Simulasi Masa Silam

ANAK muda Buton tengah gandrung sejarah. Mereka membahas sejarah dengan penuh semangat untuk mengembalikan tatanan masa silam untuk masa kini. Semangat terpancang kuat untuk menghidupkan masa silam, namun saat ditanya seperti apa bentuk pengembalian masa silam itu, semuanya tak punya peta konseptual. Maka masa silam yang dihadirkan adalah masa silam yang telah mengalami proses idealisasi. Kita membayangkan sesuatu yang romantik tentang tatanan yang serba harmoni, namun kita sering melupakan fakta kekelaman masa silam, sehingga membuat kita kehilangan kekuatan untuk membahas masa kini dan masa depan.

ilustrasi
Pada awalnya adalah idealisasi. Dalam konsepsi Plato, dunia ideal adalah sebuah dunia yang semestinya. Dalam mitos manusia gua, Plato bercerita bahwa manusia gua terikat dalam posisi menghadap dinding. Sepanjang hidupnya, mereka hanya menyaksikan bayangan-bayangan di tembok gua. Maka bayangan itu dianggap sebagai sesuatu yang ideal. Ketika suatu saat ikatan terlepas dan mereka keluar gua, maka terkejutlah mereka ketika melihat realitas yang berbeda dari konsepsi. Tersentaklah mereka saat menyaksikan betapa senjangnya perbedaan antara imajinasi idealitas dan realitas.

Jika kita manusia gua itu, mungkin kita bisa shock dengan dunia yang berubah. Akan tetapi konsepsi ideal sebagaimana yang disaksikan di tembok itu mestinya menjadi isyarat-isyarat untuk memetakan masa depan. Konsepsi itu mesti ditarik ke masa kini hingga sebuah peta jalan baru akan menghampar dalam pikiran. Kita selanjutnya mulai bicara tentang jalan-jalan yang mesti ditempuh, tentang daya upaya untuk menjebol, tentang tenaga ekstra untuk membangkitkan Kerajaan Tuhan di muka bumi.

Namun, masih relevankan membahas tentang pengembalian masa silam? Tentu tidak. Diri yang selalu mengembalikan tatanan masa silam adalah diri yang kehilangan pegangan di masa kini, diri yang kehilangan ruang gerak, diri yang tak mampu menaklukan zaman kini dan membuka ruang sosial baru hingga merindukan tatanan masa silam yang beku dan dikiranya ideal. Diri yang gagal di masa kini itu lalu mencari peta rujukan nilai yang ideal di masa silam. Masa silam menjadi ideolog. Semua yang di masa silam, pastilah sesuatu yang baik dan wajib ditaati. Kalian yang membantah adalah manusia yang tak punya idealitas!


Nah, persoalannya adalah siapakah yang berhak menafsirkan masa silam? Sebuah diri akan berhadapan dengan banyak diri yang masing-masing punya konsep sendiri. Masa silam didekagi dengan banyak perspektif sehingga perlahan batas antara representasi dan realitas mulai mengabur. Filosof Jean Baudrillard menyebutnya simulasi, sebuah hubungan di mana representasi tidaklah merefleksikan satu realitas. Simulasi adalah dunia seolah-olah. Simulasi adalah dunia yang tunduk atas olah pikir seseorang melihat masa kini, lalu menelusuri masa silam demi menemukan idealitas, yang kemudian berujung pada sebuah konsep yang seolah baku dan final.

Mungkin semuanya berpulang pada diri masing-masing. Mungkin kita terlalu asyik memintal pikiran kita sendiri hingga tak mampu mengenali dunia empiris. Kejamnya dunia tidak harus membuat kita mencari dunia ideal di mana segala yang ada di pikiran bisa mengaktual. Mungkin waktunya untuk memhamai Aristoteles dengan empirisme. Kata seorang idealis, empirisis adalah mereka yang tak punya visi ke depan, tak punya daya nalar untuk menjangkau sejarah idealis. Saya membayangkan seorang empiris akan balik menuding, “Setidaknya saya realistis jika sedang berpijak di bumi.”


0 komentar:

Posting Komentar