Simbiosis Media dan Pemda

DULU, media massa khususnya koran dan majalah ramai-ramai mengincar perusahaan besar untuk diberitakan sekaligus diincar iklannya. Kini, media massa mulai mengincar pemerintah daerah (pemda). Mereka ramai menulis tentang prestasi pemda, dalam format liputan advertorial. Ada apa dengan media kita?

Sejatinya media-media bersikap kritis dan menarik jarak dengan pemerintah. Tapi di majalah kita, menarik jarak dan kritis itu adalah dalam rangka mengincar dana APBD, khususnya pos dana untuk promosi dan investasi, ataupun pos dana komunikasi. Maka, jangan heran ketika melihat liputan majalah kita. Pada satu hari mengkritik pemda, namun keesokan harinya bisa menurunkan liputan tentang prestasi pemda tersebut.

Sebulan lalu, saya membaca liputan tentang daerah-daerah yang terancam bangkrut. Hari ini, saya membaca liputan  tentang daerah-daerah yang berprestasi. Saya tak melihat secara teliti daerah mana saja. Namun insting saya sebagai mantan awak media segera bekerja. Liputan bulan lalu adalah liputan yang tujuannya menggoda pemda. Sementara liputan bulan ini adalah pemda-pemda yang bersedia untuk diiklankan dan tayang di media tersebut. Berapa tarifnya? Saya tak mau menebak. Tapi hitungan kasar saya, jumlahnya cukup besar sebab bisa mencapai angka puluhan juta rupiah.

Rata-rata majalah besar di ibukota melakukan jurnalisme advertorial ini. Baik Gatra maupun Tempo sama-sama bermain di lini yang sama. Tempo amat sering membuat penghargaan kepada daerah yang dianggapnya berprestasi. Malah, beberapa kepala daerah juga pernah dimuat iklannya. Hari ini saya membeli Tempo. Lagi-lagi, saya terkejut melihat banyaknya advertorial tentang profil daerah sekaligus profil bupatinya. Mungkin Tempo bisa berkilah bahwa sangat penting untuk mengangkat inspirasi yang positif bagi daerah untuk diinjeksikan di level nasional. Itu bahasa kerennya. Tapi dalam realitas, yang terjadi adalah upaya untuk memuji-muji pemerintah daerah demi mengalirkan dana APBD.

Mungkin ini adalah perkara yang wajar. Sebab media-media juga butuh ruang untuk hidup. Di tengah persaingan yang kian gencar, media mesti kreatif menyiasati keadaan agar tidak gulung tikar. Kesimpulan sementara saya adalah media-media memasuki fase baru dalam relasinya dengan pengiklan. Dulu, mereka mengincar perusahaan kakap. Sekarang mereka mengincar pemda yang notabene punya keuangan cukup kakap, layaknya perusahaan besar. Yang saya khawatirkan adalah kelak media-media akan tumpul daya kritisnya saat hendak mengkritisi mitra iklannya. Saya juga khawatir media kita seperti media era Orde Baru yang penuh berita keberhasilan pemerintah.(*)

0 komentar:

Posting Komentar