Dewi Lestari dan Dialog yang Tak Usai


Dewi Lestari dan buku Supernova

MUNGKIN agak terlambat buat saya untuk menuntaskan novel Supernova: Partikel. Selain karena bukunya agak telat tiba di Alden Library di kampus Ohio University (OU), Amerika Serikat (AS), saya juga agak disibukkan dengan banyak aktivitas kuliah. Mumpung libur, saya bebas untuk membaca novel apapun. Dan karya Dee atau Dewi Lestari ini adalah pilihan pertama.

Novel ini adalah kelanjutan dari seri Supernova lainnya. Sebelumnya, kita disuguhi kisah Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh (Supernova I), lalu Akar (Supernova 2), hingga Petir (Supernova 3). Meskipun terpisah-pisah, saya bisa merasakan adanya satu benang merah pada novel-novel karya Dee.

Benang merah itu adalah tema-tema kontemporer yang menjadi tanda-tanya manusia modern. Dee ingin berbicara tema seperti New Age, spiritualitas, sains, hingga pencarian akan makna. Tema ini memang telah menjadi perbincangan lama di kalangan masyarakat perkotaan yang melek dengan bacaan-bacaan filosofis. Akan tetapi, Dee mengemas tema tersebut dalam rangkaian narasi tentang manusia yang bergulat dengan tanda tanya yang tak berkesudahan.

Rata-rata, tokoh yang menjadi sentral cerita adalah anak-anak muda. Mereka adalah bagian dari masyarakat biasa dengan profesi yang setiap hari sering kita saksikan. Akan tetapi, mereka memiliki karakter unik dengan kisah dan misterinya sendiri-sendiri. Mungkin saja, Dee sebenarnya ingin menunjukkan bahwa tanda-tanya dan pergulatan filosofis bisa dialami siapa saja. Anda tak harus menjadi seorang kutu buku yang berdiam di perpustakaan demi mempertanyakan hakekat realitas. Semua manusia bisa saja memelihara banyak tanda tanya demi menemukan hakekat dirinya, tak peduli apapun profesinya.


Kisah Supernova: Partikel berkisah tentang seorang perempuan bernama Zarah yang hendak mencari ayahnya. Pencarian itu membawanya pada satu petualangan demi memecahkan beberapa teka-teki kehidupan. Ayahnya (Firas) adalah seorang dosen cemerlang di Institut Pertanian Bogor (IPB) yang berpikir di luar mainstream. Sang ayah yang mendalami mikrobiologi ini menjadi sosok penting yang mengajari Zarah segala hal di luar sekolah formal dengan caranya sendiri.

Sang ayah lalu mengajarkan tentang mikrobiologi pada usia yang sangat dini. Ia memperkenalkan Zarah dengan fungi (jamur) yang disebutnya sebagai muasal kehidupan. Begitu pentingnya fungi, Sang ayah menekankannya berkali-kali pada Zarah. Katanya:

Fungi adalah nenek moyang species manusia.  Sama-sama menghirup oksigen dan mengeluarkan karbondioksida, sama-sama berintelgensia tinggi, sama-sama mahluk jejaring. Karena kemiripan itu fungi dan manusia memiliki hubungan unik. Semua antibiotika terbaik pernah diciptakan manusia dibuat dari fungi. Manusia tidak bisa membuat antifungal dengan baik karena efeknya akan mencelakan kita sendiri...(halaman 24).

Sampai di sini, kisahnya masih datar-datar. Tapi selanjutnya terdapat pemberontakan-pemberontakan. Hingga akhirnya Firas lalu menghilang, setelah sebelunya meninggalkan banyak catatan-catatan yang tersimpan rapi demi anaknya, Zarah. Catatan-catatan itu lebih mirip puzzle atau teka-teki yang membawa Zarah ke petualangan-petualangan.

Sebagaimana ayahnya, Zarah lalu memberontak pada sistem. Di sekolah, ia menjadi siswa yang dianggap atheis. Ia mempertanyakan dasar ketuhanan, sebagaimana diyakini agama samawi. Lewat sains, ia mengajukan berbagai versi serta tanda-tanya, yag kemudian membuat murka para guru.

sampul buku Partikel

Di rumah pun, Zarah melakukan pemberontakan. Hingga akhirnya, ia lalu memilih hidup sendiri, mengajar bahasa Inggris, hingga akhirnya menjadi fotografer yang memilih untuk menetap di pusat penangkaran orangutan di Tanjung Puting, di rimba raya Kalimantan. Takdir sebagai fotografer alam liar lalu membawa Zarah untuk berkelana ke Inggris, lalu mencoba untuk memecahkan misteri demi misteri tentang ayahnya.

