suasana di Warkop Phoenam, Makassar |
HAMPIR di semua kota-kota di Sulawesi Selatan (Sulsel) mudah ditemukan kafe atau tempat minum kopi. Mulai dari kelas elite, hingga kelas pinggir jalan. Tempat kaum elite biasanya agak berkelas dan sering merupakan franchise asing, seperti Black Canyon, atau Excelso. Sementara yang kelas pinggiran biasanya ditempati para mahasiswa dengan modal seribu rupiah, kemudian memesan teh panas dan stand bye ber-internet hingga sepuluh jam. Setiap kelas sosial mereproduksi sebuah tempat nongkrong, tempat berbagi cerita dan ngobrol ngalor ngidul dengan para relasi. Pertanyaannya, mengapa banyak wrung kopi di Sulsel dan untuk apa keberadaan warung kopi tersebut?
Seorang kawan Abdul Hakim Alle mengatakan warga Makassar senang ngobrol apa saja. Mereka suka berkumpul dan membahas segala rupa topik. Dan warung kopi adalah tempat paling murah meriah. "Dengan biaya murah, kita bisa ngobrol sampai seharian. Iya khan?” katanya dalam satu komentar di facebook. Komentar Hakim ini sangat menarik. Tapi, komentar ini tidak bisa menjelaskan kebiasaan orang-orang yang suka nongkrong di kafe-kafe mahal. Bukan rahasia lagi jika di Makassar berdiri banyak kafe eksekutif sekelas Black Canyon atau Excelso. Saya beberapa kali ke tempat itu. Harganya memang mahal, namun pengunjungnya seakan tak putus-putus. Makanya, saya menempatkan komentar Hakim dalam perspektif seorang mahasiswa yang suka nongkrong di kafe-kafe atau warung kopi.
Tapi ada point menarik yang didiskusikan Hakim. Ia menyebut bahwa warga Makassar senang ngobrol. Pendapatnya menarik sebab yang dilakukan di warung kopi tidak cuma berinternet ria, namun menjalin hubungan dengan banyak orang, berbicara banyak tema, hingga berjam-jam. Mungkin nongkrong di warkop sudah menjadi tradisi. Lantas sejak kapan tradisi ini muncul? Siapa sajakah yang suka ke warkop? Entahlah. Yang jelas, selama tinggal di Makassar, sayapun sering nongkrong di warkop. Makanya saya bisa memilah-milah para pengunjung warkop dengan karakteristik sebagai berikut:
Pertama adalah mereka yang suka aroma kopi dan menikmati sensasi kopi sebagai bentuk petualangan. Kebetulan pula, Makassar tak jauh dari Toraja yang merupakan basis kopi lokal yang cukup tersohor di dunia. Makanya, aroma kopi di makassar cukup khas dan tak ada duanya. Saya mengenal beberapa sahabat yang memang penggila berat kopi. Ia tidak sembarang memilih tempat nongkrong. Ia mementingkan aroma kopi yang nikmat. baginya, harga bukan soal. Ia memilih nongkrong di Phoenam, sebuah kafe yang populer di Makassar karena cita rasa kopinya yang khas. Jumlah mereka yang seperti teman saya cukup banyak. Sebab bagi mereka, kopi adalah minuman yang bisa membuat ketagihan. Bagaimana dengan anda?
Kedua adalah tipe para politisi atau aktivis NGO. Jangan kaget, jika di Makassar, warung kopi adalah tempat mengkonsolidasikan gerakan politik ataupun gerakan sosial. Segala hal menyangkut politik didiskusikan di warung kopi secara bersama-sama, kemudian membuat perencanaan. Seiring dengan digelarnya pilkada di banyak daerah di Sulsel, warung kopi jadi tempat strategis. Tempat ini menjadi lokus pertemuan dan tempat merencanakan tindakan. Bahkan hamper setiap minggu, warkop jadi tempat diskusi dengan berbagai tema politik.
