Rhoma Irama: Elektabilitas Versus EREKTABILITAS


Rhoma Irama
 
ENAM bulan silam, saya mengambil kelas yang diasuh salah satu begawan sejarawan nusantara, Willian Frederick di kampus Ohio University. Ia seorang sejarawan yang pengetahuannya amat luas dan menelisik Asia Tenggara mulai periode purba hingga periode modern. Ia juga menyenangi catatan biografi yang memungkinkan kita untuk belajar sejarah. Melalui pendekatan ini, sejarah menjadi tidak kaku. Sejarah seolah memiki napas, jiwa, serta denyut nadi, sebab dilihat melalui perspektif manusia yang hidup pada satu masa.

Di sampul silabus perkuliahan sejarah Asia Tenggara, yang diasuhnya, terpampang foto beberapa pahlawan nasional seperti Kartini, Sukarno, hingga Teuku Umar. Namun, yang membuat saya terejut adalah ketika melihat salah satu foto Rhoma Irama di tengah foto itu. Barulah saya tahu kalau sejarawan Ohio University ini pernah menulis tentang Rhoma pada jurnal ilmiah yang diterbitkan Cornell University. Pertanyaannya, mengapa harus Rhoma Irama?

Kata William Frederick, masa Orde Baru adalah masa ketika banyak seniman bermunculan untuk mengekspresikan pendapatnya atas situasi. Di masa ketika kekangan dan kontrol negara diberlakukan dengan amat ketat, ternyata terdapat banyak seniman yang melawan dengan caranya sendiri-sendiri. Di titik inilah kita akan berbicara tentang peran Rhoma dalam sejarah music dan sejarah perlawanan terhadap rezim Orde Baru.

Rhoma menempati posisi yang unik. Sebab ia menggunakan bahasa musik yakni dangdut sebagai sarana untuk berekspresi. Di masa itu, dangdut identik dengan musik jelata, dianggap sebagai musik kampungan, dianggap sebagai musik rakyat pedesaan, serta dianggap sebagai wakil dari karakter sub-urban, yakni mereka yang berurbanisasi ke kota demi sesuap nasi. Posisinya strategis sebagai suara kelas bawah yang hendak mencari bentuk melalui kritik pada pemerintah.

Di masa itu, Rhoma masih amat muda. Popularitas serta uang didapatnya dengan mudah. Seiring dengan pertambahan usia serta keinginan merambah bidang politik, ia lalu menjadi politisi yang suka pindah-pindah. Ia mulai tergoda dengan partai politik serta kekuasaan. Lirik lagunya tidak lagi seidealis ketika masih muda. Energi perlawanannya tergantikan dengan hasrat pada kekuasaan.

Angel Lelga
 
Seiring usia, ia mulai berjarak dengan rakyat. Gitarnya tak lagi mengeluarkan peluru pada kuasa. Ia lebih sibuk mengurusi Angel Lelga atau konflik dengan Inul Daratista ketimbang mengangkat suara jutaan rakyat jelata negeri ini. Ia tak peduli dengan kekuasaan yang mulai mengisap darah rakyat. Ia lebih suka gonta-ganti istri lalu menjadi juru kampanye partai politik berkat kefasihannya meyebut satu dua patah kata ayat suci.

Seperti apakah pandangan Frederick pada Rhoma di masa kini? Ia tersenyum ketika ditanya tentang itu. Ia hanya menjawab singkat, bahwa nampaknya Rhoma sering melakukan kesalahan yang tak patut dalam perjalannya di dunia politik. Rhoma sering mencari sensasi, sehingga energi kritiknya terbuang percuma, tanpa menyentuh sasaran hati rakyat Indonesia. Keterlibatanya di parpol, konflik dnegan Inul, hingga kasus Angel Lelga menjadi cacat-cacat yang mempengaruhi penilaian public atas dirinya.

Lantas, apakah Rhoma akan berhasil menaiki tangga kuasa? Frederick tertawa keras. Katanya, ingatan orang Indonesia selalu pendek atas sejarah. Dulu, banyak yang benci Soeharto di awal reformasi. Tapi, kini banyak yang mulai memujanya. Apa yang dilakukan Soeharto mulai tenggelam dalam sejarah.

Sebagaimana halnya ingatan atas Soeharto, maka tak menutup kemungkinan jika di masa datang ingatan atas cacat dalam perjalanan Rhoma juga terlupakan. Mungkinkah? Hmm…. Sebagaimana Frederick, saya pun agak pesimis. Malah sangat pesimis. Saya pikir, ingatan publik masih amat segar bahwa Rhoma bukan sosok yang tepat untuk memimpin republik ini.


 
Andaikan yang dipimpin adalah grup musik dangdut, Rhoma orang terbaik di posisi itu. Namun untuk republik ini, saya rasa masih banyak yang jauh lebih baik, jauh lebih berakhlak, jauh lebih peduli rakyat, serta jauh lebih meyakinkan. Bagaimana kans Rhoma? Saya pikir kansnya sangat besar sebagai jurkam. Bukan sebagai yang dikampanyekan. Namun, anehnya, ada saja orang yang mengaku ulama dan mendukung Rhoma. Maka si raja dangdut ini semakin pede dengan dukungan itu. Tak dipahaminya kalau dirinya menjadi olok-olok. Seorang teman berkata, "Elektabilitas Rhoma sangat rendah. Tapi erektabilitasnya sangat tinggi." Hahahaha.... Silakan tafsirkan sendiri.

Mudah-mudahan saya keliru besar.


Athens Ohio, 2 Desember 2012

0 komentar:

Posting Komentar