Saya menganggap kisah-kisah serta dialog-dialog dalam novel ini adalah bagian dari tanda-tanya manusia modern. Dalam salah satu esainya, Goenawan Mohammad mengangkat aspek religiusitas serta gugatan terhadap agama dalam novel ini (bisa dibaca DI SINI). Tapi saya melihatnya lebih dari itu. Novel ini hendak memotret beragam tema yang sejatinya menjadi denyut nadi masyarakat kita, tanpa harus terjebak pada pemitosan satu keyakinan.

Novel ini sesungguhnya menawarkan sikap kritis atas dogma di masyarakat, meskipun pada beberapa bagian, saya juga menemukan bahwa Zarah pun menerima dogma. Ketika Zarah melancarkan gugatan pada agama, sebagaimana diyakini keluarga dan sekolah, ia justru menerima begitu saja beberapa penjelasan tentang sains, khususnya mikrobiologi, tanpa berupaya secara intens untuk mencari jawaban atas hal tersebut. Bagi saya, dalil-dalil dalam mikrobiologi akan menjadi dogma ketika berhenti sebagai kebenaran, tanpa upaya kritis menelaahnya.

Saya membayangkan, Zarah akan terus mencari jawaban, tanpa harus menerima begitu saja kebenaran versi ayahnya. Namun, sayangnya, hal-hal yang sesungguhnya masih merupakan bagian dari teka-teki ilmiah itu diterima begitu saja, tanpa telaah kritis.

Namun, saya amat nikmat membaca novel ini. Sebagaimana serial sebelunya, novel ini membuat saya tersentak dan tak berhenti untuk membacanya hingga lembar terakhir. Pada beberapa bagian, bulu roma saya agak merinding, khususnya bagian ketika Zarah memasuki bukit Jambul. Itu bagian yang paling saya suka.

Namun, saya agak sedikit kecewa ketika teka-teki itu mengarah kepada alien atau mahluk luar angkasa sebagai pangkal teka-teki. Kisah ini mengingatkan saya pada film berjudul Knowing (2009) yang dibintangi Nicholas Cage. Film ini membuat saya merinding di awal serta penasaran dengan teka-teki yang disajikan, namun ketika semua teka-teki itu mengarah ke alien, saya agak kecewa sebab misterinya jadi tak menarik lagi.

Dewi Lestari dan istriku, Dwi

Namun, apa boleh buat. Munculnya tema-tema seperti alien memang bagian dari ketidakberdayaan sains kita demi menemukan aneka jawaban. Seringkali, kita memunculkan istilah alien demi menegaskan betapa terbatasnya sains kita untuk menjawab sesuatu, lalu menciptakan mitos baru di atas landasan sains. Saya tiba-tiba jadi teringat pada Arief Budiman, yang pada buku Mencari Ideologi Alternatif, mengatakan bahwa ilmu pengetahuan selalu memunculkan mitos baru ketika mengalami keterbatasan untuk menjawab satu permasalahan.

Apapun itu, saya cukup menikmati novel ini. Saya menikmati diksinya yang khas. Saya menikmati racikan segar atara sains, spiritualitas, serta petualangan seorang anak manusia yang berkelana demi memecahkan teka-teki ilmiah. Saya menyenangi gaya bahasa serta kontemplasi tokoh-tokohnya yang unik. Saya juga menikmati dialog-dialog yang tak berkesudahan. Bukankah ini adalah esensi dari pencarian ilmu pengetahuan?

Novel ini mengajarkan saya bahwa kearifan dan perenungan bisa lahir dari siapa saja. Bahkan bisa datang dari seorang pekerja seks, pembuat tato, ataupun seorang fotografer alam liar yang tak menamatkan universitas. Sebab kearifan adalah milik mereka yang senantiasa mengeja aksara semesta dan melihat semua realitas sebagai tanda-tanda yang mesti disibak maknanya.(*)


Athens, 18 Desember 2012


BACA JUGA:






0 komentar:

Posting Komentar