuk melafalkan kalimat-kalimat yang dulu kupelajari dalam kitab suci?
3 komentar:
Setiap hal memiliki sisi keindahan dan keburukan :) Hal itu yang membuat dunia tetap pada tempatnya ^^
iya. benar sekali..
thanks for sharing ya kak! setelah baca tulisan kakak, aku jadi dapet insight baruuu
oiya mampir ke web kampus aku yuk! di walisongo.ac.id
Posting Komentar