Sedemikian pentingnya warkop bagi politisi, sehingga banyak politisi yang menginvestasikan dana untuk membiayai berdirinya sebuah warkop. Tujuannya simple. Selain memang hobi ngopi dan ngumpul, warkop bisa jadi tempat merancang strategi. Bagi para aktivis NGO, warkop juga tempat mengkonsolidasi gerakan. Saya pernah ke satu warkop yang di dalamnya ada dua kelompok pengunjung. Satu adalah politisi yang mendukung kebijakan pemerintah, satu lagi adakah kelompok aktivis NGO yang hendak melakukan demo. Menariknya, kedua kelompok ini bisa duduk bersisian dan tidak saling mengganggu.
Ketiga adalah tipe mereka yang hendak belajar politik. Baik mahasiswa, wartawan, dan calon politisi sama-sama memenuhi warung kopi demi membahas gossip politik sekaligus belajar banyak di situ. Ibarat universitas, warkop menjadi kawah candradimuka yang membesarkan soerang calon politisi. Di sini memang tidak ada kuliah. Namun mereka bisa belajar banyak hal melalui diskusi, canda, serta dialog-dialog lepas. Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi tim sukses dan menjadikan warung kopi sebagai basis.
Keempat adalah tipe pebisnis. Biasanya mereka adalah tipe yang suka mengintip-intip peluang bisnis saat di warkop. Mereka bergaul dengan semua politisi, namun tidak menganut ideologi tertentu. Pilihan politiknya juga abu-abu. Hari ini bisa gandrung pada partai A, keesokan harinya adalah partai B. Dalam konteks pilkada, mereka bisa berada di mana-mana. Mereka mengincar proyek-proyek dari semua politisi demi memaksimalkan pundi-pundi yang mereka miliki. Tipe seperti ini cukup banyak. Biasanya mereka sangat ramah pada politisi manapun sebab mengincar sesuatu. Selain para pebisnis kakap. Saya juga menemukan tipe pebisnis kelas teri yang sering menawarkan HP. Bahkan ada juga sejumlah kawan yang bergerak di multi Level markerint (MLM). Ketika kita memasuki kafe, maka mereka melihat sebagai calon pelanggan baru. Maka siap-siaplah untuk diprospek.
Kelima adalah tipe perajut hubungan silaturahmi. Biasanya kelompok ini tidak terlalu peduli dengan politik atau perkembangan terbaru. Mereka asyik-asyik aja. Mereka hanya suka ngobrol dengan teman-teman di situ. Mereka membangun silaturahmi sekaligus meng-update informasi atau gosip-gosip terbaru tentang satu hal. Biasanya kelompok ini datang rutin ke warkop hanya untuk ngobrol. Pengalaman saya di Makassar, hampir semua warkop memiliki komunitas pelanggan sendiri. Kita bisa memetakan warkop berdasarkan pelanggannya. Jika hendak berbincang dengan mahasiswa, saya memilih warkop tertentu. Demikian pula ketika hendak bertemu politisi.
Keenam adalah tipe suka-suka. Inilah tipe mereka yang kurang kerjaan dan ke warkop tanpa tujuan. Kalau ditanya apa tujuannya, mereka bingung mau menjawab apa. Boleh jadi mereka membawa laptop, kemudian memesan segelas teh panas dan duduk hingga berjam-jam, tanpa peduli dengan sekitar. Mereka tidak peduli kalau di situ ada diskusi yang membahas negara. Tidak juga peduli jika di sebelah warkop sedang ada kebakaran. Pokoknya mereka tetap online dan terhubung dengan relasi atau teman ngobrol di mana-mana. Tipe suka-suka ini biasanya senang dengan hal-hal gratisan. Makanya, siapapun bisa jadi sahabat selagi nongkrong di warkop. Just info, saya pun termasuk tipe suka-suka yang ke warkop tanpa tujuan selain dari bertemu teman, kemudian saling berbincang banyak hal, kemudian kembali focus ke laptop.
Nah, dari banyak tipe di atas, di manakah posisi anda?
salam dari Pantai Losari, Makassar |
1 komentar:
Dah belasan tahun di makassar tp aku belum pernah ke warkop.
Posting Komentar